Operasi tangkap tangan (OTT) yang acapkali dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini kembali ramai diperbincangkan. Bahkan di media sosial, seperti twitter, ada perdebatan serius antara pakar hukum tata negara, Profesor Mohammad Mahfud MD, dengan politisi Senayan, Fahri Hamzah. Keduanya beradu argumentasi dan berbalas pendapat, meskipun Fahri cenderung lebih agresif ketimbang Mahfud MD.
Corak pikir keduanya tergambar dengan jelas antara sosok akademisi yang arif, berintegritas, dan mumpuni di bidangnya dengan seorang politisi dengan segala subjektivitasnya.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud membela atau berada di antara salah satu pihak. Saya hanya berbagi sedikit pencerahan bertalian dengan OTT yang dilakukan KPK. Selain itu, sebagai insan akademik yang berada di menara gading, memberikan kajian yang objektif adalah sesuatu yang mutlak. Bahasa kampus adalah bahasa kebenaran, bukan bahasa kepentingan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah kontekstualitas OTT dalam perspektif hukum pidana?
Masalah Semantik
Istilah OTT menjadi lebih familiar di telinga khalayak setelah KPK berdiri pada tahun 2002. Sejak saat itu, KPK telah puluhan kali melakukan operasi penangkapan terhadap seorang koruptor yang, oleh media dan beberapa pengamat kemudian, disebut-sebut secara semantik sebagai “operasi tangkap tangan”.
Seiring waktu, istilah OTT ini kemudian seakan melekat pada setiap proses penangkapan yang dilakukan KPK. Meski begitu, masih ada saja orang yang menanyakan apakah dasar hukum OTT tersebut, sebab Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menggunakan istilah “tertangkap tangan”.
Saya berpandangan, istilah “operasi tangkap tangan” dan “tertangkap tangan” sesungguhnya hanyalah menyangkut semantik belaka. Secara substantif keduanya memiliki hakikat yang sama, yakni menjelaskan tentang suatu peristiwa ketika seseorang pada saat melakukan kejahatan tertangkap oleh aparat penegak hukum (baca: KPK).
Perbedaannya adalah ada penambahan frasa “operasi” sehingga memberi kesan seakan-seakan menjadi istilah baru. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terbitan Balai Pustaka (2015:194), operasi diartikan sebagai pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan. Bila ditarik ke dalam term “tertangkap tangan”, maka akan didapati suatu gabungan makna berupa: pelaksanaan rencana penangkapan sesuai dengan yang telah dikembangkan.
Di sinilah seringkali kita mendengar istilah seorang penjahat “tertangkap basah” oleh aparat, yang maknanya adalah sama dengan OTT atau tertangkap tangan. Dengan demikian, antara OTT dengan tertangkap tangan bukanlah suatu istilah yang bertentangan satu sama lain dan memang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya hanyalah urusan semantik, tidak lebih. Pendeknya, tidak ada antinomi di dalamnya.
Substansi Operasi Tangkap Tangan
Bila kita membuka dan membaca Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tentu kita tidak akan menemukan istilah “operasi tangkap tangan” di dalamnya. Namun demikian, dalam Pasal 1 butir 19 peraturan a quo kita akan mendapati istilah tertangkap tangan, yaitu “tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindakan”.
Ketentuan tentang penangkapan, selain diatur dalam Pasal 1 butir 19, masih diatur juga dalam pasal-pasal yang lain, misalnya: Pasal 16 jo Pasal 17 KUHAP. Kedua pasal yang terakhir menitikberatkan pada pejabat yang berwenang menangkap dan tujuan penangkapan. Di samping itu, seseorang dapat ditangkap jika berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Kembali pada term tertangkap tangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 19 KUHAP, di dalamnya terdapat beberapa unsur penting. Pertama, tertangkapnya seseorang pada waktu atau sedang melakukan tindak pidana. Kedua, segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Ketiga, ketika diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan.
Keempat, padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Kelima, bertalian dengan poin keempat, bahwa dengan benda itu menunjukkan bahwa ia pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan suatu tindakan.
Pemaknaannya adalah pada poin pertama, seseorang ditangkap saat melakukan tindak pidana. Di poin kedua, pelaku tertangkap beberapa saat kemudian setelah tindak pidana dilakukan. Frasa “segera” diartikan sebagai jarak waktu antara tindakan yang terjadi dengan tertangkapnya pelaku tidak terlalu lama. Selanjutnya pada poin ketiga, pelaku ketika melakukan tindak pidana dilihat oleh khalayak kemudian diserukan sebagai pelaku.
Pada poin keempat, artinya ada benda sebagai barang bukti yang memberi indikasi kuat bahwa pelaku menggunakannya untuk melakukan tindak pidana. Terkahir, pada di poin kelima, bahwa barang bukti tersebut dapat menunjukkan posisi seseorang apakah ia pelaku tunggal (plegen), turut melakukan (medeplegen) atau hanya membantu melakukan (medeplichtige).
Dengan demikian, berbicara tentang tertangkap tangan, tidak dapat dipisahkan dengan doktrin penyertaan (deelneming) dan pembantuan (medeplichtige) dalam hukum pidana. Sebab, beberapa istilah seperti plegen dan medeplegen adalah istilah yang diadopsi KUHAP dari Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Demikian juga munculnya istilah medeplichtige, yang diadopsi dari Pasal 56 KUHP. Bertalian dengan itu, dikenal adagium Latin berikut: omne principale trahit ad se accesorium, yang artinya “di mana ada pelaku utama, di situ ada pelaku pembantu”.
Maka, terkait dengan OTT oleh KPK selama ini, hal itu sesungguhnya tidaklah bertentangan dengan KUHAP. Meski KUHAP menggunakan istilah “tertangkap tangan” yang kemudian dalam perkembangannya dikenal istilah baru, yakni “operasi tangkap tangan”, hakikatnya sama. Intinya, OTT atau “tertangkap tangan” hanyalah urusan semantik. Hal yang paling penting adalah KPK tetap konsisten pada jalurnya, yakni menangkap tangan para koruptor yang telah dengan lancang mencuri uang negara demi memenuhi syahwat pribadi dan kelompoknya.
Kendati begitu, OTT tersebut harus dipastikan masih dalam kerangka rule of law, sehingga tidak ada pelanggaran hak asasi manusia kepada pelaku maupun keluarganya.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan agar senator kita, Fahri Hamzah, tidak terlalu sibuk mempersoalkan urusan semantik OTT belaka lewat bacotnya. Alangkah kerennya jika beliau juga secara sadar dan terbuka mengajak seluruh anggota senator di Senayan agar meninggalkan, atau paling tidak menjauhi, perbuatan bejat nan haram yang sering kita sebut sebagai korupsi itu.
Jika ini dilakukan Fahri Hamzah, maka secara sadar ia sedang membangun Indonesia yang kuat, adil, dan sejahtera. Ini juga menjadi pertanda bahwa Fahri Hamzah tidak lama lagi akan naik kelas dari politikus menjadi seorang negarawan. Mari kita berharap agar ini benar-benar menjadi kenyataan.