Selasa, April 23, 2024

Habis Zonasi Halal, Terbitlah Festival Babi

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Ada orang bertanya kepada saya terkait ide wisata halal di Danau Toba. Apa jawaban saya: seberapa penting itu? Apa tak ada yang lebih penting (seperti memberantas perusak lingkungan, misalnya)? Dia menyerobot lagi: kamu setuju atau tidak? Saya langsung menjawab: tidak setuju.

Tidak setuju bukan soal kebencian. Banyak aspek yang harus diperhatikan. Entahlah Om Google di gawai saya salah. Yang pasti, sejauh penelusuran saya, tak ada yang namanya zonasi halal di Indonesia, termasuk di Bali. Yang ada adalah ada beberapa perusahaan yang menyuplai makanan halal.

Saya tahu, di luar sana, banyak orang yang mungkin menganggap saya terlalu tertutup, bahkan tidak toleran. Tetapi, ini bukan soal toleran atau tak toleran, lho. Saya tak akan menyinggung sebuah daerah yang, misalnya, kukuh menerapkan hukum syariah di daerah tertentu, yang mana kita tahu hukum itu lebih pada mengurusi cara berpakaian daripada cara bersikap (maaf, kalau saya salah): berpakaian aneh ditangkap dan dicambuk, koruptor malah terbebas.

Yang saya akan singgung bahwa toleransi itu tak melulu seperti itu: menerima orang lain sepenuhnya lalu menghilangkan jati diri kita.

Mudah sekali menjelaskan ini. Ada seorang tamu berkunjung ke rumah saya. Saya Katolik. Kebetulan tamu itu seorang Muslim, misalnya. Apakah karena ia sering datang, maka saya harus menyediakan  ruang salat sekaligus perangkatnya? Mungkin saja saya mau karena ia sering datang dan kami sudah karib. Namun, akan menjadi beda ceritanya ketika ia yang meminta karena sering datang, maka harus dibuatkan ruangan khusus untuknya. Siapa dia sehingga berhak mengaturku di rumahku sendiri? Kurang lebih, begitulah pandangan saya soal ide zonasi halal di Danau Toba.

Jangan Ragukan

Sudahlah, jangan ragukan toleransi orang Batak, apalagi di sekitar danau. Seumur-umur saya belum pernah mendengar kisah penolakan, apalagi persekusi, di Tanah Batak hanya karena beda agama. Sekali lagi: belum pernah. Belum pernah juga terdengar bagaimana siswa Muslim dipaksa harus belajar agama Kristen di sekolah. Belum pernah.

Orang Batak itu sangat toleran. Orang Batak itu sangat terbuka. Sudah banyak orang Batak yang beralih agama, bukan? Saya pikir, itu menjadi salah satu poin penting betapa orang Batak itu cukup fleksibel. Tetapi, itu belum cukup sebagai bukti.

Karena itu, mari saya suguhkan cerita ini kepada Anda. Saya paham, benar-benar paham, bahwa begitu mendengar kata “Batak”, maka yang terlintas di pikiran Anda adalah kata ini: “Kristen”. Ketika mendengar kata “Kristen”, maka kata yang mengikutinya adalah “pemakan babi”. Namun, saya katakan itu dengan tegas: itu salah.

Jauh di hulu sejarah, Batak bukan pemakan daging babi, apalagi Kristen. Batak itu sebermula adalah Parmalim. Dan, Parmalim tidak memakan babi. Jadi, boleh dikatakan, meski masih bisa diperdebatkan, bahwa pada prinsipnya orang Toba tidak memakan daging babi.

Ya, belakangan memang kebanyakan orang Batak kini pemakan daging babi. Malah lagi, daging babi seakan bertransformasi menjadi makanan adat (juhut). Dikatakan makanan adat karena posisinya hampir tak tergantikan dengan daging ayam, misalnya.

Begitu juga,  dalam setiap hajatan, orang Batak selalu memikirkan orang-orang lain. Mereka selalu menyediakan makanan yang disebut parsolam. Makanan untuk parsolam ini dikhususkan bagi mereka yang tak memakan daging haram. Dari segi fonologis, saya menduga bahwa kata parsolam ini dekat dengan Muslim.

Persis seperti di Bali. Di Bali, orang-orang Muslim disebut nyama selam. Jadi, jika ada dalam suatu hajatan di kampung, selalu ada pemberitahuan, bagi yang nyelam silakan ke tempat khusus yang telah disediakan, agar makanan tidak bercampur. Orang Toba pun demikian. Parsolam diberi tempat khusus. Artinya, tanpa ada regulasi sekalipun, orang Indonesia, termasuk Toba, sudah menghikmati perbedaan.

Saya sendiri punya keluarga Muslim. Perkakas masak untuk mereka selalu dikhususkan dan disediakan meski, sebenarnya setiap datang, mereka selalu membawa perkakasnya sendiri.

Sekali lagi, ini sudah cukup meneguhkan bahwa orang Toba tak perlu diajari untuk bertoleransi. Toleransi bukan untuk diajarkan, diatur, tetapi dengan sendirinya diterima. Terus terang, saya justru lebih khawatir, jika ini diterapkan, orang Toba akan bersikap curiga.

Curiganya sangat logis. Dari segi pengambilan nomenklaturnya, misalnya. Di sana disebut zonasi halal. Zona berarti tempat. Adanya zonasi halal bisa dicurigai bahwa orang sekitar harus menjual tanahnya hanya untuk orang lain. Apakah kita harus menjual tanah untuk orang lain, sementara mereka datang untuk berkunjung dan bukan untuk bertempat tinggal?

Harus saya tegaskan bahwa ini bukan persoalan setuju atau tidak. Ini lebih pada keyakinan bahwa negara ini, tanpa basa-basi politik, akan dengan mudah menghikmati keberagaman, kuyup dalam kebersamaan, merayakan perbedaan, bukan melulu memestakan persamaan.

Perbedaan adalah kekayaan, dan melulu persamaan adalah kebosanan. Karena itu, kita tidak saja hanya toleran, tetapi sudah masuk pada kategori yang lebih mulia: sangat harmonis. Sebaliknya, kalau melulu direcoki, seperti sudah tersaji di Ibu Kota baru-baru ini, kita pun akan dengan mudah saling menghujat.

Sekali lagi, ini bukan persoalan setuju dan tidak setuju. Ini lebih pada persoalan pada posisi bangsa kita di mana sejak lahir sudah mengakrabi dan mengimani perbedaan. Karena itu, penentuan zonasi seperti ini sangat tidak diperlukan. Bukankah hal itu kelak semakin meneguhkan bahwa kita adalah bangsa yang tak mau berbaur dengan sesama?

Ayo, sudahlah, kepada siapa pun oknum yang ingin membuat ide zonasi halal di Danau Toba, segera tutup ide itu. Tak baik sama sekali. Saya jadi teringat pada kisah guru besar UI yang kini sudah almarhum, Sarlito Wirawan Sarwono.

Dia pernah bercerita bahwa di Malaysia, penduduk nonmuslimnya 40%, di beberapa tempat malah 60%, tetapi mereka berpikir praktis. Semua nonmuslim (kebanyakan keturunan Cina dan India) makan makanan halal, sama dengan yang Muslim. Jadi, 100% penduduk Malaysia makan makanan halal.

Sebaliknya, makanan nonhalal buat umat Islam hanya sedikit jenisnya. Karena itu, mereka sangat berhati-hati dan langsung to the point dalam memberi label: nonhalal, ditulis besar-besar. Di kampungku, di Doloksanggul, kini amat banyak Rumah Makan Batak. Rata-rata.

Tetapi jangan salah, rumah makan Islam juga banyak. Bahkan, yang paling laris adalah Bakso Filza, milik Muslim. Padahal, Islam sangat sedikti di kampungku.

Nah, kembali pada pertanyaan teman tadi: apakah saya setuju zonasi halal di Danau Toba? Sama sekali tidak. Karena itulah, saya sangat mendukung ide “konyol” Togu Simorangkir yang kini ramai dibincangkan: Festival Babi Danau Toba. Idenya unik: dari kuliner (babi banggang, saksang, tango-tanggo, babi arsik) hingga lelucuan (lomba lari babi, lomba memanggil babi, lomba selfie dengan babi). Ayo, ikutan!

Baca juga

Benarkah Presiden Jokowi Pro-Lingkungan Danau Toba?

Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!

Keragaman Agama Itu Sunnatullah

Kita, Pancasila dan Langgam Kemajemukan Bangsa

Merawat Kemajemukan, Menjaga NKRI

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.