Sabtu lalu masa kampanye pemilu 2019 telah resmi berakhir. Kini telah memasuki masa tenang dan pencoblosan tinggal menengok waktu saja. Tantangan kini bukan lagi perkara menggalang massa. Enam bulan ke belakang sudah menjadi waktu yang cukup melakukannya. Melainkan, memastikan pemilu berjalan demokratis, jujur dan adil.
Sejalan dengan upaya tersebut, menurut saya, pemilih perempuan penting dilindungi haknya dalam pemilu. Karena, diakui atau tidak, perempuan masih menjadi kelompok rentan di negeri ini dalam segala bidang. Perempuan masih lemah secara ekonomi, sehingga mereka cenderung menjadi sasaran utama money politics. Perempuan masih lemah secara perlindungan hukum dari kekerasan, sehingga masih rentan mendapat intervensi dengan kekerasan fisik, seperti kejadian seorang ibu yang mengalami kekerasan fisik karena mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilgub DKI 2017 lalu, yang kemudian videonya tersebar luas di media sosial.
Dalam pemilu kali ini, hal semacam itu bukan tidak mungkin terjadi mengingat polarisasi politik yang sangat tajam dan cenderung mengarah ke politik identitas dan penggunaan kekerasan. Sementara, perempuan adalah golongan pemilih yang cenderung konsisten dengan pilihannya. Mereka sangat sukar berubah ketika telah melabuhkan pilihan ke salah satu kandidat. Sedangkan, untuk melindungi pilihannya mereka hampir tidak memiliki perangkat semacam laki-laki yang memang lebih banyak mendapat privilese dalam alam politik Indonesia. Posisi mereka pun semakin rentan.
Ironisnya, belum banyak politikus yang bergerak menyuarakan perlindungan terhadap pemilih wanita. Narasi pro emak-emak dan ibu bangsa hanya sebatas slogan untuk menggaet massa, tapi pada praktiknya perempuan hanya menjadi objek mobilisasi semata. Tidak mendapat perlindungan. Malahan, ketika undang-undang perlindungan kekerasan seksual yang semestinya bisa rampung sebelum pemilu terlaksana dan bisa menjadi alat penguat perlindungan terhadap mereka, dengan segala cara dihambat realisasinya.
Pertanyaannya, bagaimana cara melindungi perempuan dalam menggunakan hak pilihnya di Pemilu kali ini?
Tentu saja kuncinya berada di tangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga utama yang bertanggung jawab menjaga kelangsungan pemilu secara demokratis, jujur dan adil. Mereka harus lebih proaktif turun ke lapangan dalam mengawasi berlangsungnya masa tenang sampai pemilihan. Karena celah kecurangan dan intervensi terhadap perempuan justru semakin rentan terjadi di rentang waktu tersebut.
Bawaslu sudah semestinya tak hanya fokus pada pengawasan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan massa banyak seperti halnya enam bulan ke belakang selama masa kampanye. Melainkan penyuluhan door to door kepada para perempuan untuk memberi pengetahuan tentang hal-hal yang boleh dan tak boleh dilakukan dalam Pemilu. Karena, selama ini banyak perempuan yang masih tak mengerti tindakan mana tergolong pelanggaran dan tidak. Sehingga, ketika sebenarnya mereka mendapat intervensi dari oknum tertentu yang sebenarnya tergolong pelanggaran pemilu, mereka tak melaporkannya pada Bawaslu. Kasusnya lenyap begitu saja. Pelakunya masih bebas melakukan tindakannya. Korban pun semakin banyak.
Cara pendekatan in person ini berguna pula guna meyakinkan para perempuan bahwa mereka mendapat perlindungan dalam menentukan pilihan sesuai hati nuraninya. Bahwa, ketika mereka melaporkan tindakan intervensi dan sejenisnya, mereka akan tetap aman. Bukan seperti yang mereka asumsikan justru bakal mendapat kekerasan atau bahkan dikriminalisasi balik. Sebab, sebagian besar intervensi kepada perempuan terjadi dengan memanfaatkan ketakutan pada diri mereka.
Anda pasti akan bertanya, mungkinkah Bawaslu proaktif? Jawabannya mungkin. Mereka memiliki anggaran yang besar dalam menyelenggarakan Pemilu kali ini. Anggota mereka pun ada sampai tingkat kelurahan. Dengan sisa waktu tiga hari ini, sangat mungkin bagi mereka melakukan penyuluhan. Misalnya, dalam setiap kelurahan terdapat 5 anggota Panwaslu, maka dalam satu hari mereka bisa melakukan penyuluhan untuk 2-3 Rukun Warga. Dalam tiga hari, satu kelurahan akan tersentuh semua.
Lagipula, dengan tiadanya kampanye, Panwaslu di tingkat kecamatan dan kabupaten atau bahkan provinsi bisa diperbantukan untuk melakukan hal ini. Menurut saya itu akan sangat efektif. Lebih dari itu, mereka juga bisa lebih memperketat pengawasan penyelewengan masa tenang. Seperti menertibkan spanduk dan alat peraga kampanye lainnya yang masih bertengger di jalan atau ruang publik lainnya. Karena faktanya masih banyak alat peraga yang belum diturunkan dan itu melanggar peraturan pemilu.
Saya pikir, ketika Panwaslu bergerak proaktif, masyarakat pun akan terdorong untuk turut menyukseskan pemilu yang adil, demokratis dan jujur. Sebab, pada dasarnya mayoritas masyarakat menginginkan hal itu. Hanya saja suara mereka teredam oleh segelintir orang yang ironisnya memiliki “kekuatan” lebih.
Terakhir, mari gunakan hak pilih kita sebagai perempuan dengan benar. Jangan mau terhasut oleh berita bohong. Pilihlah kandidat yang paling membela perempuan dari rekam jejak dan programnya. Beranilah pilih kandidat perempuan. Semoga pemilu berjalan damai dan membawa efek positif bagi perempuan se-Indonesia Raya.