Dalam kalender Islam (hijriyah), saat ini adalah bulan Rajab. Umat Islam di sepanjang bulan ini di berbagai daerah memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Mereka menggelar pengajian atau ceramah agama yang inti dan tujuannya meningkatkan keimanan dan keislaman.
Bagi umat Islam Nusantara, peringatan Isra’ Mi’raj sama sakralnya seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pemerintah Indonesia pun sudah lama menetapkan hari libur nasional untuk memperingati hari besar umat Islam ini.
Semarak peringatan Isra’ Mi’raj di tanah air belakangan diwarnai kegaduhan di beberapa daerah. Salah satunya akibat organisasi yang menamakan dirinya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan kegiatan dan mendapat penolakan oleh umat Islam sendiri. HTI dituding mendompleng momentum Rajab dan Isra’ Mi’raj ini untuk kegiatan kampanye penegakan negara Khilafah, hal yang tak lazim sebagaimana dilakukan umat Islam lain di tanah air.
Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, misalnya, Banser (Barisan Ansor), sebuah organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama, menuntut HTI membubarkan kegiatan tersebut karena kampanye cita-cita Khilafah adalah jenis kegiatan makar (bughat) terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya HTI membantah gerakannya merongrong NKRI.
Fenomena HTI yang mengusung cita-cita penegakan negara Khilafah bukan hal baru di Republik ini. Yang jelas, sejak era reformasi organisasi ini makin merajalela dan leluasa menyebarkan agenda Khilafahnya.
Apa yang membuat organisasi ini leluasa dan tetap eksis? Padahal di beberapa negara Timur Tengah Hizbut Tahrir masuk dalam daftar organisasi terlarang.
Sebagian pengamat menilai, keberadaan Hizbut Tahrir yang mengusung ide Khilafah adalah sebuah keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi seperti di Indonesia, sekalipun Hizbut Tahrir sendiri anti-sistem demokrasi. Ada benarnya, tapi saya menilai itu bukan faktor utama kenapa Hizbut Tahrir tetap leluasa bergerak di Indonesia.
Kegiatan Hizbut Tahrir yang senantiasa berkampanye Khilafah tak hanya dijaga aparat kepolisian, tapi kadang sampai dihadiri oleh para pejabat pemerintahan. Ini sungguh menggemaskan. Saya menduga ini disebabkan karena kesalahpahaman dan ketidaktahuan aparat Pemerintah RI tentang agenda Khilafah yang diusung Hizbut Tahrir. Karenanya HT dianggap bukan ancaman keberlangsungan bangsa ini ke depan.
Secara historis, sejatinya Hizbut Tahrir tidak langsung bertujuan mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Awalnya tujuan mereka adalah membebaskan tempat suci Al-Quds dari penjajahan Israel. Itulah mengapa organisasi ini didirikan di Al-Quds pada 1953 oleh tokoh bernama Taqiyuddin An-Nabhani.
Alih-alih berhasil memerdekakan tanah kelahirannya di mana organisasi ini didirikan, HT malah menaikkan level perjuangannya mendirikan Khilafah dan mengekspor ideologinya ke beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Sesuai namanya, Hizbut Tahrir artinya adalah Partai Pembebasan. Dalam laman resmi Hizbut Tahrir, disebutkan bahwa organisasi ini adalah partai politik, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga pendidikan, dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan).
Di Indonesia, selama ini banyak yang salah persepsi bahwa HTI adalah ormas, lebih naif lagi disebut ormas Islam dan disejajarkan dengan Muhammadiyah atau NU. Dan jika ditelusuri HTI tercatat sebagai organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 2000. Padahal, sebagaimana diakui pihak HTI sendiri, mereka memiliki agenda mendirikan kembali sistem Khilafah yang merupakan tujuan politik dan menolak bentuk negara bangsa (nation-state).
Hizbut Tahrir sudah lama merajalela dan menyebarkan gagasan khilafahnya hingga ke pelosok daerah dengan wajah “ormas Islam”, mengadakan kegiatan dengan kedok peringatan hari-hari besar umat Islam tapi isinya propaganda Khilafah. Selama itu pula masyarakat dan pemerintah umumnya tidak mengambil sikap apa-apa.
Namun, belakangan masyarakat mulai berani menolak bahkan menentang kegiatan Hizbut Tahrir dengan caranya sendiri. Sementara itu, pemerintah masih pada posisi sikap yang sama. Saya tidak tahu apakah ini bentuk kedewasaan pemerintah dalam berdemokrasi atau karena ketidaktahuan gerakan hakiki yang diusung HTI. Kemungkinan besar yang terakhir. Maka, saatnya pemerintah mencermatinya secara seksama dan segera mengambil sikap tegas.