Ketika ribut soal Front Pembela Islam (FPI) dan Dedi Mulyadi terjadi beberapa waktu lalu, saya melihat persoalan ini hampir serupa dengan kasus Lia Eden dulu, walaupun pada konteks yang berbeda. Skenario yang sama pun terjadi: kelompok yang satu memonopoli kebenaran suatu pemahaman dengan dalih melecehkan agama terhadap kelompok yang berbeda. Kasus seperti ini menyiratkan bahwa pemahaman perihal keimanan (keagamaan) itu memang tidak pernah tunggal.
Tuhan, bagi orang lain, bisa saja dilihat sebagai sosok yang memberinya tugas untuk memurnikan agama; yang melihat dirinya sebagai instrumen langsung dari Tuhan. Sedangkan, bagi saya, Tuhan hanyalah sosok imajiner yang maknanya ditentukan oleh peradaban. Tuhan, meminjam istilah filsuf Jacques Lacan, adalah semacam The Big Other; yang dari-Nya, kita seolah menemukan makna di kehidupan yang sebenarnya tidak bermakna; karena manusia itu sendiri adalah mesin hasrat: hasrat kepada makna, bahkan hasrat kepada hasrat itu sendiri.
Pada konteks ini, agama mampu berfungsi sebagai wadah untuk menampung hasrat seseorang. Ketika, misalnya, orang-orang yang berbuat buruk tidak mendapatkan hukuman atas apa yang dilakukannya, agama memberikan kita sebuah fantasi: bahwa di akhirat nanti, Tuhanlah yang akan memberikan hukuman yang setimpal; atau ketika kita berada di situasi yang sangat berat, kita berfantasi bahwa ini adalah cobaan dari Tuhan dan kita pasti akan mendapat balasan yang lebih baik dari-Nya.
Dengan pemodelan seperti ini, kehidupan akan terasa menjadi lebih bermakna—walaupun makna ini sebenarnya hanya ada di dalam kepala kita, sebagai pemenuhan hasrat.
Di level evolusi manusia seperti sekarang ini, fantasi menjadi salah satu variabel yang menyusun realita kita. Fantasi, bagaimanapun, telah menjadi semacam instrumen yang menciptakan dinamika di setiap peradaban. Yang terjadi adalah pemenuhan atas hasrat: ketika kenyataan tidak memungkinkan untuk memenuhi hasrat itu, fantasi memberikan “jawaban” di tengah-tengah persoalan yang pelik.
Itulah sebabnya, agama sebagai wadah untuk memenuhi fantasi, bukanlah sesuatu yang monolit. Sebab, tafsiran orang-orang atas perintah Tuhan dan pemosisian-Nya sebagai alat politis, bergantung pada fantasi yang dikonstruksikannya. Dan karena ini adalah perihal hasrat, maka sudah tidak mengherankan jika ada sebagian orang yang memaksakan kebenarannya kepada sebagian yang lainnya.
Dengan frame seperti ini, kemudian bisa dipahami bagaimana ekspresi keagamaan FPI ataupun Dedi Mulyadi. Di tengah-tengah arus modernitas yang terasa menyudutkan Islam: berkembangnya islamophobia, stereotipe terhadap Islam, atau semangat zaman yang semakin bertentangan dengan nilai-nilai agama; membuat sebagian orang berfantasi bahwa praktik-praktik keagamaan yang dilakukan di zaman dahulu harus dihidupkan kembali, seperti dengan mendirikan khilafah, dan memurnikan kembali Islam seperti yang dipraktikkan oleh Nabi; yang saya pikir, terefleksi pada kelompok-kelompok seperti FPI.
Dedi Mulyadi mungkin saja mencoba menghidupkan kembali semangat kebudayaan nenek moyangnya, dengan mempautkan nilai-nilai di dalam agama dengan nilai-nilai budaya; sekaligus mencerminkan agama yang lebih menghargai budaya lokal Nusantara. Perihal, apakah tindakannya melecehkan agama atau tidak, saya kira, tidak ada landasan objektif untuk menilainya; melihat bahwa di Indonesia sendiri, Islam berkembang melalui upaya kulturalisasi.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah menuliskan bahwa penggambaran seseorang (tentang agama) tidak akan mungkin sama dengan yang dialami oleh orang lain. Tidak menjadi masalah jika seandainya penggambaran tersebut berakhir pada eklektisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan orang lain mendapatkan penggambaran yang berbeda atau bahkan sebaliknya; sebab pengalaman pribadi seseorang memang tidak akan mungkin sama dengan yang lainnya.
Walaupun seandainya penggambaran yang satu bertentangan dengan penggambaran yang lainnya, seperti misalnya penggambaran saya yang bertentangan dengan FPI, kita tetaplah harus adil kepada mereka. Jika pun pemikiran itu tidak mencerminkan wajah yang moderat, selama masih pada tahap wacana, saya pikir, pemikiran tetaplah harus dilawan dengan pemikiran; wacana melawan wacana, karena—sejalan dengan Gus Dur—pemikiran itu merupakan hasil pengalaman “berketuhanan” yang alami, yang tidak mungkin bisa dirasakan oleh orang lain, walaupun kita menyebut suatu entitas dengan nama yang sama.
Artinya, kita tidak mungkin bisa melarang suatu pemikiran. Namun kita bisa memilih wajah seperti apa yang ingin diperlihatkan: ekspresi keagamaan yang moderat dan menghargai budaya lokal (pembaruan pemikiran sesuai dengan semangat zaman) atau ekspresi keagamaan yang konservatif dengan mencoba membawa kembali peradaban seperti yang dipraktikkan di masa lampau.
Sebenarnya, jika melihat lebih luas, tulisan ini bukan hanya tentang FPI dan Dedi Mulyadi atau ajakan bertoleransi. Ini adalah persoalan masturbasi iman yang (masih) belum selesai. Kita bisa saja berdakwah tentang toleransi hingga itu menjadi sesuatu yang obsesional. Tetapi, angka-angka abstrak mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait agama, menyiratkan bahwa persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan berbasa-basi tentang toleransi, tapi juga diperlukan kritik terhadap agama yang bersifat hermeneutis. Karena, seperti kata Zizek, kebebasan sesungguhnya itu menyakitkan.
Sebab, yang menjadi masalah bukan kurangnya pemahaman tentang toleransi, tapi ketidaksediaan untuk mempertanyakan realitas kita, fantasi yang muncul dari hasrat kita, karena melakukannya bisa jadi lebih menyakitkan dari sekadar menampik bahwa kelompok tertentu tidak merepresentasikan ajaran yang dibawanya.