Tuntutan yang dibacakan Jaksa satu hari setelah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (20/4) merupakan antiklimaks berlapis, khususnya bagi masyarakat yang sejak awal menuduh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menista agama Islam.
Kasus yang justru dituntut menggunakan dakwaan alternatif dua (pasal 156) ini sejak awal diberitakan dan digiring dalam frame kasus penodaan/penistaan agama (pasal 156a), bukan hasutan kebencian/permusuhan terhadap golongan tertentu.
Dengan demikian, Jaksa memiliki tanggung jawab moral untuk membuktikan sifat dan tindakan pidana penodaan itu. Karenanya, lapisan antiklimaks pertama adalah tuntutan justru tidak berdasarkan pasal 156a terkait penodaan agama.
Selain itu, saya berpendapat bahwa adanya dakwaan alternatif itu menunjukkan keraguan tentang ada atau tidaknya unsur pidana penodaan agama. Keraguan ini diperkuat lagi dengan tuntutan “ringan” bagi Ahok, yaitu 1 tahun dengan 2 tahun percobaan, padahal ancaman hukuman maksimal pasal 156 itu 4 tahun. Inilah lapisan antiklimaks kedua.
Jika dilihat dari dampak sosial-politik yang ditimbulkan (baca: aksi damai besar-besaran), fakta masyarakat yang terbelah atas isu-isu SARA, dan lain sebagainya, Jaksa sebenarnya punya cukup alasan untuk menuntut dengan hukuman maksimal. Mungkinkah Jaksa sudah ragu sejak dari niat?
Sebelum tuntutan yang antiklimaks ini muncul, menarik untuk melihat kembali ke belakang perihal kasus Ahok. Saya mencoba menulis sekarang untuk menghindari sangkaan bahwa saya semata-mata membela Ahok demi kemenangannya dalam perebutkan kursi DKI 1.
Kini, Pilkada Jakarta sudah selesai, sehingga tulisan ini saya harap dapat dilihat dalam satu intensi saja: mengkritik proses penegakan hukum pidana yang tidak adil.
Pertama-tama, dalam setiap laporan kasus dugaan penodaan agama, Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan perlunya teguran dalam bentuk SKB sebagaimana diamanatkan Pasal 2/3 UU PNPS. Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa teguran itu menjadi tindakan pertama bagi negara untuk memperingatkan seseorang yang diduga telah menodai agama.
Namun, dalam kasus Ahok, surat teguran ini tidak ada. Bukankah dengan demikian seharusnya kasus ini batal demi hukum?
Lagi pula, jika kita mau jujur, kasus ini bukan murni kasus hukum. Misalnya, orang menusuk orang lain karena ada latar belakang saling benci. Ini jelas kasus hukum pembunuhan berencana dan tinggal dibuktikan saja dengan rekam jejak yang menampilkan adanya kebencian yang mendorong terjadinya pembunuhan itu.
Persoalannya, dalam kasus Ahok, isu-isu di luar hukum sangat mendominasi, seperti kaitannya dengan proses pilkada yang menjadi mudah dipersoalkan tanpa arah yang jelas dan adanya orang (yang sudah menjadi tersangka) mengunggah sebagian potongan video yang beberapa waktu sebelumnya sudah dipublikasikan.
Di samping itu, baik sejak pelaporan, penetapan tersangka (penyidik harus voting untuk menetapkan sebagai tersangka!), penyidikan, sampai seluruh proses peradilan, semuanya disertai demonstrasi besar-besaran.
Setiap persidangan disertai demo di luar ruang pengadilan. Desakan untuk menghukum dari banyak (kelompok) orang sangat masif. Tidak mungkin tidak mengganggu (mempengaruhi) psikologi proses persidangan, terutama jaksa.
Saya juga mengkritisi tentang penafsiran makna golongan dalam pasal 156 KUHP yang dijadikan dasar tuntutan. Sesuai dengan sejarahnya, kata golongan yang dimaksud dalam KUHP, termasuk pasal 156, bukanlah golongan berdasarkan etnis (apalagi agama), melainkan golongan berdasarkan pasal 163 IS: Eropa, Timur asing, pribumi. Penafsiran ini adalah loncatan yang perlu dipertimbangkan ulang, sebab konsekuensinya bukan hanya bagi kasus Ahok melainkan juga kasus-kasus lain.
Dalam konstruksi dan fakta kasus ini, kalaupun benar bisa dibuktikan adanya willens en wetten untuk melakukan hasutan membenci dan memusuhi (sebagaimana pasal 156 KUHP mengatur), pasal ini tidak tepat dijadikan dasar untuk menuntut, apalagi menghukum. Tentu kita tidak menginginkan sejarah kelam peradilan sesat dalam hukum pidana kita terulang kembali.
Di Huffington Post, Lorenzo Johnson yang menjadi korban peradilan sesat dipenjara selama 16,5 tahun menuliskan bahwa peradilan sesat atau wrongful convictions, bisa mewujud dalam beragam bentuk, antara lain police and prosecution misconduct, ineffective assistance of counsel, eyewitness misidentifications, un-validated and improper forensic science, false confessions, incriminating statements, dan informants with untruthful testimony.
Peradilan sesat berdampak bukan hanya pada buruknya citra integritas sistem hukum suatu negara, tetapi juga tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem hukum secara keseluruhan. Mengingat satu kali hukum diterapkan, hukum akan memberi dampak yang sangat besar.
Khususnya dalam hal hukum pidana, bagi korban peradilan sesat, dampak menyengsarakannya bukan hanya pada orang a quo tetapi orang pada umumnya. Kalau terbukti dijalankannya peradilan sesat, maka besar potensi masyarakat akan meninggalkan hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi. Jika demikian, ketidaktertiban (chaos) yang akan berjaya.
Jaksa, menurut Lorenzo Johnson, sebenarnya memiliki peranan yang paling besar untuk mencegah terjadinya peradilan sesat. Surat dakwaan dan surat tuntutan yang menjadi dasar bagi hakim (atau juri dalam sistem common law) memutuskan orang dinyatakan bersalah atau tidak.
Jika Jaksa korup, disuap, tidak independen, berpihak, dan punya kepentingan jahat, maka akan otomatis tergambarkan dalam surat dakwaannya, serta tuntutannya yang juga tidak jauh berbeda. Dalam keadaan begitu, peradilan sesat sudah dimulai.
Kasus Ahok akan menjadi preseden buruk di saat proses hukumnya sarat akan pelanggaran hukum dan tarik-menarik kepentingan di luar penegakan hukum (salah satunya desakan melalui demo-demo). Bahkan sejak awal, banyak (kelompok) masyarakat yang menyebut Ahok sebagai penista agama. Bukankah itu jelas-jelas melanggar asas presumption of innocence? Hal ini menunjukkan telah terjadi banyak akrobat dalam proses penegakan hukum pidana atas kasus Ahok.
Ada adagium hukum terkenal yang berbunyi, “kalau dirasa kurang menyakinkan bahwa terdakwa bersalah, harus jatuhkan hukuman yang paling menguntungkan terdakwa”. Ada pula adagium lainnya, “lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah”. Dalam dua adagium ini, khususnya dalam konteks hukum pidana, keragu-raguan yang sangat besar kemungkinan akan menambahkan deret sejarah peradilan sesat.
Mengatakan bahwa Ahok tidak pantas dihukum dalam kasus ini, bukan semata-mata untuk kepentingan Ahok (apalagi proses Pilkada Jakarta sudah selesai), tetapi lebih jauh dari itu untuk kepentingan (penegakan) sistem hukum negara ini. Setidaknya agar kita berbenah supaya akrobat dalam penegakan hukum tidak menghilangkan kepercayaan masyarakat pada sistem hukum.
Kecuali kita memang menginginkan kekacauan, karena sistem hukum sudah tidak bisa dipercaya lagi.
Baca juga: