Rabu, Oktober 9, 2024

Menuju Gerakan Perempuan Baru [Catatan Perempuan 2016]

Cania Citta Irlanie
Cania Citta Irlanie
Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mengimani kebebasan individu dan kemanusiaan.
Seorang perempuan yang tergabung dalam Organisasi Pemerhati Perempuan Makassar menggelar aksi Gerakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di bawah Jembatan Layang Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (10/12). Gerakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang dimulai pada 25 November hingga 10 Desember tersebut merupakan gerakan kampanye internasional sebagai upaya untuk mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan juga dalam rangka memperingati hari HAM. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/kye/16
Seorang perempuan yang tergabung dalam Organisasi Pemerhati Perempuan Makassar menggelar aksi Gerakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di bawah jembatan layang Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (10/12), dalam rangka memperingati Hari HAM. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/kye/16

Refleksi akhir tahun ini saya dedikasikan untuk seluruh pejuang keadilan gender di Indonesia. Dalam banyak isu di sepanjang tahun 2016, opini yang menyeruak di berbagai media menunjukkan paradigma yang belum adil gender.

Pada Mei 2016, publik dikejutkan dengan kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun, seorang gadis berusia 14 tahun asal Bengkulu. Banyak dari kita yang menganggap miras, pornografi, dan pakaian perempuan yang tidak menutup aurat sebagai penyebab pemerkosaan. Bukan paradigma laki-laki dalam melihat perempuan yang disalahkan.

Dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan tragis yang menewaskan Eno Parinah, pelaku mengaku marah karena sudah diizinkan ke kamar dan menyentuh tubuhnya namun tidak diizinkan penetrasi. Laki-laki kesulitan berkomunikasi dengan perempuan secara egaliter dan memperhatikan aspek consent sebagai hal yang utama dalam melakukan hubungan seks.

Standar ganda yang mendiskriminasi perempuan juga tampak ketika sosok Karin Novilda yang akrab disapa Awkarin booming dan dituduh sebagai perusak moral bangsa. Masih banyak sederet kasus lain yang semakin menunjukkan betapa jauhnya masyarakat kita dari paradigma yang adil gender.

Tentang Gerakan Perempuan
Gerakan perempuan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konsep gerakan sosial itu sendiri. Mario Diani (Diani & Bison, 2004 dalam Porta & Diani, 2006:20) mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah proses sosial yang (1) melibatkan relasi konfliktual dengan oposisi yang jelas, (2) menghubungkan orang dalam sebuah jaringan informal, dan (3) mengorganisasi massa dengan identitas kolektif tertentu.

Merujuk pandangan Diani, dapat ditarik tiga variabel penting dalam gerakan sosial, yakni relasi konfliktual, jaringan informal, dan identitas kolektif. Sementara itu, disebutkan pula oleh Diani (Porta & Diani, 2006:21) bahwa gerakan sosial dibentuk sekelompok masyarakat dengan tujuan tertentu yang ingin dicapai.

Berangkat dari pemahaman terhadap gerakan sosial secara umum, kita dapat memahami gerakan perempuan sebagai gerakan sosial yang bertujuan mengejawantahkan kepentingan perempuan dan mendorong transformasi sosial ke arah tatanan sosial berperspektif gender (engendering society).

Gerakan perempuan dimotori oleh perkembangan gagasan feminisme yang membawa wacana kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan. Karl Marx mendefinisikan teori kritis sebagai “a self-clarification of the struggles of the age” (“sebuah klarifikasi-diri atas perjuangan peradaban”) (Marx, 1843 dalam Fraser, 1989:113).

Feminisme sebagai bagian dari teori kritis mencoba mengklarifikasi sejarah peradaban yang didominasi laki-laki dan menentang subordinasi perempuan yang diwajarkan moral arus utama. Perempuan dianggap secara alamiah (kodrati) berada pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki, menjadi hak milik laki-laki, entah itu ayahnya atau suaminya. Singkatnya, paradigma feminisme memperjuangkan keadilan gender, melawan subordinasi perempuan, dan mendorong pemberdayaan perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik.

Gerakan Perempuan Lama
Gerakan perempuan generasi pertama berfokus pada isu kesetaraan dalam politik, terutama dengan diadopsinya demokrasi di berbagai negara di dunia. Singerman dan Hoodfar (1996) mengatakan bahwa inti dari politik demokrasi adalah distribusi sumber daya dengan seadil mungkin kepada seluruh elemen masyarakat, sehingga harus menyediakan ruang bagi keterlibatan seluruh warga negara dalam pembuatan keputusan (decision-making) (Phillips, 1993:5). Keterlibatan perempuan dalam politik sebagai anggota masyarakat yang setara dengan laki-laki adalah inti perjuangan gerakan perempuan generasi awal.

Kini, perempuan bahkan telah diberikan kebijakan afirmasi berupa kuota pencalonan maupun reservasi kursi di parlemen (seperti yang ada di India dan Bangladesh). Namun demikian, kondisi sosiologis masyarakat menunjukkan bahwa, meskipun perempuan dapat diposisikan setara dengan laki-laki secara legal-formal, yang terjadi dalam konteks relasi sosial-budaya masyarakat tidak demikian adanya (Fredman & Goldbatt, 2015:1).

Tampak bahwa transformasi sosial menuju masyarakat berperspektif gender tidak dapat dicapai hanya dengan jalan reformasi regulasi. Pippa Norris (1995:242) mencatatkan tiga (3) hambatan utama bagi perempuan untuk mendapatkan kedudukan dan status yang sama dengan laki-laki, yaitu (1) Institusional, (2) Struktural, dan (3) Kultural.

Gerakan perempuan yang lama masih fokus pada aspek institusional dan struktural saja, sementara aspek kultural belum dibidik secara serius. Dalam beberapa penelitian di beberapa wilayah di India yang dilakukan oleh Hussain (2015) dan Korkara (2015), ditemukan bahwa faktor budaya adalah hambatan terbesar bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi membangun peradaban secara utuh.

Gerakan Perempuan Baru
Oleh karena itu, gerakan perempuan harus mulai dilakukan di tataran diskursif dengan pendekatan budaya. Ross (dalam Lichbach et al, 2009:134) melihat budaya, yang merupakan sebuah sistem pemaknaan (system of meaning), sebagai elemen yang penting untuk diperhatikan, karena budaya menjadi kerangka yang membentuk kehidupan sehari-hari seseorang.

Budaya mengkonstruksikan bagaimana masyarakat menempatkan diri mereka dan orang lain, menalar tindakannya dan menginterpretasi motif orang lain melakukan suatu tindakan, serta membentuk kecenderungan kepada seorang individu maupun individu-individu sebagai kelompok dalam melakukan suatu tindakan, termasuk menjauhkan dirinya dari kelompok lain.

Gerakan Perempuan Baru adalah istilah yang saya pakai untuk merujuk pada gerakan perempuan di era digital dengan bergerak di tataran wacana (discursive level) lewat pembentukan opini (opinion making) untuk mendorong terjadinya transformasi nilai. Gerakan perempuan di tataran wacana seperti ini dapat kita pandang sebagai sebuah gerakan literasi gender, sehingga ia dapat pula dianggap sebagai sebuah gerakan edukasi.

Magdalene.co saya pandang sebagai salah satu contoh gerakan perempuan baru yang dibangun dengan nilai-nilai feminisme dan berupaya menghadirkan perspektif perempuan di ruang publik. Media ini memenuhi seluruh persyaratan untuk menjadi wujud riil dari apa yang Fraser (1992:123) sebut sebagai “subaltern counter-public sphere”. Adapun subaltern counter-public sphere adalah ruang wacana di mana kelompok subordinat berkumpul dan membangun perspektif yang menantang wacana arus utama.

Salah satu artikel terbitan Magdalene.co yang menarik diangkat sebagai contoh adalah artikel berjudul “Didik Anak Anda untuk Tidak Memerkosa, Bukan Cara Berpakaian” karya Nadia Hana Abraham. Di dalam artikel tersebut, Abraham menantang paradigma arus utama yang cenderung victim-blaming dalam kasus pemerkosaan. Transformasi sosial menuju masyarakat berperspektif gender membutuhkan lebih banyak gerakan yang menantang dan mendobrak nilai-nilai, tradisi, dan paradigma lama seperti ini.

Semoga di tahun 2017 nanti, semakin banyak pejuang keadilan gender yang membangun media alternatif sebagai bentuk Gerakan Perempuan Baru agar wacana adil gender dapat menyusup mencerabut akar-akar nilai arus utama dan menggantinya dengan yang baru.

Cania Citta Irlanie
Cania Citta Irlanie
Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mengimani kebebasan individu dan kemanusiaan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.