Sabtu, April 20, 2024

Hukum dan HAM di Mata Pemerintah

Beni Kurnia Illahi
Beni Kurnia Illahi
Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

“..mari kita tidak jadi biarawan hukum, yang hanya menikmati atmosfir kemurnian hukum kemurnian hukum dengan memisahkan hukum dari kehidupan keseharian dan elemen kemanusiaan..” [Rosceo Pond]

Pelibatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan unsur utama negara demokrasi. Sebagai masyarakat memikirkan kondisi negara ke arah yang ideal merupakan sebuah tanggung jawab yang amat penting. Sebab, secara konstitusional masyarakat memiliki posisi tawar yang baik untuk terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan, meskipun bukan bagian dari unsur pemerintahan.

Mengkawal dan mengkritisi terhadap jalannya roda pemerintahan merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap negara yang dilindungi secara hukum. Hal tersebut berguna agar entitas negara yang dicita-citakan tidak dirasuki oleh kekuasaan yang rusak lagi korup.

Jika kita bentangkan permadani kinerja dan prospek pemerintahan saat ini yang memasuki semester kedua, sesungguhnya dari aspek hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), bahtera pemerintahan Joko Widodo dan Maaruf Amin masih menyisakan rafor merah. Bukan tanpa alasan, fakta, dan data, namun masyarakat tentu dapat melihat pembuktiannya dalam dua parameter saja, yaitu melalui kebijakan yang dikeluarkan dan peristiwa hukum yang terjadi. Itu sebabnya, terkadang sontak muncul tanda tanya besar dalam fikiran, ini negara dan pemerintah kedepannya maunya seperti apa dan hendak mau dibawa kemana tujuan negara?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menggelitik ketika pemerintah suatu waktu berada di posisi yang secara patut bertanggungjawab di depan hukum terhadap persoalan tersebut. Tapi sekali lagi pemerintah acapkali abai dan memilih berkilah, lepas tangan dengan melemparkan kewenangan, atau pilihannya melanjutkan misi yang telah di desain sedemikian rupa, tanpa kemudian mengakomodir masukan dan kritikan yang bernas dan membangun dari masyarakat. Seakan pemerintah menutup seluruh akses terhadap masukan dan kritikan masyarakat tersebut.

Opsinya mungkin saja pemerintah menganggap masukan dan kritikan itu bersifat politis yang justru menjatuhkan dirinya dari sebuah kekuasaan atau ekstrimnya pemerintah tidak mau diganggu agenda-agenda terselubungnya yang mungkin saja sudah terlanjur dijanjikan dengan taipan-taipan yang berkepentingan.

Dua kemungkinan itu dapat saja terjadi sekiranya pemerintah masih abai akan masukan dan kritikan masyarakat. Padahal, tidak semua masukan yang dilontarkan masyarakat bernilai buruk bagi pemerintah. Banyak masukan tersebut yang dibungkus dalam sebuah kajian, press release, ataupun dalam bentuk desakan yang sifatnya petisi atau sejenisnya yang goals-nya itu adalah gagasan kebijakan ideal  guna perbaikan kedepannya.

Hal-hal tersebut sebetulnya merupakan suatu yang lumrah dalam negara demokrasi. Namun, perspektif pemerintah akhir-akhir ini justru bertolakbelakang. Di mana, masukan, kritikan, dan sejenisnya itu dipandang sebagai perlawanan yang provokatif atau bahkan ada yang menjustifikasi sebagai suatu tindakan makar.

Padahal, sejatinya masyarakat hanya ingin menjadi teman berfikir bagi pemerintah, agar kebijakan yang dijalankan tetap dikawal dan berada dalam koridor hukum. Namun, pada akhirnya kritikan berupa gagasan yang awalnya untuk perbaikan diabaikan saja oleh pemerintah dan bahkan berujung teror atau intimidasi, seperti kasus yang menimpa salah satu profesor hukum beberapa waktu lalu.

Politik Hukum yang Amburadul

Tentu arogansi seperti ini sangat disayangkan dalam negara hukum dan demokrasi. Sebab, yang namanya pemilik kekuasaan harus mendengar dan siap untuk dikritisi oleh konstituennya.

Bahkan, bawa perasaan pun tidak dibenarkan, karena posisinya pada waktu itu adalah pengemban jabatan yang bertanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Itu sebabnya, diperlukan yang namanya politik hukum guna penentu arah, bentuk, maupun substansi terhadap kebijakan yang akan dibentuk dalam mencapai sebuah tujuan negara tersebut.

Tapi persoalannya lagi-lagi politik hukum yang dirancang di Indonesia seringkali dipengaruhi dan dibumbui oleh kepentingan politik pihak tertentu, sehingga kebijakan yang dilahirkan memunculkan kontroversi di tengah masyarakat. Sebut saja misalnya seperti desakan untuk segera mengesahkan RUU Cipta Kerja yang notabene secara formil dan materil masih menyisakan polemik, tentu pasti ada faktor politik yang disusupi di dalamnya. Lalu, muncul lagi RUU Haluan Ideologi Pancasila di tengah pandemi korona yang justru menimbulkan gejolak dalam masyarakat karena dianggap menentang Pancasila.

Di samping itu, diberlakukannya revisi UU Minerba yang secara nyata memberikan banyak kemudahan bagi oligarki tambang yang kemudian mengabaikan HAM. Lalu, revisi UU KPK dengan pelbagai problematikanya, dan instrument-instrumen hukum lainnya yang terkadang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dan HAM serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Dari semua itu ironinya, setiap desakan dan kritikan masyarakat terhadap norma-norma yang dinilai kontroversi, dihiraukan dan seakan tidak dipedulikan oleh pemerintah. Seakan apa yang masyarakat aspirasikan tidak menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan.

Padahal, sila ke-4 Pancasila telah menasbihkan bahwa kerakyatkan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hanya saja, pemerintah lengah akan hal itu dan tetap melanjutkan apa yang menjadi targetnya. Akibatnya, jika meminjam terminologi Politik Hukum yang dikemukakan Moh. Mahfud MD, konfigurasi politik hukum yang didesain selama ini oleh Pemerintah lambat-laun mengarah pada konfigurasi politik hukum otoriter. Jika hipotesa ini benar, maka tak ubahnya negeri yang kita cintai selama ini dianggap sebagai negeri penjaga malam yang dijaga oleh para penyamun demokrasi.

Potret Buram Penegakan Hukum dan HAM

Dalam batas penalaran yang wajar, problematika politik hukum saat ini tidak terlepas dari buramnya potret penegakan hukum dan HAM. Kutipan ini membuktikan bahwa penegakan hukum dan HAM pada rezim pemerintahan sekarang masih jauh dari harapan keadilan. Analoginya, hukum tiba-tiba menjadi rumit dan berliku ketika berhadapan dengan para penguasa atau pengusaha. Pasalnya, betapa banyak kita menemukan akhir-akhir ini kasus hukum dan HAM yang berujung pada kekecewaan seperti tragedi pelanggan HAM yang memakan banyak korban di Papua. Belum lagi kasus yang menimpa Novel Baswedan yang yang tidak ada ujungnya hingga hari ini.

Tentu kejanggalan ini mempertontonkan kepada kita semua bahwa hukum hanyalah perihal sandiwara yang kapan saja bisa dipermainkan oleh dalang tanpa naskah skenario undang-undang. Begitu juga dengan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sampai hari ini juga tak kunjung tuntas terselesaikan.

Akibatnya, perspektif masyarakat terhadap penanganan hukum dan HAM di negeri ini menjadi apatis dan ya sudahlah. Itu sebabnya, jika masalah besar ini didiamkan begitu saja tanpa respon yang baik dari pemerintah, maka bom waktu kehancuran hukum dan HAM di tanah air ini tinggal menunggu waktu. Pada akhirnya semua orang akan mengatakan bahwa bukan lagi hukum itu yang buta, tapi yang buta adalah hati para penguasa di dalam dada.

Beni Kurnia Illahi
Beni Kurnia Illahi
Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.