Kasus yang menimpa Muhadkly MT alias Acho berawal sejak ia memposting sebuah ulasan buruk mengenai Apartemen Green Pramuka City di blog pribadinya pada 8 Maret 2015 silam. Di dalam tulisan tersebut, Acho menjabarkan keluhannya terhadap berbagai permasalahan yang ada di Apartemen Green Pramuka City.
Kuasa hukum pihak apartemen pun melaporkan Acho dengan tuduhan pencemaran nama baik. Padahal, di dalam artikel tersebut–sebagaimana dapat Anda baca di tautan terlampir–Acho murni menjabarkan data dan fakta lapangan yang memang demikian adanya–semrawut dan sangat complain-able. Berkasnya dinyatakan sudah lengkap dan akan diserahkan ke Kejaksaan besok (7/8).
Acho bahkan melampirkan bukti-bukti dokumen, termasuk surat-surat yang dikirim personal ke para pemilik unit, untuk menunjukkan bahwa komentar buruk yang ia lontarkan terhadap apartemen tersebut adalah fakta yang patut diketahui publik, terutama calon korban (pembeli).
Pasar Tidak Sempurna
Acho sebagai konsumen dan pihak apartemen sebagai produsen idealnya berada pada posisi setara di pasar. Kita memerlukan kebebasan dan keterbukaan untuk dapat menciptakan pasar yang sehat. Informasi yang sempurna menjadi kunci.
Ketika kritik terhadap kualitas barang/jasa kemudian selalu dibungkam dengan dalih pencemaran nama baik, maka informasi yang beredar di pasar akan menjadi tidak sempurna. Hanya pebisnis yang menguasai peredaran informasi dengan iklan-iklan mereka.
Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi kalau kondisi ini dilanggengkan? Pebisnis tidak akan memperhatikan kualitas barang/jasa yang mereka jual. Toh, kritik konsumen bisa dibungkam dengan mudahnya. Lagi-lagi, publik yang dirugikan.
Untuk produk sekelas apartemen, yang harganya tentu saja tidak murah, menyebalkan sekali kalau kita mendapatkan kualitas buruk. Acho dengan baik hati memberikan peringatan sebelum kita membeli unit di Apartemen Green Pramuka City. Negara malah membantu pebisnis menutupi kebusukannya dengan memfasilitasi kriminalisasi konsumen.
UU ITE dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Apa yang dilakukan Negara saat ini jelas adalah penyalahgunaan kekuasaan. Konsumen memberikan kritik yang jujur dan bermanfaat bagi publik malah diancam hukuman penjara dengan pasal karet yang sudah banyak memakan korban–UU ITE.
Teman saya, Ravio Patra, saat ini juga sedang menghadapi kasus dari motivator bernama Wempy Dyocta Koto. Ia dilaporkan ke polisi dengan dalih pencemaran nama baik setelah mengunggah sebuah status Facebook berisi fact-check berbagai klaim dari Wempy yang selalu dilampirkan dalam profil atau daftar prestasinya saat mengisi acara.
Ravio bahkan melampirkan metode verifikasinya, dari mulai googling sampai menelusuri berbagai situs resmi organisasi yang diklaim Wempy memberikan penghargaan kepadanya, termasuk Forbes. Sama seperti Acho, Ravio murni menyatakan data dan fakta lapangan yang ia temukan.
Apakah Wempy bisa disetarakan dengan Green Pramuka? Menurut saya, tentu saja bisa. Keduanya sama-sama pelaku bisnis, yang satu penyedia barang, yang satu penyedia jasa. Publik, sebagai konsumen, perlu informasi yang sejujur-jujurnya tentang barang/jasa yang mereka beli. Wempy pun mengancam Ravio dengan pasal karet pelindung orang-orang yang meraup untung dari informasi tidak sempurna.
Delik pencemaran nama baik ini sangat aneh ketika dipakai untuk menyerang data-data faktual. Pencemaran nama baik seharusnya tidak bisa terjadi pada nama yang memang pada realitanya tercemar oleh kecacatan inheren yang ada padanya.
Di sisi lain, dalam kasus Beras Maknyuss, Negara bisa dengan mudahnya memproses temuan lapangan sebagai indikasi fraud yang merugikan konsumen. Tidak tanggung-tanggung, aparat kepolisian langsung tancap gas berkomitmen membongkar kecurangan produsen demi melindungi kepentingan publik.
Lalu, kenapa penegak hukum tidak berlaku demikian dalam kasus Acho? Bukankah seharusnya penegak hukum ngotot membuktikan kebenaran kritik Acho? Karena meliat bukti-bukti yang dilampirkan Acho, jelas pihak apartemen telah merugikan konsumen dan berpotensi merugikan lebih banyak orang.
Di sini tampak penggunaan perundangan, termasuk UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen, rentan penyalahgunaan kekuasaan. Menjadi wajar ketika beredar spekulasi bahwa kasus Beras Maknyuss merupakan upaya kriminalisasi ‘titipan’ kompetitor. Dalam kasus Acho juga tentu asumsi ini yang ada di kepala publik.
Saya Acho
Beberapa waktu lalu, ketika Telkomsel diretas, publik ramai-ramai menyatakan dukungannya kepada sang hacker, karena ia menyuarakan isi pikiran konsumen selama ini. Telkomsel memang jauh lebih mahal dari operator lain dan paket internetnya tidak ada yang plain–dicampur HOOQ apalah itu yang tidak dibutuhkan konsumen.
Saya pun ikut mengkritisi produk Telkom lainnya, yaitu Indihome lewat beberapa status Facebook. Saya memberikan perbandingan, bahwa ada internet dengan kecepatan lebih tinggi dengan harga nyaris setengahnya, antara lain Biznet dan MyRepublic.
Apakah kritik semacam ini harus selalu dihadapkan pada ancaman pidana UU ITE? Kita semua membeli berbagai barang/jasa setiap hari. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika kriminalisasi konsumen seperti ini terus terjadi? Berapa ratus kali dalam satu bulan kita harus merasa terancam dan memilih bungkam untuk kualitas produk yang luar biasa buruk?
Saya Acho. Saya adalah konsumen yang tidak bisa tinggal diam ketika merasa dirugikan oleh pebisnis. Saya akan bersuara karena banyak orang lain yang berpotensi dirugikan.
Negara seharusnya berdiri bersama konsumen untuk membuktikan dan memproses keluhannya, bahkan mendesak pebisnis memenuhi benefit yang dijanjikan. Bukan sebaliknya.
#StopPidanakanKonsumen!