Beberapa waktu lalu bahkan hingga sekarang tersiar kabar mengenai gerakan kembali ke budaya nusantara, khususnya berfokus kepada identitas budaya yang terlihat dari pakaian. Gegap gempita ini mungkin ditenggarai sebagai bagian dari ‘counter narration‘, sebagai simbol alternatif atas kehadiran bentuk identitas budaya baru yang berbasis entitas agama tertentu dan tampak lebih mendominasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Gerakan budaya nusantara dapat dipahami sebagai alternatif untuk mengingatkan masyarakat Indonesia akan jati diri budayanya yang semakin lama semakin terkikis karena banyaknya pengaruh budaya luar yang dianggap dapat mengancam eksistensi budaya negeri sendiri. Terutama, yang berelasi dengan keberadaan suatu kelompok agama. Namun, benarkah gerakan ini merupakan gerakan murni yang tidak berafiliasi terhadap gerakan politik tertentu yang memang menyuarakan kembalinya budaya nusantara dalam jati diri masyarakat? Ataukah gerakan ini merupakan kritik sehingga pada akhirnya dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat? Atau bahkan gerakan ini justru merupakan ketakutan belaka saja tanpa dasar apapun sehingga pada akhirnya merupakan bentuk baru perundungan terhadap kelompok agama tertentu?
Budaya, Sebagai Alkulturasi
Contoh terdepan alkulturasi budaya di Indonesia adalah bagaimana dengan jelas budaya Jawa dan Islam pada masa-masa penyebaran Islam di Indonesia. Donny Khoirul Aziz dari STAIN Purwekerto, dari Akulturasi Islam dan Budaya Jawa, mengungkapkan bahwa Islam dari Gujarat yang pertama kali dianggap masuk berdasarkan jenis batu nisan makam di Passai tahun 1419 yang mirip dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Ini dikemukan oleh sarjana Belanda, Moquette yang menguatkan pendapat penelitian Snouck Hugronje, seorang cendikiawan Belanda juga, yang menyatakan kedatangan Islam pada abad 12 serta memaparkan bahwa Islam berakar kuat di kota-kota pelabuhan di anak benua India. Walau demikian, sarjana barat lainnya, A.H. Johns mengemukakan bahwa penyebaran Islam dilakukan oleh kelompok Sufi pengembara dengan cara yang dinilai menarik serta menggarisbawahi kesesuaian Islam, daerah setempat, dan kontinuitas.
Pada masa pemerintahan Mataram Islam, Sultan Agung memulai kebijakan dakwah Islam dengan basis kebudayaan yang lekat pada saat itu, dengan penekanan alkulturasi kebudayaan masa awal Jawa, Hindu Buddha. Dapat dilihat bentuk arsitektur masjid dan nisan dengan bentuk gunungan pewayangan serta acara Grebeg yang dilakukan setiap hari raya Idul Fitri dan Maulid Nabi, yaitu Grebeg Poso dan Maulud. Khususnya untuk Grebeg Maulud, gamelan Sekaten akan dimainkan.
Sebagai Apa Gerakan Kembali ke Budaya Nusantara
Munculnya inisiasi gerakan kembali ke budaya nusantara disebabkan kekhawatiran derasnya arus informasi dan teknologi akan perlahan menggerus keberadaan kebudayaan asli/lokal. Scholte, profesor dari University of Goethenburg, Swedia, menggarisbawahi globalisasi menjadi hal signifikan yang mengubah tatanan suatu daerah dan negara yang pada awalnya lekat dengan identitasnya menjadi suatu hal yang lebih universal, mulai dari pergerakan kelompok yang memperjuangkan ideologi hingga identifikasi kelompok masyarakat yang jauh lebih beragam.
Dalam konteks Indonesia, selain paparan globalisasi dan kemajuan informasi teknologi, muncul kekhawatiran lenyapnya identitas nusantara yang ditonjolkan dari fisik, seperti pakaian dan hal non fisik, seperti adat istiadat, karena kecenderungan masyarakat lebih memilih mengenakan pakaian dengan adat istiadat daerah atau negara lain serta prinsip kepercayaan atau agama yang turut serta di dalamnya.
Sebelum adanya inisiasi ini, sebenarnya lembaga seni budaya muslim indonesia PBNU pernah memaklumatkan dalam Saptawikrama untuk menghidupkan kembali seni budaya yang beragam dalam ranah Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan nilai kerukunan, kedamaian, toleransi, empati, gotong royong, dan keunggulan dari seni budaya dan ilmu pengetahuan. Prinsip ini dipertegas dengan pengutamaan prinsip juang berdikari sebagai identitas bangsa menghadapi tantangan global, serta mengembangkan wacana independen dalam memaknai kearifan lokal dan budaya islam nusantara dalam ranah keilmuan.
Hanya saja dalam implementasinya, diharapkan gerakan ini justru bukan dimaknai sebagai paradoks, menjadi suatu hal yang menjadi terkesan memaksakan masyarakat akan pilihan-pilihan yang telah diambil secara sadar oleh mereka. Sebagian masyarakat memilih untuk mengenakan apa yang mereka percaya membawa kebaikan, dan dengan identitas yang mereka kenakan secara fisik lewat pakaian apakah kita yakin mereka tidak cinta NKRI atau sebaliknya? Apakah kita melalui gerakan ini perlu mengkritisi tetapi sekaligus menumbuhkan prasangka baru sehingga yang muncul adalah stigma bagi sebagian kelompok.
Penting bagi kita untuk memupus prasangka satu sama lain. Tidak memaksakan kehendak karena sejatinya manusia memiliki pilihan dan itu harus dihargai. Setiap kelompok masyarakat memiliki ideologi yang berbeda-beda, namun jika kita ingin mengembalikan jati diri nusantara sebagai kebangsaan kita, maka mulailah dari diri sendiri dan pikiran. Janganlah kita terjebak dengan membangun prasangka dan stigma baru terhadap mereka yang berbeda secara identitas pakaian dan budaya yang dianutnya.