Ganjar Pranowo sepertinya memang ditakdirkan menjadi gubernur yang selalu bermimpi mendirikan banyak pabrik di Jawa Tengah. Setelah memicu kemarahan publik Jawa Tengah akibat kontroversi pendirian pabrik semen di Rembang, Pati, dan Gombong, ia juga terus mendorong berdirinya pabrik pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Jepara dan pabrik listrik tenaga uap (PLTU) di Batang. Kini, belum selesai kontroversi tentang mimpi mendirikan berbagai bangunan pabrik yang meluluh-lantakkan lahan pertanian dan mengancam swasembada pangan di Jawa tengah, ia berambisi menciptakan pabrik sosis!
Saya menggunakan metafora “Pabrik Sosis” untuk menjelaskan rencana penerapan lima hari sekolah di Jawa Tengah yang menuai berbagai kecaman. Kontroversi ini berawal dari penerbitan Surat Edaran No. 420/006752/2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada Satuan Pendidikan di Jawa Tengah. Surat Edaran Gubernur tersebut berisi tentang uji coba sekolah lima hari mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 2015/2016. Dengan penerapan kebijakan ini, para peserta didik tak lagi harus menjalani proses kegiatan belajar mengajar selama enam hari.
Sebagai Gubernur, selain beralasan bahwa kebijakan ini bisa membuat para siswa bisa lebih fokus menjalankan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, Ganjar juga yakin penerapan lima hari sekolah bisa membuat para siswa memiliki waktu lebih banyak untuk berkumpul dengan keluarganya.
Sejak surat edaran itu diterbitkan, dunia pendidikan Jawa Tengah bergolak. Baik institusi pendidikan, pemimpin politik, pengamat pendidikan, LSM, hingga orang tua siswa menyatakan menolak pemberlakuan surat edaran tersebut. Meski tak mewakili suara partai, Wali Kota Solo FX Rudy Hadyatmo yang sama-sama berasal dari PDI-P menyatakan ketidaksetujuannya dengan kebijakan lima hari sekolah yang dicanangkan sang gubernur.
Kalangan LSM yang fokus pada isu pendidikan, misalnya Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB), Sri Kusuma Astuti, menyebut dampak penerapan kebijakan ini adalah hilangnya empat hak dasar anak-anak peserta didik: hak tumbuh kembang, hak partisipasi, hak hidup, dan hak mendapatkan perlindungan.
Pendeknya, penolakan atas penerapan Surat Edaran Gubernur sejak Maret 2015 nyaris merata, mulai dari kepala dinas dan pejabat pendidikan, guru dan kepala sekolah, serta siswa dan orangtua siswa. Mereka umumnya menyatakan bahwa pemadatan jam belajar siswa justru kontraproduktif bagi keberhasilan proses pembelajaran. Selain durasi belajar selama 12 jam di sekolah bisa menciptakan kejenuhan bagi peserta didik dan gurunya sendiri, cara belajar masing-masing siswa tak bisa disalurkan hanya lewat institusi sekolah. Situasi ini akhirnya akan membuat siswa terasing dari masyarakatnya karena intensitas interaksi antara mereka dengan masyarakat sekitar menjadi sangat sedikit.
Dari kantong-kantong Nahdliyin Jawa Tengah, institusi pendidikan yang dibangun para kyai seperti pesantren dan madrasah menolak mentah-mentah rencana penerapan kebijakan lima hari sekolah. Mereka beralasan penerapan kebijakan ini akan mengakibatkan para peserta didik sekolah formal tak punya kesempatan untuk belajar ilmu-ilmu agama.
Yang menarik dari kontroversi Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah itu adalah tak tampaknya protes dari institusi pendidikan non-agama di luar sekolah seperti lembaga bimbingan belajar yang tersebar hampir di seluruh Kabupaten di Jawa Tengah. Kalau mau jujur, justru merekalah yang mendapatkan pukulan telak secara langsung dari kebijakan ini. Bisnis pendidikan yang dijalankan Primagama, Neutron, Gama Operation, SSC hingga Nurul Fikri inilah yang terpapar langsung apabila kebijakan lima hari sekolah benar-benar diterapkan di Jawa Tengah. Ini belum memperhitungkan bisnis pendidikan yang diselenggarakan oleh para guru sekolah di luar jam belajar-mengajar di sekolah.
Rencana Ganjar Pranowo dan Pemprov Jawa Tengah ini mengingatkan saya pada dua hal. Pertama, akar kata sekolah, dan kedua sinisme Marx tentang sekolah atau institusi pendidikan. Istilah sekolah berasal dari bahasa Yunani, yaitu schole. Istilah ini lahir dari praktik pendidikan di Yunani kuno ketika seorang siswa yang memiliki waktu luang akhirnya memutuskan bertemu dengan gurunya.
Di Indonesia, pertemuan dua pihak ini kemudian bermetamorfosa menjadi sekolah. Sungguh ironis, setelah terentang dua milenium lebih, waktu luang ini kini menjadi waktu wajib–dengan sekian banyak beban yang mesti dipikul seorang siswa.
Sebelum spirit sekolah dari era Yunani kuno ini benar-benar dikhianati oleh pemangku kebijakan hingga peserta didik, di awal abad ke-19 Karl Marx sudah sinis dengan institusi pendidikan. Dalam kitabnya yang masyhur, Das Kapital, Marx mengamati kecenderungan institusi pendidikan di Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis untuk menjadi pabrik yang bisa secara instan menciptakan sumberdaya manusia yang siap pakai dalam sistem produksi-reproduksi kapital.
Orang-orang menjalani pendidikan dari SD hingga universitas guna dijejali keniscayaan-keniscayaan peradaban yang dibangun oleh industrialisasi, uang, dan penumpukan kekayaan tanpa batas. Mereka rela masuk ke ruang kelas yang beroperasi layaknya pabrik dan membiarkan dirinya menjadi sosis yang dimakan oleh mesin-mesin industri dan seluruh perangkat lain yang memungkinkan kekuasaan modal lestari.
Merenungkan Surat Edaran No. 420/006752/2015 tersebut, saya membayangkan dalam tidurnya Ganjar Pranowo sedang bermimpi mengamati tahap akhir pembangunan pabrik sosisnya. Setelah pabrik semen, pabrik listrik bertenaga nuklir dan uap berdiri, terakhir pabrik sosisnya berdiri dan siap beroperasi. Dan kredo “Jateng Gayeng” yang digagas Ganjar Pranowo terwujud begitu pabrik-pabrik raksasa di Jawa Tengah mengkonsumsi sosis bikinannya. Fantastis!