Aku kira tidak banyak yang memikirkan, bahwa medio tahun 2014 mesti ditetapkan sebagai penggalan khusus dalam sejarah bangsa Indonesia. Periode itu, bertepatan dengan kehidupan sosial yang mulai hijrah ke dunia digital, bangsa Indonesia memasuki fase pematangan dari proses pembentukan karakter di dunia daring. Di kemudian hari, hasil dari proses tersebut terwujud dalam kepribadian kolektif warganet kita, yakni doyan keributan.
Kegandrungan kita akan keributan merasuki segala aspek kehidupan. Mulai perkara remeh seperti etika di pintu minimarket, sampai yang besar macam demokrasi. Dari yang abstrak seperti agama, sampai yang konkret macam jumlah jari yang diacung saat berfoto. Meliputi yang basis seperti panggilan sehari-hari, sekaligus menjangkau suprastruktur macam masa depan dunia pers. Singkat kata, palugada; apa yang mau elu ributin, gua selalu sedia.
Pemilu yang kebetulan berlangsung pada tahun 2014 lalu melempangkan jalan untuk membawa hasrat kelahi ke level baru. Jika sebelumnya keributan terfragmentasi dalam ragam kepingan tema, Pemilu 2014 menyederhanakan keributan dalam polarisasi dua kubu, sekaligus memusatkannya ke tingkat nasional. Di kemudian hari kita mengenal kosakata “cebong” dan “kampret” buat menyebut dua polar ini. Pemilu bukan penyebab cekcok, tapi kita menungganginya demi perkelahian. Ini sudah bawaan kepribadian kolektif.
Dari kutub cebong dan kampretlah lahir istilah-istilah politik baru yang tidak pernah ada presedennya. Sebut saja, monaslimin dan monaslimat, ahoker, alumnus Monas university, pasukan nasi bungkus dan pasukan nasi kotak dan seterusnya. Lihatlah canggihnya struktur keributan yang rapi, sederhana dan efektif, yang sudah kita bangun bersama ini. Setiap subtema keributan bisa ditarik ke tema utama cebong dan kampret. Sebaliknya dari tema utama keributan bisa diteruskan ke ragam subtema, sesuai minat dan bakat perkelahian masing-masing. Hanya bangsa-bangsa besar yang sanggup bikin beginian.
Meski begitu, sebagian bijak bestari dan cerdik cendekia yang kelewat obsesif dengan imajinasi hidup tenang, jatuh masygul melihat tiada hari tanpa keributan di lini masa media sosial. Mereka merenung dalam, mencari jalan tengah dari kebijaksanaan lama. Munculah seruan menjadi Golongan Putih alias Golput. Penalarannya sederhana, jika dua pihak berkelahi, mesti ada yang di tengah dan tetap netral. Maunya sih netral dan berakal sehat. Berhubung “akal sehat” sudah ada yang garap, jadi cukup sampe netral.
Kelompok Golput ini ogah berenang bersama cebong, tak mau juga gelantungan bareng kampret. Pokoknya di tengah, macam juru runding. Saat terjadi cekcok, posisi tengah cenderung strategis dan berkesan lebih waskita, bukan? Demikianlah, banyak orang menjadi Golput pada Pemilu 2019 lantaran muak dengan keributan antara geng cebong dengan geng kampret.
Tapi percayalah, kawan, sifat doyan keributan bukan monopoli agama, ras, atau pandangan politik tertentu. Ia mengeram dalam diri setiap warganet Indonesia dan siap unjuk kebolehan kapan saja. Karenanya label apa pun yang kau pakai untuk berlindung, menyembunyikan hasrat doyan keributan sama sekali bukan perkara gampang. Jika persaingan cebong dan kampret bisa mengeras sampai titik ekstrem, apa yang menghalangi Golput kejeblos dalam godaan menjadi golput garis keras? Mau cebong, kampret, golput, yang doyan kelahi mah sama.
Kalau tidak percaya cek medsos teman-teman Golputmu, terutama Golput garis keras yang muncul di sekitar tahun 2019. Apakah setelah menjadi Golput lini masa mereka menjadi lebih damai dan selow? Apakah setelah menggolputkan diri mereka kapok nyinyir soal politik dan lebih suka update foto binatang ternak dan sayur-mayur? Apakah mereka menjadi kebal provokasi atau berhenti memprovokasi? Atau mungkin setelah itu mereka jadi lebih dekat pada Tuhan dan mengunggah nasihat agama tiga kali sehari?
Seorang atau dua barangkali ada. Tapi kepribadian kolektif kita membentuk mayoritas warganet Indonesia menjadi penyintas pilih tanding, sekaligus pelaku, dalam segala macam insiden keributan. Tidak jarang menjadi tukang picu juga. Namanya mayoritas dalam populasi, bagian yang doyan keributan tentu lebih berpotensi menyebar rata. Baik cebong, kampret, atau Golput, kebagian semua.
Cebong dan kampret sudah kelewat populer, juru kelahinya sudah terlampau banyak. Golput garis keras menjadi penyegar, menyediakan jalan baru untuk berpartisipasi dalam keributan. Jika dalam ilmu politik bisa dibikin istilah “jalan ketiga”, kenapa dalam keributan tidak? Ini sekaligus catatan penting tentang efisiennya sistem yang kita bangun. Golput yang masuk belakangan, bisa langsung berperan aktif di tengah percekcokan.
Selain karena struktur yang efisien, Golput garis keras mesti diakui memang punya keahlian tersendiri. Kalau diibaratkan anak sekolahan atau mahasiswa, kelompok ini kira-kira yang masuk lewat jalur prestasi. Yang lain mesti capek-capek belajar demi tes kemampuan, peserta jalur prestasi justru diterima karena kemampuannya di atas rata-rata. Begitu masuk kelas, jika yang lain mesti beradaptasi dengan tingkat pengetahuan baru, peserta jalur prestasi sudah mencuri perhatian.
Begitu juga dalam struktur keributan. Jika cebong dan kampret mesti beradaptasi pelan-pelan dalam iklim cekcok dan persengketaan sejak medio 2014, Golput garis keras begitu bikin jalur ketiga dan masuk gelanggang sudah sanggup cas-cis-cus sejak dari pikiran, eh sejak mula.
Demikianlah kita, warganet Indonesia. Berbeda-beda tapi satu jua. Labelnya boleh tiga, senengnya kelahi juga. Ini sebagaimana pernah diungkapkan dalam potongan sebuah puisi yang sangat populer (tahu kan punya siapa?).
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam keributan dan sengketa.