Glorifikasi secara etimologis adalah meluhurkan atau memuliakan. Secara terminologis adalah pekerjaan menempatkan seseorang pada posisi yang mulia, tidak punya salah, dan kalaupun ada kesalahan selalu ada alasan atau justifikasi untuk membenarkan kesalahan itu–tanpa mencermatinya terlebih dahulu.
Antonim dari glorifikasi adalah degradasi, pelecehan, atau penistaan, yakni menempatkan seseorang pada posisi yang selalu disalahkan walaupun tindakan atau ucapannya secara prinsip tidak mengandung kesalahan–selalu ada alasan untuk menyalahkannya.
Glorifikasi adalah bagian dari metode kampanye politik yang dalam teknik propaganda disebut glittering generalities, yakni menggunakan “kata-kata baik” untuk melukiskan gagasan, orang, atau objek, tanpa mencermati lebih lanjut apakah kata-kata baik itu sesuai fakta atau tidak.
Kebalikan dari glittering generalities adalah name calling, yakni memberi label buruk pada gagasan, orang, objek, atau tujuan agar publik menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Sejumlah name calling yang populer saat ini adalah ungkapan-ungkapan seperti “gedibal”, “koppig”, “pasukan nasi bungkus”, “cebongers”, dan lain-lain.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta, glorifikasi dan degradasi
bertebaran di time line media sosial. Masing-masing pendukung melakukan glorifikasi terhadap kandidat yang menjadi idolanya, dan pada saat yang sama melakukan degradasi terhadap kandidat yang potensial menjadi pesaing idolanya.
Yang membuat saya prihatin, kandidat petahana, Basuki Tjahaja Purnama, yang popularitasnya sudah menjulang, dengan tingkat elektabilitas yang jauh di atas pesaing-pesaingnya, juga tak luput dari glorifikasi.
Glorifikasi terhadap Basuki misalnya ia disebut sebagai “anak Tuhan” atau “titisan Yesus” yang seolah-olah semua tindakannya bisa dibenarkan dan dianggap mencerminkan firman-firman Tuhan dalam kitab suci. Tindakan yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Mengapa grorifikasi tidak dibutuhkan bagi Basuki? Pertama, tidak cocok dengan karakteristiknya. Basuki adalah sosok yang suka blak-blakan, apa adanya. Kalau dia mau marah ya marah saja, tidak perlu ditutup-tutupi. Bahkan menyampaikan kata-kata kasar pun biasa ia lakukan, terutama untuk ditujukan kepada para koruptor yang memang sama sekali tidak layak mendapat pujian.
Untuk sosok Basuki seperti itu, glorifikasi menjadi tidak produktif karena bertolak belakang dengan kepribadiannya yang mencerminkan manusia biasa, yang biasa bertutur kata dan bertindak apa adanya. Basuki tidak memakai topeng seperti umumnya para politikus.
Kedua, glorifikasi, apalagi dengan menyebut-nyebut nama Tuhan, bertolak belakang dengan prinsip politik Basuki yang rela mati untuk membela konstitusi. Berpolitik dengan membawa-bawa—apalagi terkesan menjual—nama Tuhan, bertentangan dengan semangat konstitusi yang meniscayakan kebhinekaan dan keadilan bagi semua warga negara, tanpa memandang suku, ras, dan agama.
Ketiga, glorifikasi mencerminkan inferioritas, underdog. Pada hakikatnya glorifikasi, diakui atau tidak, merupakan upaya untuk menaikkan nama dan derajat. Untuk kalangan masyarakat bawah, glorifikasi terbukti sangat efektif untuk menaikkan popularitas seseorang.
Bagi kandidat yang popularitas dan elektabilitasnya sudah tinggi, apalagi bagi petahana, yang lebih diperlukan adalah pembuktian yang bisa menimbulkan efek yang mengesankan bagi rakyat. Kesan keberhasilan jauh lebih nyaring bunyinya di telinga rakyat ketimbang glorifikasi.
Keempat, glorifikasi merupakan proses pembodohan yang tidak mendidik. Yang dibutuhkan rakyat adalah hadirnya realitas konstruktif yang secara objektif bisa dirasakan oleh semua orang. Pemimpin yang tindakan-tindakannya sudah baik pasti akan dirasakan baik pula oleh segenap rakyat yang dipimpinnya. Namun jika kebaikan pemimpin hanya bisa dirasakan sebagian kalangan dan tidak bagi sebagian yang lain, itulah cermin dari ketidakadilan dan diskriminasi.
Untuk para pendukung Basuki, saya sarankan, berhentilah melakukan glorifikasi dan berhenti pula melakukan degradasi bagi lawan-lawan politik. Ada prinsip Jawa yang saya kira sangat baik untuk dijadikan pegangan, yakni “menang tanpa ngasorake” yang maknanya kira-kira memenangkan kompetisi tanpa harus melecehkan lawan-lawannya.
Dalam kompetisi politik, lawan adalah kawan juga. Pada saat memenangkan kompetisi, siapa pun dia, akan menjadi pemimpin bagi semuanya. Bukan pemimpin yang hanya diakui oleh pendukung-pendukungnya. Pemimpin yang hanya diakui oleh pendukungnya, hanyalah politikus partisan yang tidak mencerminkan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin yang telah terpilih akan berlaku bagi semuanya. Siapa pun, tanpa pandang bulu, akan mendapat reward pada saat menaati kebijakan itu, dan mendapatkan punishment (sanksi) bagi siapa pun yang melanggarnya.