Jumat, Maret 29, 2024

Ghost Writer dan UU Cipta Kerja

Syaefudin Simon
Syaefudin Simon
Freelance Columnist

Pekerjaan yang enak dan tak mengikat adalah ghost writer (GW). GW pekerjaan yang spektrumnya luas. Tapi butuh kemampuan ekstra. Tak hanya harus pintar menulis dengan bahasa yang enak, tapi juga berwawasan luas dengan pergaulan tingkat tinggi.

Sampai saat ini, GW belum terdaftar dalam narasi ketenagakerjaan di Indonesia. GW juga belum dianggap profesi seperti halnya arsitek, dokter, dan lawyer. Belum ada org yg memperkenalkan diri sebagai GW dan kartu namanya menyantumkan pekerjaan sebagai GW profesional.

UU Cipta Kerja yang lagi ramai, belum memasukkan GW sebagai naker yang wajib dilindungi. Tapi di beberapa negara Barat, GW sudah dimasukkan sebagai tenaga profesional seperti halnya arsitek dan lawyer.

Bagi orang yang mengerti, GW adalah pekerjaan terhormat. Pejabat negara, elit politik, pengusaha papan atas, niscaya butuh GW. GW adalah pekerjaan elit yang sulit dicari. Itulah sebabnya, GW dalam hal gaji, nego dengan usernya. Dalam struktur perusahaan atau politik, kadang GW dikasih jabatan mentereng. Misal asisten direktur, staf ahli, staf khusus, jubir, dan macam-macam. Tapi kerjanya ya sama.. GW.

Ada sebuah film drama seri “House of Cards” yang menceritakan, seorang first lady jatuh cinta kepada GW Presiden. Suaminya, sang presiden, tak berani mengusik perselingkuhan istrinya, karena rahasia hidupnya ada di GW dan first lady tadi. Jadinya kebijakan presiden ditentukan GW dan sang istri yang selingkuh itu.

Satu hal lagi, GW tak pernah pensiun, kecuali meninggal. Selagi jarinya masih hidup dan otaknya masih berimajinasi, GW tetap bisa bekerja. Tentu dengan orang yang mau membayarnya dengan layak dan disukainya.

Yang terakhir ini penting. Meski seorang pejabat tinggi mau membayar mahal, tapi bila GW tak suka dengannya, dia tak akan mau. GW tetap punya idealisme.

Dino seorang GW, misalnya, beberapa kali melepaskan kerja sebagai GW untuk tokoh-tokoh yang cara berpikirnya norak dan anarkis. Kata Dino, masih banyak tokoh humanis dan pluralis yang perlu diangkat nama dan popularitasnya untuk memperbaiki negeri ini. Jangan sampai Indonesia terjerumus menjadi negeri gagal karena pandangan hidup yang sempit dan intoleran dari tokoh-tokoh yang dibantunya.

Syaefudin Simon
Syaefudin Simon
Freelance Columnist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.