Puthut EA, penulis dan pemilik Mojok.co, hari ini menohok Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan tulisannya yang satir. Ini cuma satu dari sekian banyak cibiran kepada HMI di sosial media akhir-akhir ini. Jelas ini pukulan telak bagi HMI, setelak kekalahan Real Madrid pada El Clasico edisi terakhir. Dan saya pikir HMI memang layak menerimanya: memalukan juga menyedihkan. Dengan dana kongres 3 miliar, HMI telah keluar dari khittah/nilai dasar dan marwah gerakan mereka sendiri.
Meski ada kritik bagi tulisan Puthut itu, satu fragmen yang mengatakan HMI sempat terbelah. Menurut saya, kata “sempat” kurang tepat digunakan, karena faktanya organisasi mahasiswa tertua yang dibentuk (alm) Prof. Drs. H Lafran Pane dkk pada 5 Februari 1947 di Jogjakarta ini masih tetap terbelah dalam dua kelompok sampai hari ini: HMI-DIPO dan HMI-MPO. Kata “sempat” bermakna per-belahan-nya telah usai dan telah bersatu kembali, padahal mereka masih jelas terpisah.
Tidak salah, organisasi berbendera hijau hitam ini memang terbelah menjadi dua pada tahun 1986 menjelang kongres HMI ke-16 pada Maret di Padang. Menyusul satu tahun sebelumnya terbit UU No. 8 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Di sinilah kisruh rekayasa Asas Tunggal Pancasila bermula. HMI menjadi dua kubu berseberangan: HMI-DIPO dan HMI-MPO.
Sejatinya, di AD/ART kedua HMI tersebut tidak ada penambahan kata DIPO ataupun MPO. Kata DIPO dan MPO digunakan hanya untuk membedakan keduanya dalam konstelasi gerakan mahasiswa saja. DIPO berarti Diponegoro, diambil dari nama jalan sekretariat PB [Pengurus Besar] HMI di Menteng, Jakarta. Di Jogja, markas cabang mereka ada di Jalan Dagen – belakang Malioboro. DIPO berasaskan Pancasila, mendukung asas tunggal, dan tentu saja pro-Orde Baru.
Sementara MPO berarti Majelis Penyelamat Organisasi. MPO dibentuk cabang-cabang yang menolak berubahnya asas HMI sedari awal sudah Islam menjadi Pancasila. Kebuntuan negosiasi MPO dengan PB dan MPK [Majelis Pekerja Kongres] akhirnya berbuah perpecahan.
HMI-MPO memilih tetap berasaskan Islam, menolak rekayasa asas tunggal Pancasila, dan selalu di barisan terdepan melawan rezim Orde Baru. Apakah HMI-MPO berarti benar-benar anti-Pancasila ? Tentu saja tidak. Penolakan Pancasila tentu karena menolak “rekayasa” politik yang dijalankan Orde Baru dalam konteks saat itu. Justru banyak kader HMI-MPO yang begitu Pancasilais.
Pada zaman Orde Baru, HMI-MPO dianggap ilegal dan sama sekali tak mendapat dukungan fasilitas negara. Beda nasib dengan saudara mereka HMI-DIPO. Untuk melaksanakan Latihan Kader [LK] pun, HMI-MPO harus berhati-hati guna menghindari pantauan aparat. Maka gerakan bawah tanah [underground] menjadi keseharian mereka saat itu. Di Jakarta, saya tak tahu alamat sekretariat PB-nya di mana. Kalau di Jogja, cabang mereka bermarkas di Karangkajen. Dan Jogja adalah pusat dari HMI-MPO.
Terkait dengan konstelasi pemikiran gerakan, posisi HMI-MPO tergolong unik. HMI-MPO dipetakan sebagai kelompok kanan paling kiri – kiri paling kanan. Mereka ada pada posisi paling kiri ketika berdialektika dengan gerakan kanan. Namun, berada paling kanan ketika bersama gerakan kiri.
Lalu di mana kedua HMI tersebut berada ketika orang-orang ribut soal dana berlebihan yang mencapai 3 miliar, ricuh melawan petugas untuk memaksa naik kapal, makan di warung tidak bayar hingga muncul plesetan *HMI = Habis Makan ilang, sampai pada perkara mengamuk karena tak dapat penginapan dalam Kongres HMI di Riau?!
Begini. Kongres HMI di Riau itu adalah kongres yang dilaksanakan oleh HMI-DIPO. Lalu HMI-MPO kongres di mana? Tak banyak yang tahu [termasuk media] bahwa pada waktu yang relatif hampir bersamaan, HMI-MPO juga melakukan kongres. Kalau saya tidak salah, mereka baru menyelesaikannya pada 19 November 2015, Kamis malam – Minggu lalu di Tangerang.
Berapa miliar dana yang dihabiskan Kongres HMI-MPO? Pastinya dalam angka milaran juga. Info yang saya dapatkan, mereka menghabiskan dana sekitar Rp 0,35 miliar alias Rp 350 juta. Ditambah bonus tanpa kericuhan di pelabuhan, tanpa ribut minta penginapan, dan tak ada warung yang tidak mereka bayar. Dan yang paling penting tentunya, mereka tidak memakai dana APBD. Tanpa huru-hara dan tanpa pesta-pesta, HMI-MPO selesaikan agenda internal mereka tanpa mengganggu pihak eksternal mana pun.
HMI-MPO adalah antitesis dari HMI-DIPO. Mereka dua saudara yang berbeda arah dan sejarah. Walau sejak kongres ke-22 pada tahun 1999 di Jambi, HMI-DIPO sudah kembali ke asas Islam, namun keduanya belum juga bisa bersatu lagi. Tapi tetap saling menghormati.
Kehidupan HMI-MPO tak semudah HMI-DIPO yang digambarkan Mas Puthut, tinggal telepon Kanda sana-Kanda sini, beres sudah. Proyek sana-proyek sini, kaya sudah. Dan syukurnya, sebagian besar dari HMI-MPO masih teguh dan percaya pada absurdnya idealisme. Sebuah barang mahal ketika Anda hidup di zaman gadget dan butuh kuota internet. Mereka tetap berusaha berjalan dalam khittah-nya.
HMI-MPO mengenal istilah Khittah Perjuangan, HMI-DIPO mengenal istilah Nilai Dasar Perjuangan. Terdengar berbeda, namun keduanya berangkat pada dasar trinitas yang sama: hubungan kepada Allah SWT [Tauhid], hubungan sesama manusia, dan hubungan dengan lingkungannya. Sasarannya menciptakan Insan Ulil Albab, sebaik-sebaiknya mahasiswa yang bermanfaat bagi agama dan bangsanya.
Namun apa jadinya ketika kenyataan di lapangan bertolak belakang sama sekali. Melimpahnya dana kongres melebihi dana bantuan bencana, arogansi memuakkan melebihi suporter bola, dan berbagai kekisruhan hingga kekerasan bersenjata dengan korban terluka adalah bukti kegagalan kaderisasi. Tak hanya konflik internal, mereka pun berkonflik dengan orang di luar mereka. Bagaimana mungkin aktivis mahasiswa yang juga [katanya] intelektual lebih mengutamakan pedang ketimbang pena. Apa bedanya dengan begal. Dan hebatnya, pejabat negara selalu hadir di setiap kongres mereka.
Sementara HMI-MPO melakukan kebalikannya, walau tidak sempurna. Tenang dan tak cari perhatian. Konflik dan intrik tetap terjadi secara internal namun hanya sebatasnya. Dan alhamdulillah mereka belum juga diperhatikan pejabat negara. HMI-MPO pun tak terlalu peduli perkara itu.
Satu hal yang menarik dari HMI-MPO adalah mengedepankan gerakan kultural ketimbang larut dalam gerakan politik. Ini yang menurut saya membuat mereka tetap terlihat relevan dalam gerakan mahasiswa hari ini. Mereka lebih berminat pada kajian intelektual, gagasan, dan ide ketimbang rebutan posisi kepengurusan. Namun tetap kritis terhadap kondisi kebangsaan.
Saya tidak bermaksud membela HMI mana pun. Tidak sama sekali. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa HMI-DIPO dengan kongres Riau-nya telah menjadi contoh buruk bagi gerakan mahasiswa. Dan, HMI-MPO dengan kongres Tangerang-nya seolah memberi pesan bahwa masih ada harapan untuk HMI. Harapan untuk menjadi gerakan mahasiswa yang sepantasnya gerakan. Bukan sekadar tempat mahasiswa mencari makan.
Saya jadi ingat komentar seorang kakak tingkat saya yang sekarang sukses di Jakarta, kebetulan dia sering menerima proposal dari berbagai elemen gerakan mahasiswa, “Ada satu hal yang menjadi kelemahan kader HMI-MPO, sepertinya mereka tidak cukup terlatih membuat proposal. Saya jarang sekali mendapati proposal dari mereka…. ” Saya tertawa. Mengingat beberapa kader HMI-MPO yang saya kenal, mereka lebih memilih berjualan buku di halte kampus dan menjajakan bunga ketika ramai wisuda, ketimbang “bersusah payah” mengetik proposal.