Jumat, Maret 29, 2024

Gus Dur, Jokowi dan Keberpihakan ke Kaum Sarungan

Yaqut Cholil Qoumas
Yaqut Cholil Qoumas
Ketua Umum PP GP Ansor, Anggota DPR RI.

Sarung bukan hanya sebuah pakaian bagi golongan Islam tradisional, khususnya Nahdlatul Ulama (NU), tapi telah menjadi bagian integral dari identitas dan kebudayaannya. Sarung hadir hampir di seluruh keseharian mereka, terutama dalam menjalani ritus keagamaan. Bisa dilihat dari anekdot di lingkungan NU yang kerap disalah artikan sebagai fatwa, bahwa tidak sah salat kalau tidak memakai sarung.

Saking identiknya sarung dengan orang NU (nahdiyin), para pengamat pun melekatkannya untuk menyebut tindak tanduk mereka. Katakanlah istilah poitik kaum sarungan untuk menjelaskan kiprah dan manuver politik nahdiyin di Indonesia yang sangat panjang. Dari era perjuangan kemerdekaan, sampai turut memperjuangkan reformasi. Bahkan, Gus Dur yang menjadi presiden pertama produk pemilu pasca reformasi (199-2001) disebut sebagai presiden kaum sarungan.

Julukan kepada Gus Dur tersebut saya kira tidak berlebihan. Harus diakui, Gus Dur lah yang membuat Istana Presiden lebih terbuka untuk masyarakat, termasuk kaum sarungan. Meskipun itu memunculkan stigma Istana Presiden kehilangan prestige-nya sebagai salah satu simbol negara.

Stigma yang saya pikir keliru. Sebab presiden sudah semestinya dekat dengan rakyatnya. Salah satunya dengan menerima mereka di istananya. Apapun golongan dan latar belakangnya. Bukan hanya rakyat tertentu yang akhirnya bikin Istana Presiden menjadi angker.

Kaum sarungan harus diakui adalah salah satu kelompok masyarakat terbesar di negeri ini. 60 juta orang kalau sebatas dilekatkan pada NU. Belum ditambah yang di luar itu. Akan tetapi yang mayoritas ini justru kerap terpinggirkan secara ekonomi dan politik sebelum Gus Dur menjabat presiden, khususnya di era Orde Baru.

Perjuangan kaum sarungan bagi kemerdekaan negeri ini ditiadakan dalam buku-buku sejarah cetakan Orde Baru. Direpresi dan dibatasi aksesnya hanya lantaran tidak memilih Golkar yang saat itu menjadi salah satu kendaraan utama Soeharto melanggengkan rezimnya, selain militer.

Sudah menjadi rahasia umum di masa itu banyak kiai kampung mesti berurusan dengan rezim karena mengampanyekan PPP. Desa-desa tempat PPP menang pembangunannya lebih lambat ketimbang yang dimenangkan Golkar.

Akibatnya saat itu kaum sarungan, terutama yang tinggal di pedesaan, hidup dengan ekonomi pas-pasan. Kemudian dalam struktur masyarakat secara umum, kaum sarungan dilekatkan dengan golongan muslim miskin. Dalam taraf tertentu, NU disebut sebagai organisasi muslim miskin. Kurang terdidik. Penyebutan yang tidak perlu disesalkan, karena memang kenyataannya begitu.

Maka, bisa dikatakan, Gus Dur lah yang membuka akses bagi kaum sarungan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Sayangnya, Gus Dur cepat dilengserkan dan seperti yang kita saksikan bersama kemudian, kaum sarungan secara berangsung sedikit terpinggirkan kembali. Kalaupun simbolnya, dalam hal ini NU dan kiai-kiainya, selalu dikaitkan dengan politik elektoral, tapi itu sebatas pijakan saja untuk meraup suara.

Padahal yang dibutuhkan kaum sarungan untuk meningkatkan taraf hidupnya, adalah keberpihakan pemerintah melalui pemberian akses pendidikan dan ekonomi.

Jokowi dan Kaum Sarungan

Setelah 13 tahun menunggu, keberpihakan tersebut akhirnya muncul kembali melalui sosok Joko  Widodo, alias Jokowi. Saat mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014, ia mengusulkan agar 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional sebagai pengakuan terhadap resolusi jihad  yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari–pendiri, NU dan perjuangan kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanggal yang sama pada 1945. Yang akhirnya menggelorakan perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap NICA dan membuat Jenderal Mallaby, salah satu jenderal masyhur Inggris di Perang Dunia II, tewas.

Usulan Jokowi tersebut banyak yang memandang sebagai upaya politis belaka. Sebut saja Fahri Hamzah yang saat itu mendukung Prabowo Subianto sebagai presiden dan menyebut usulan tersebut sebagai “sinting”. Tapi, menurut saya itu adalah sebuah pengakuan kembali kepada sumbangsih santri atau kaum sarungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Jokowi terpilih. Ia kemudian menepati usulannya dengan menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) No 22 tahun 2015. Membuktikan kalau pernyataannya pada 2014 bukan politis belaka.

Keberpihakan lain Jokowi pada kaum sarungan adalah, pembangunan 107 Rusun Pondok Pesantren dalam rentang 2015-2018 melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan dana Rp946,1 miliar. Di antaranya Rusun Ponpes Darul Ulum-Semarang, Rusun Ponpes Al Hidayah-Banyuman, Rusun Ponpes Nahdlatul Ulum-Maros, dan Rusun Ponpes Darul Hikmah-Tulungagung.

Pembangunan tersebut jelas sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan pesantren. Salah satu bentuk pendidikan keagamaan tertua di negeri ini yang telah menelurkan banyak tokoh bangsa.

Tidak sekadar membangun, Jokowi pun kerap mengunjungi pesantren-pesantren. Sebuah hal yang membuat pesantren semakin diakui sebagai lembaga pendidikan di negeri ini, selain sekolah-sekolah swasta modern dan milik negara.

Perhatian Jokowi dalam mengembangkan ekonomi kaum sarungan terlihat melalui pembangunan 33 bank wakaf mikro dan balai keterampilan di beberapa pesantren. Begitu juga program ekonomi MEKAAR yang menyasar pengusaha lokal di pedesaan, yang kebanyakan dari mereka juga bagian dari muslim tradisional.

Rencananya, jika terpilih kembali sebagai presiden periode 2019-2024, Jokowi akan membangun 1000 balai keterampilan di pesantren dan lebih banyak lagi bank wakaf mikro. Secara pribadi saya percara dengan janji tersebut. Apalagi ia akan didampingi KH. Ma’ruf Amin yang jelas ulama dan pakar ekonomi Islam.

Yang tidak bisa dilewatkan, adalah Jokowi kembali membuka Istana Presiden untuk kaum sarungan. Setelah 70 tahun, baru di era Jokowi terselenggara majelis zikir di Istana Presiden, tahun lalu. Secara simbolik, ini bisa dimaknai upaya mendekatkan kembali antara ulama, umara dan umat. Tiga komponen penting yang menurut saya menjadi kunci keharmonisan bangsa.

Berdasarkan semua itu, usulan Jokowi yang dilontarkan belakangan agar setidaknya satu bulan sekali ada hari memakai sarung sama sekali tidak bisa dipandang sebagai upaya politis seperti yang diasumsikan pihak penentangnya. Melainkan sebuah penegasan bahwa ia memang memiliki keberpihakan kepada kaum sarungan.

Saya memandang usulan tersebut juga bisa berimbas kepada pengakuan budaya kain Indonesia secara menyeluruh, seperti tenun dan songket, di era modern. Sehingga tidak lagi digunakan dalam acara-acara kebudayaan saja, melainkan juga bisa menjadi tren kekinian.

Dengan begitu, peluang industri kain di Indonesia bisa mendapat ruang untuk tumbuh. Baik skala kecil, menengah, maupun besar. Semakin banyak industri yang tumbuh, tentu semakin banyak peluang tenaga kerja terserap. Ekonomi masyarakat dan negara pun semakin meningkat.

Jadi, apakah Anda sudah siap sarungan? Saya sih sudah setiap hari.

Yaqut Cholil Qoumas
Yaqut Cholil Qoumas
Ketua Umum PP GP Ansor, Anggota DPR RI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.