Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Halmahera semakin tak terbendung. Termasuk dalam zona Wallacea, wilayah ini memiliki tingkat endemisitas yang tinggi, banyak spesies flora dan fauna yang hanya dapat ditemukan di sini. Hutan tropis yang lebat, terumbu karang yang memukau, dan ekosistem laut yang kaya menjadikan Halmahera sebagai tempat yang ideal untuk penelitian bioprospeksi.
Sekilas, istilah bioprospeksi atau biological prospection diperkenalkan oleh Walter V. Reid dalam buku berjudul “Biodiversity Prospecting: Using Genetic Resources for Sustainable Development” pada 1993. Bioprospeksi artinya penelusuran, klasifikasi, dan investigasi secara sistematik produk yang berguna seperti senyawa kimia baru, bahan aktif, gen, protein, serta informasi genetik lain untuk tujuan komersil dengan nilai ekonomi aktual dan potensial yang ditemukan dalam keragaman hayati.
Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on Biological Diversity 1992 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati, mendefinisikan bioteknologi sebagai suatu teknologi aplikasi yang menggunakan komponen biologi ataupun turunannya untuk memodifikasi produk atau proses bagi tujuan spesifik di bidang pertanian, kesehatan, dan obat-obatan.
Walaupun sejarah lahir bioprospeksi dari para ilmuwan Barat, tetapi bioprospeksi paling monumental diawali di Indonesia dengan terbitnya buku Herbarium Amboinense karya botanis berkebangsaan Jerman George Everhardus Rumphius yang terbit 1743. Dalam perkembangannya, bioprospeksi kemudian dibicarakan secara global karena memiliki nilai pengetahuan strategis untuk pengembangannya dalam ekonomi pasar.
Hal ini menandakan bahwa bioprospeksi dapat membuka pintu bagi penemuan sumber senyawa kimia baru atau bioaktif yang bermanfaat di berbagai bidang. Misalnya, berbagai jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat lokal dan terbukti memiliki efek terapeutik yang signifikan dapat diteliti lebih lanjut untuk pengembangan produk berkelanjutan.
Kekayaan hayati di Halmahera dan Maluku Utara secara umum sesungguhnya dapat menjadi modal utama untuk bertransformasi dari daerah yang mengandalkan sumber daya (resource-based society) menjadi daerah yang mengandalkan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi (knowledge-based society). Seiring dengan itu, sumber daya manusia yang mumpuni pun dapat dibangun.
Sayangnya, potensi besar ini terancam oleh maraknya industri ekstraktif di Halmahera. Penambangan nikel, emas, dan mineral lainnya telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Hutan-hutan yang menjadi habitat bagi banyak spesies endemik dialihfungsikan. Sementara limbah penambangan mencemari sungai dan laut, merusak ekosistem air yang sangat penting bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati.
Halmahera: Pusat Laboratorium Dunia
Secara historis, tidak bisa dielakkan bahwasanya sejak abad ke-19, eksotisme Halmahera telah menarik minat para ilmuwan dan naturalis dunia untuk mengeksplorasinya. Lahirnya teori Evolusi yang dipatenkan oleh Charles Darwin tak terlepas dari kontribusi Alfred R. Wallacea dalam mengungkapkan potensi keanekaragaman hayati yang tersimpan di dalam Pulau Halmahera. Walau belakangan, berdasarkan perdebatan para saintis, Wallacea yang seharusnya memegang hak atas paten tersebut.
Jika kita bergeser sedikit ke arah selatan, di Kepulauan Maluku (seperti Banda, Ambon, Seram, dan Buru), pada abad ke-17, George Everhardus Rumphius telah lebih dulu mengeksplorasi kekayaan SDA hayati dan menjadikan kawasan tersebut sebagai laboratorium pengembangan ilmu pengetahuan. Di Kepulauan Maluku pula lahirlah Herbarium Amboinense dari seorang Rumphius yang banyak menjadi rujukan para saintis dunia.
Kisah dua naturalis di atas menandakan bahwa Halmahera dan wilayah di sekitarnya menyimpan potensi SDA hayati yang sangat kaya. Potensi SDA hayati yang telah didokumentasikan dan dibukukan oleh Wallacea dan Rumphius – bahkan diterjemahkan dalam beberapa bahasa dan dibaca di banyak negara – tidak pernah dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan potensi yang ada.
Alih-alih mengembangkan potensi SDA hayati, eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral justru lebih diprioritaskan. Walaupun menyediakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah. Namun, di sisi lain, masyarakat lokal sering kali tidak merasakan manfaat ekonomi yang sebanding dengan dampak negatif yang mereka alami. Banyak kasus di mana masyarakat lokal kehilangan akses ke sumberdaya alam yang mereka andalkan untuk kehidupan sehari-hari.
Pada titik ini, bioprospeksi dapat menjadi jawaban atas keresahan masyarakat lokal yang mendiami seluruh penjuru Pulau Halmahera. Segala bentuk kearifan terhadap alam yang telah terbangun sejak lama, termasuk pengetahuan lokal yang telah lama dipraktikkan dapat menjadi dasar bagi pengembangan bioprospeksi. Walau demikian, mengembangkan bioprospeksi hanya dapat dilakukan apabila mengarus-utamakan ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati (biodiversity science) diprioritaskan.
Pengarusutamaan Sains Biodiversitas
Dalam narasi RPJMN 2025-2045 (draf Mei 2023) pengembangan bioprospeksi tercakup dalam misi transformasi ekonomi yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi, produktivitas ekonomi, dan penerapan ekonomi hijau yang diikuti transformasi tata kelola, melalui regulasi yang adaptif, berintegritas, dan kolaboratif untuk mendorong bio-ekonomi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru sesuai visi Indonesia Emas 2045.
Berlandaskan pada RPJMN 2025-2045, maka bertumpu pada potensi keanekaragaman hayati untuk menopang peningkatan perekonomian daerah, hanya dapat dilakukan apabila keanekaragaman hayati menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan. Dengan kata lain, semua kebijakan pembangunan harus menempatkannya sebagai pertimbangan utama, dengan pendekatan berwawasan ilmu pengetahuan atau berbasis sains.
Meningkatkan pengetahuan kekayaan biodiversitas secara memadai juga tak bisa dikesampingkan. Faktanya, data keanekaragaman hayati masih sangat minim dan terbatas, padahal ketersediaan data keanekaragaman hayati menjadi prasyarat mendasar dalam pengembangan pengetahuan dan pemanfaatan biodiversitas. Selain itu, perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya mengelola biodiversitas yang produktif dan berkelanjutan, serta mengembangkan kearifan lokal, sains warga, dan data komputasi.
Alam adalah modal utama pembangunan. Namun, pengelolaannya di abad ke-21 ini membutuhkan paradigma baru. Bioprospeksi sendiri merupakan cara baru memanfaatkan potensi sumber daya alam tersebut tanpa merusaknya. Langkah ini juga dapat meminimalisir terjadinya praktik-praktik pencurian atau pembajakan potensi sumberdaya genetik oleh pihak asing atau biopiracy.
Demikian, sebagai paragraf penutup, perlu disadari bahwa kekayaan keanekaragaman hayati di Maluku Utara secara khusus merupakan sebuah keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dikelola secara cerdas dan berkelanjutan serta memanfaatkannya secara optimal, maka kekayaan alam hayati pun tergerus seiring waktu, seperti kekayaan sumberdaya mineral.