Jumat, April 19, 2024

Catatan Merah Penyelenggara Pemilu

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Penangkapan terhadap Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisioner KPU Kabupaten Garut oleh Satuan Tugas Anti Politik Uang dalam operasi tangkap tangan (OTT) tempo hari [25/2] sangat memalukan dan membuat publik terperangah. Pasalnya, ini terjadi saat masa kampanye sedang berlangsung untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan saat gerakan tolak politik uang lantang disuarakan untuk menciptakan pilkada bersih.

Kesiapan penyelenggaraan untuk menyongsong pilkada bersih ini justru terciderai akibat ulah penyelenggara di tingkat daerah.

Persekongkolan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara dan Panwaslu sebagai lembaga yang mengawasi pilkada tingkat daerah ini jelas merusak citra penyelenggara pemilu. Keduanya diduga menerima sejumlah uang dan sebuah mobil untuk meloloskan salah satu pasangan calon dalam kontestasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Garut pada 27 Juni 2018 mendatang.

Kejadian ini menjadi catatan merah di awal tahun dalam persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Merespons peristiwa ini, penyelenggara tingkat pusat prihatin dan mengambil langkah cepat dengan memberhentikan sementara jajarannya yang tersangkut proses hukum serta mendukung langkah penegak hukum untuk menindaknya.

Idealnya pemilu menjadi pesta bagi tumbuh dan kembangnya demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Melalui pemilu masyarakat diberikan keleluasaan untuk menentukan sendiri pilihannya. Karenanya, menjadi bagian dari penyelenggara pemilu merupakan tugas mulia. Sebab, menjadi aktor utama dalam proses pergantian estafet kepemimpinan di suatu daerah itu berarti menjadi perantara bagi terlaksananya daulat rakyat.

Namun, untuk menjadi penyelenggara pemilu tidak mudah. Jika dilihat secara seksama, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, setidaknya terdapat lima belas ketentuan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi calon anggota Bawaslu dan KPU tingkat pusat hingga daerah.

Yang paling mendasar salah satunya dari sekian banyak syarat dalam pasal 21 dan 117 UU Aquo adalah syarat integritas, kepribadian kuat, jujur dan adil yang harus dipenuhi untuk menjadi penyelenggara pemilu. Selain itu, UUD 1945 Pasal 22E juga menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kiranya pasal-pasal ini menjadi filtrasi tersendiri untuk mendapatkan sosok penyelenggara pemilu yang berkualitas dari sisi kepribadian.

Sebagaimana diketahui, menjadi penyelenggara pemilu harus mampu melepaskan diri dari berbagai keterikatan yang bisa merusak profesionalitas dan harus memiliki kekuatan secara personal. Ditambah lagi dengan rangkaian proses seleksi panjang, terbuka, dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat oleh tim seleksi tersendiri. Hal ini menunjukkan betapa ketatnya proses penjaringan calon-calon penyelenggara pemilu.

Jika proses yang dilalui sudah demikian baik, namun ternyata masih ada celah terpilihnya penyelenggara yang tidak baik, maka perlu upaya lain untuk memastikan penyelenggara pemilu terpilih adalah penyelenggara yang benar-benar mampu melaksanakan tugas mulia tersebut. Perlu evaluasi terhadap proses rekrutmen yang telah dilaksankan dan evaluasi kinerja masing-masing penyelenggara.

Di lain sisi, semua pihak perlu juga mengencangkan komunikasi dan koordinasi, supervisi dan pengawasan pada masing-masing lembaga penyelenggara agar dapat memantau jajarannya hingga tingkat terbawah.

Momentum Berbenah

Penangkapan terhadap penyelenggara tingkat daerah ini menjadi cambuk bagi penyelenggara pemilu secara keseluruhan. Dari kejadian ini penyelenggara tingkat pusat, baik KPU dan Bawaslu, harus melakukan evaluasi dan pembenahan secara menyeluruh.

Selain itu, momentum ini juga harus digunakan untuk membangun semangat perbaikan pada masing-masing internal lembaga penyelenggara pemilu. Mengefektifkan komunikasi dan supervisi yang berkesinambungan serta pengawasan yang terintegrasi. Hal ini tidak lain guna menjaga marwah penyelenggara pemilu ke depan dan memastikan kejadian yang sama tak terulang kembali.

Penyelenggara pemilu kiranya harus gencar membangun sinergi dengan lembaga lain untuk menunjang supervisi dan pengawasan secara maksimal. Semisal dengan menggandeng mitra kepolisan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kerja sama diperlukan untuk meminimalisasi dan menutup potensi kejadian yang sama terulang. Ini mengingat penyelenggara di tingkat daerah memilki tugas dan kewenangan yang sangat vital dalam pelaksanaan pesta demokrasi lokal.

Sinergi dan kolaborasi ini diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik, selain penyelenggara pemilu bekerja lebih ekstra untuk meyakinkan publik bahwa tragedi yang menimpa penyelenggara lokal di Kabupaten Garut adalah persoalan personal oknum, bukan persoalan kelembagaan. Kampaye dan sosialisasi gerakan antipolitik uang harus tetap disuarakan agar tercapai pemahaman yang sama bahwa uang tidak bisa membeli segalanya, baik itu syarat menjadi peserta pemilu ataupun suara pemilih.

Dengan begitu, cita-cita terselenggaranya pilkada bersih dan berintegritas masih bergantung pada jajaran komisioner KPUD dan Panwaslu lainnya. Pilkada berkualitas sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil harus tetap dipelihara.

Adanya kepercayaan dan pastisipasi publik secara langsung akan memberikan legitimasi yang kuat untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar mengabdikan dirinya pada konstituen di daerahnya.

Di samping proses tindak pidana yang tengah berjalan, proses pemeriksaan atas pelanggaran etik juga akan dilaksanakan oleh majelis sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebagaimana hakikatnya, DKPP akan menilai dugaan terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh jajaran penyelenggara pemilu. Memalui mekanisme sidang pemeriksaan, jika DKPP menilai penyelenggara terbukti melanggar kode etik, maka ia akan diberikan sanksi sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Dari peristiwa ini, kerja sama seluruh pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk benar-benar menghadirkan pilkada yang bersih. Jajaran penyelenggara hendaknya semakin siap dan bersemangat dengan waktu yang sudah kian mendekat.

Publik juga harus menjadi pemilih cerdas atas suara dan pilihannya sendiri, serta peserta pemilu harus berkomitmen untuk berkontestasi secara fair. Akhirnya, Pilkada 2018 ini harus disongsong dengan penuh suka cita.

Kolom terkait:

Menguji Mental Antikorupsi Pansel KPU

Agar KPU Lebih Mandiri dan Profesional

Menjaga Marwah Penyelenggara Pemilu

Maskawin Politik dalam Pilkada

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.