Beperapa orang ingin diingat selamanya, sementara yang lain memohon untuk dilupakan.
Belum lama ini kita mendengar bagaimana dunia prostitusi via media online berkembang marak. Hal ini tentu menjadi perhatian kita ketika terjadi perkara kriminal di mana seorang perempuan yang terang-terangan menawarkan diri ditemukan tewas di kamar kosnya. Belakangan seorang lelaki telah ditangkap polisi karena menjadi orang terakhir yang ditemui si perempuan.
Sempat muncul perdebatan. Apakah ketika media mengangkat isi akun Twitter @tataa_chubby itu merupakan pelanggaran privasi? Lalu bagaimana melihat bahwa baik korban maupun pelaku kriminal ini sama-sama memiliki keluarga yang juga perlu dilindungi privasinya? Pelaku disebutkan memiliki seorang anak dan tengah menantikan kelahiran anak kedua, sementara korban juga memiliki anak kecil yang baru berusia 1 tahun.
Anggota Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, ketika kasus ini menyeruak ke permukaan, sudah mewanti-wanti media untuk tidak mengorek-orek kehidupan pribadi korban, karena itu melanggar ruang privasi.
Kita bayangkan saja bahwa dalam 10 atau 15 tahun ke depan, anak-anak ini tumbuh berkembang sebagaimana layaknya anak seusia mereka. Tetapi ingatan bahwa kedua anak ini adalah anak yang terpaut dengan perilaku yang dilakukan orang tua masing-masing belasan tahun lalu, apakah fair jika keduanya masih tersangkut dengan soal itu?
Di negara-negara Uni Eropa kini dikenal konsep “The Right to Be Forgotten”, yaitu hak yang dimiliki seseorang untuk melindungi dirinya untuk melanjutkan hidup secara tenang tanpa terganggu ataupun terstigmatisasi akibat tindakan tertentu yang dilakukan di masa lalu.
Isu ini tergolong masih kontroversial, karena menyangkut permintaan kepada sejumlah perusahaan pencari (seperti Google ataupun Yahoo) untuk mencabut, membuang, atau menghilangkan link pemberitaan yang pernah muncul terkait dengan perbuatan seseorang di masa lalu.
Mereka yang meminta pencabutan itu adalah orang yang dulu pernah diberitakan terkait dengan dunia prostitusi, di antaranya mengalami kekerasan, dan lain-lain. Mereka merasa ketika link pemberitaan yang terkait peristiwa masa lalu yang gelap tetap ada, tak membuat hidup mereka jadi lebih baik.
Isu ini menjadi kontroversial karena tak hanya terkait dengan isu privasi, tapi juga kebebasan informasi, serta apakah dunia internet kemudian menjadi terdegradasi ketika muncul ada “semacam sensor baru” seperti ini?
Konsep ini telah dibicarakan di tingkat Uni Eropa dan Argentina sejak 2006. Laman Wikipedia dan juga fact sheet Komisi Eropa (Dokumen C-131/12) mengemukakan bahwa kasus seseorang pernah diberitakan mengalami masalah soal kepemilikan rumah di masa lalu, dan kini masalah itu telah selesai, namun link berita tentang kasus masa lalu itu tersebut masih ada, dan dianggap merugikan dirinya.
Hal tentang privasi di sejumlah negara Barat telah mendapat perhatian yang sangat maju, namun tidak demikian dengan di Indonesia. Di Indonesia, regulasi menyangkut masalah privasi hidup seseorang masih sangat lemah. Indonesia memang memiliki Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, namun bagian soal data pribadi seseorang belum didefinisikan dan dilindungi secara jelas.
Dalam kasus anak-anak pelaku atau korban kejahatan, terutama ketika nama mereka pernah disebut oleh media, tentu akan mengganggu hidup anak itu di kemudian hari. Para awak media yang meliput kasus-kasus seperti itu harus juga sensitif memperhatikan dampak pemberitaannya pada kehidupan pribadi seseorang.
Sayang perlindungan soal kehidupan pribadi ini sering ditabrak media dan unsur sensasionalisme lebih diketengahkan ketimbang dipertimbangkan untuk dilindungi. Bagaimanapun, terhadap hal yang menyangkut privasi, kita harus menghormati. Sebab, kita bukan serigala yang menerkam daging mentah di depan kita dan mengunyah-unyah menikmati hal yang justru menyakitkan bagi mereka yang mengalaminya.
Sebaliknya banyak pihak seharusnya makin sadar tentang pentingnya menjaga kehidupan pribadi dan melakukan tindakan jika kehidupan pribadinya diacak-acak media. Bagaimanapun media yang beradab akan menghargai kehidupan manusia dan tak menjadikannya komoditas yang patut dijual serta dilebih-lebihkan informasinya.