Referendum British Exit atau Brexit, di mana rakyat Britania Raya harus memutuskan keluar (leave) atau tetap (remain) di Uni Eropa, telah diputuskan pada 23 Juni dengan kemenangan pada kelompok leave. Pilihan leave diputuskan rakyat Britania Raya di tengah masalah yang membelit Uni Eropa seperti krisis utang, krisis pengungsi, rendahnya upah buruh menengah-ke bawah, dan konflik di Ukraina.
Mayoritas pemilih Brexit adalah generasi tua, yang bernostalgia dengan kejayaan Imperium Inggris dan dimarjinalkan oleh globalisasi yang ditawarkan Uni Eropa. Pemilih muda, yang sangat nyaman dengan Uni Eropa, terpaksa harus gigit jari dengan pilihan senior mereka. Mayoritas pebisnis ingin Britania tetap di Uni Eropa, karena berdagang di blok single market terbesar akan lebih mudah dengan Britania menjadi anggota.
Setelah pilihan leave, pebisnis Britania tampaknya harus melakukan analisis risiko lebih mendalam akan semua investasi mereka di Eropa. Hanya saja, Inggris tidak akan kolaps dengan mudah, karena ia menjadi pasar finansial terbesar di Eropa, dan termasuk yang terbesar di dunia bersama New York, Frankfurt, dan Hong Kong.
Referendum Uni Eropa dijanjikan Perdana Menteri David Cameron kepada rakyatnya, karena sebagian anggota Partai Konservatif membelot ke Partai Independen Inggris Raya (UKIP) yang populis kanan. Hal ini dilakukan Cameron supaya kelompok konservatif tetap merasa nyaman di partainya. Namun, hasil leave menciptakan masalah baru, karena tidak semua bagian dari Britania Raya ingin leave.
Seperti kita ketahui, Kerajaan Serikat atau Britania Raya adalah konfederasi kesatuan yang terdiri atas 4 negara, yaitu Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Keempat negara tersebut memiliki parlemen sendiri. Menteri Pertama Skotlandia sudah mengatakan bahwa mereka lebih nyaman di Uni Eropa dan mempertimbangkan referendum pemisahan dari Britania.
Irlandia Utara dan Wales juga memilih remain dan mereka mulai bergejolak. Hanya Inggris saja yang mayoritas memilih leave. Karena penduduk mereka paling banyak, suara mereka tentu yang paling signifikan.
Kegagalan David Cameron meyakinkan warganya untuk remain punya konsekuensi dengan keinginannya untuk segera mengundurkan diri dan menyerahkan proses Withdrawal Agreement Inggris-Uni Eropa kepada penerusnya di Oktober nanti. Ini kesempatan bagi kelompok mantan Wali Kota London Boris Johnson, dari kelompok leave, untuk merebut kursi Perdana Menteri di Downing Street nomor 10.
Boris Johnson diketahui dekat dengan kelompok populis kanan yang anti-imigrasi. Kelompok populis kanan ini dikhawatirkan akan semakin kuat di Inggris. Nigel Farage dari UKIP mengatakan bahwa Brexit dilakukan tanpa sebutir peluru pun ditembakkan, tapi simpatisannya menembak mati Jo Cox, anggota parlemen Partai Buruh pro Uni Eropa.
Momen ini juga dimanfaatkan pemimpin populis kanan lain di Eropa, seperti Geert Wilders dari Belanda dan Marine le Pen dari Prancis, untuk mendukung referendum di negaranya masing-masing. Alhasil, sebagian pengamat sangat mengkhawatirkan referendum Brexit akan menjadi jalan tol bagi Inggris dan Eropa menuju ideologi populis kanan. Mengapa referendum Brexit ini menguntungkan populis kanan akan menjadi jelas nanti.
Keruwetan Brexit ini bisa kita kaji dan urai dari aspek sejarah terlebih dulu, supaya mudah dipahami. Kita jangan pernah melupakan bahwa ideologi fasisme yang diinisiasi Adolf Hitler dari Nazi Jerman pernah menguasai Eropa dan dunia. Saat itu, selain Eropa, Jepang juga menjadi negara fasis. Juga negara-negara Amerika Latin seperti Argentina dan Brazil. Bahkan partai fasis juga didirikan di Indonesia.
Hancurnya “kerajaan seribu tahun” Nazi Jerman tidak pernah menghancurkan ideologi fasisme. Sebab, mereka terus bergerak di bawah tanah dan mencari momen yang tepat untuk kembali berkuasa di Eropa dan dunia. Sampai sekarang, buku karangan Adolf Hitler, Mein Kampf (Perang Saya) masih merupakan salah satu buku yang paling banyak dibaca di seluruh dunia.
Ideologi fasisme secara halus berhasil ditransformasikan oleh intelektual mereka menjadi ideologi populis kanan yang lebih kekinian, karena menyentuh isu seperti globalisasi, upah buruh, imigrasi, dan terorisme. Mereka menggunakan jargon yang populer di kelompok kiri, agar lebih menyentuh kalangan menengah ke bawah. Padahal, berbeda dan sangat bertolak belakang dengan ideologi kiri, substansinya tetap saja sama, yaitu fasisme yang penuh kebencian.
Jika kelompok populis kanan ditanya apakah mereka mengagumi Hitler dan Nazi, mereka jelas sontak akan menjaga jarak dan menolak, supaya tidak menimbulkan kontroversi. Namun diam-diam mereka sebenarnya pengikut Adolf Hitler dan Nazi.
Pasca kehancuran Eropa di Perang Dunia II, pemimpin benua biru tersebut mencari formula yang terbaik untuk mencegah perang kembali berkecamuk maupun menghentikan fasisme untuk selamanya. Awalnya, masyarakat ekonomi Eropa (MEE) diinisiasi oleh Prancis, Jerman Barat, Itali, Belgia, Luxemburg, dan Belanda untuk keperluan tersebut. Karena anggotanya semakin banyak, termasuk Britania Raya yang bergabung di tahun 70-an, MEE berubah menjadi suatu konfederasi yang diberi nama Uni Eropa. Akan tetapi Inggris tidak pernah nyaman di dalam Uni Eropa.
Sejak abad ke-16, politik luar negeri Inggris sangat jelas, yaitu menolak bersatunya Eropa daratan di bawah satu entitas politik. Itu sebabnya Inggris memerangi Napoleon dan Hitler yang berambisi menguasai Eropa. Sejak awal Inggris tidak nyaman di bawah hegemoni Prancis-Jerman di Uni Eropa. Sebagai negara yang memiliki jajahan paling banyak di muka bumi, peraih hadiah nobel paling banyak di Eropa, dan tempat lahirnya bahasa internasional, Inggris merasa terlalu didikte oleh Uni Eropa, sehingga menyinggung harga dirinya.
Kebanggaan Inggris terhadap masa lalunya ini yang dimanfaatkan dan ditunggangi dengan sangat baik oleh kelompok populis kanan melalui ideologi fasisme mereka. Hasil referendum Brexit adalah kemenangan bagi populis kanan, di Inggris maupun di Eropa.
Hanya saja kita harus mengkaji efek dari Brexit ke Indonesia. Di satu sisi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan walau Inggris adalah mitra dagang Indonesia yang strategis, dampak referendum Uni Eropa tidak akan signifikan terhadap kepentingan Indonesia. Pernyataan ini patut didukung dengan sepenuh hati, namun di pasar kita lihat poundsterling melemah terhadap dollar. Indeks saham di Eropa, AS, dan Asia juga melemah.
Kerja sama pendidikan dan penelitian kita selama ini dengan Inggris juga harus dilihat lagi seperti apa formula yang terbaik ke depannya, karena jumlah mahasiswa Indonesia di Inggris cukup signifikan. Seperti kita tahu, dana penelitian di universitas-universitas Inggris sangat banyak menggunakan dana Uni Eropa. Dengan dana tersebut perlahan dipotong, kita belum tahu akan diganti dengan apa.
Jika populis kanan semakin kuat di Inggris dan Eropa, bisa jadi itu bukan masalah besar bagi Indonesia. Politik adalah kepentingan, kita tetap punya peluang. Ingat aliansi poros axis antara Jerman dan Jepang, di mana bangsa Jepang disetarakan dengan arya. Politik rasial, sama juga dengan semua ideologi, selalu punya “celah” untuk perkecualian. Walaupun terkesan oportunis, hal ini patut dipertimbangkan demi kedaulatan dan optimasi dari soft power kita.
Meningkatnya ancaman populis kanan di Eropa memang harus disikapi serius oleh Kementerian Luar Negeri kita, dengan memberi perlindungan bagi WNI di Eropa. Namun, dalam perspektif geopolitis jangka panjang, populis kanan Eropa tidak memberikan ancaman langsung bagi integritas teritorial NKRI. Justru Tiongkok, tetangga kita di utara, yang sangat jelas melakukan provokasi terhadap wilayah perbatasan kita. Dan baru-baru ini hal tersebut dijawab langsung dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Natuna bersama armada TNI AL.
Buku Putih Kementerian Pertahanan RI tahun 2015 bahkan sudah menyebutkan secara eksplisit di halaman awal bahwa selain ancaman terorisme, sengketa Laut China Selatan merupakan salah satu potensi konflik regional. Diplomasi dengan populis kanan Eropa justru bisa dimanfaatkan untuk menggertak Tiongkok. Harus diingat bahwa, selain dengan Indonesia, Tiongkok adalah kompetitor dagang utama bagi Inggris dan Uni Eropa.
Jangan lupa Perdana Menteri Hungaria Victor Orban, seorang ultra-konservatif yang dekat dengan populis kanan, pernah berkunjung ke Indonesia awal tahun ini. Victor Orban bahkan memuji Indonesia yang dapat mematahkan serangan ISIS dalam hitungan jam, dan dengan korban jiwa dan luka yang sangat minimal.
Walau pujian ini sangat diplomatis, ini merupakan perwakilan gestur dari Eropa secara keseluruhan untuk berhubungan baik dengan kita. Indonesia harus membuktikan kepada dunia bahwa kita patut diperhitungkan secara geopolitik dan konsisten dengan politik bebas aktif. Dengan demikian, negara-negara Eropa niscaya akan tetap menjalin hubungan baik, apa pun ideologi yang mereka pegang.
Kembali ke Eropa, ternyata kuatnya individiualisme ala Jean Paul Sartre, yang memandang orang lain adalah konflik, masih menjadi pegangan mereka. Persamaan nasib bangsa-bangsa Eropa pasca Perang Dunia II tidak dapat melepaskan mereka dari individualisme, yang akhirnya diperluas menjadi kepentingan nasional dari masing-masing negara tersebut. Akhirnya Uni Eropa tidak sepenuhnya independen, karena selalu dibayang-bayangi Amerika Serikat. Contohnya, veto Jerman dan Prancis di NATO sama sekali tidak menghalangi AS untuk melakukan aksi unilateral di Irak.
Uni Eropa mempersatukan politik dan ekonomi, namun untuk militer masih dikendalikan NATO yang didominasi AS. Selama Uni Eropa belum dapat mengendalikan pertahanannya sendiri, United States of Europe impian negarawan Prancis Jean Monet masih utopia, yang bisa jadi akan terinterferensi oleh agitasi kelompok populis kanan.