Kamis, April 18, 2024

Game of Thrones vs Ghost Fleet: Ketika Pembela Prabowo Bolos Pelajaran Bahasa

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono
Esais, bertempat tinggal di Bantul.

Kian hari, saya kian merasa yakin bahwa banyak kericuhan politik rakyat jelata di Indonesia pada era pasca-2014 terjadi karena seringnya kita dulu membolos pada jam pelajaran Bahasa Indonesia.

Saya tak ingin mengungkit lagi kasus kata ‘pakai’, karena sudah terlalu basi. Kita ambil saja peristiwa terhangat yang muncul dari mulut Jokowi.

Kita tahu, Jokowi menyebut-nyebut satu judul sinetron. Dalam pertemuan IMF-Bank Dunia, ia mengatakan bahwa kondisi ekonomi dunia yang diakibatkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China sekarang ini seperti kondisi yang terjadi dalam sinetron Game of Thrones.

“Namun akhir-akhir ini, hubungan antar negara-negara ekonomi maju semakin lama semakin terlihat seperti Game of Thrones. Balance of power dan aliansi antarnegara ekonomi maju sepertinya tengah mengalami keretakan. Lemahnya kerjasama dan koordinasi telah menyebabkan terjadinya banyak masalah, seperti peningkatan drastis harga minyak mentah, dan juga kekacauan di pasar mata uang yang dialami negara-negara berkembang.”

Itulah kalimat-kalimat awal penyebutan Game of Thrones dalam pidato Jokowi. Selanjutnya, Jokowi menggambarkan bagaimana situasi perekonomian dunia, sembari mengambil beberapa unsur di dalam peta tersebut untuk dibandingkan dengan konfigurasi konflik dalam Game of Thrones.

Saya tidak percaya Jokowi nonton sinetron Game of Thrones, atau membaca novel tebal karya George R.R. Martin. Andai dia mengatakan “sebagaimana sinetron Game of Thrones yang saya tonton”, tentu pernyataan itu dapat dicurigai mengandung hoax dan bisa diperkarakan oleh Ratna Sarumpaet.

Namun, bukan kegiatan Jokowi yang akan saya bicarakan. Saya pun tidak ingin membahas hal-hal substantif semisal betulkah situasi ekonomi dunia saat ini memang mirip Game of Thrones, atau seberapa inkonsisten pernyataan Jokowi antara di depan bos-bos IMF dan di depan publik dalam negeri.

Sebagai pengamat profesional untuk topik-topik recehan, lebih menarik buat saya untuk mencermati respons massa buih dalam menanggapi pidato Jokowi tersebut. Salah satu bahasan yang paling laris adalah pembandingan antara kutipan Jokowi atas Game of Thrones dengan kutipan Prabowo atas novel Ghost Fleet.

Pada beberapa akun medsos ngetop yang sempat melintas di lini masa saya, muncul misalnya pernyataan semacam ini:

“Dulu novel Ghost Fleet dianggap rujukan yang salah bagi metafora politik karena yang mengutipnya adalah Prabowo. Tapi sekarang film Game of Thrones jadi rujukan yang sah bagi metafora politik karena Jokowi yang melakukannya. Standar ganda teruuuss!”

Poinnya, penempatan Game of Thrones pada pidato Jokowi dianggap sama polanya dengan pengutipan novel Ghost Fleet oleh Prabowo, yaitu sama-sama sebagai metafora untuk menggambarkan sesuatu.

Nah, betulkah demikian? Mari kita bedah saja satu demi satu.

Jokowi menyebut Game of Thrones untuk menggambarkan peta konflik ekonomi global saat ini. Segenap nama tempat, peristiwa, dan nama tokoh dalam film tersebut adalah fiktif. Namun, karena ada pola-pola yang mirip dengan konfigurasi perang dagang global di dalam sinetron tersebut, ia pun dijadikan pembanding. Di sinilah kata kuncinya: perbandingan, atau lebih spesifik lagi perumpamaan.

Dalam pelajaran bahasa Indonesia, apa yang diucapkan Jokowi itu adalah majas perumpamaan. Jadi, sebenarnya lebih tepat disebut asosiasi daripada metafora. Poinnya adalah perbandingan dan perumpamaan, karena kesamaan beberapa unsur antara dunia nyata saat ini dan semesta Game of Thrones.

Jokowi tidak mengatakan bahwa kisah dalam Game of Thrones terjadi secara riil di dunia nyata ekonomi global. Ia tidak mengatakan, “Awas, Joffrey Baratheon tak lama lagi akan menyerang Indonesia dari arah Selat Malaka!” (Joffrey adalah salah satu tokoh bengis di Game of Thrones, yang saya juga cuma tahu dari Google—wong saya memang enggak nonton, hahaha.) Tidak, dia tidak mengatakan itu.

Sekarang, coba kita cermati pidato Prabowo waktu menyebut-nyebut novel Ghost Fleet. Beginilah kalimat yang diucapkan Prabowo sambil menunjukkan novel tersebut:

Ghost Fleet ini novel, tapi ditulis oleh dua ahli strategi dari Amerika, menggambarkan sebuah skenario perang antara China dan Amerika tahun 2030. Yang menarik dari sini bagi kita hanya satu: Mereka ramalkan tahun 2030 Republik Indonesia sudah tidak ada lagi!”

Perhatikan. Novel tersebut menuturkan narasi cerita tentang kehancuran Indonesia pada tahun 2030. Lalu, dalam pidatonya, Prabowo mengambil narasi itu sebagai acuan. Tidak cuma pada saat ia menyerahkan buku novel Ghost Fleet di FEB Universitas Indonesia, ramalan kehancuran Indonesia itu muncul juga pada sebuah video yang diunggah di akun Facebook resmi Partai Gerindra. Di situ Prabowo berpidato dengan berapi-api.

“Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030!”

Nah, nah. Pada video itu Prabowo menekankan pendapat dari kajian-kajian di negara lain, bahwa Indonesia tidak ada lagi di tahun 2030. Di FEB UI, Prabowo mengatakan bahwa satu-satunya hal yang menarik dari novel Ghost Fleet adalah ramalan bubarnya Indonesia pada tahun 2030.

Lalu, di mana metafora atau asosiasinya?

Tentu saja tidak ada. Prabowo sama sekali tidak mengambil pola alur atau tokoh-tokoh dalam Ghost Fleet, lalu jalan cerita di novel itu ia ambil kemiripannya dengan situasi Indonesia. Sama sekali tidak. Prabowo mengambil begitu saja apa yang diramalkan dalam novel itu, sebagai sebuah referensi. Bukan sekadar sebagai sebuah asosiasi atas dua “dunia” yang bisa dibandingkan.

Walhasil, tidak sebagaimana Jokowi yang menyatakan bahwa hubungan antarnegara ekonomi maju semakin lama semakin terlihat “seperti Game of Thrones”, dengan kata “seperti” yang jelas sekali, tidak ada indikasi secuil pun bahwa Prabowo menempatkan Ghost Fleet sebagai pembanding atau perumpamaan dengan kata “seperti”.

Dalam pembentukan majas asosiasi, kata “seperti” berposisi sangat vital. Ia merupakan konjungsi subordinatif hubungan perbandingan, dan dapat pula diganti dengan “ibarat”, “bak”, “bagaikan”, “laksana”, “seolah-olah”, “seakan-akan”, atau “tak ubahnya”.

Kata tersebut diucapkan karena pembanding dan yang dibandingkan bukanlah satu entitas yang tunggal. Contoh, saya mengucapkan, “Saya ganteng seperti Christian Sugiono”. Jelas, kata “seperti” pada kalimat itu menunjukkan bahwa saya bukanlah Christian Sugiono. Namun, dengan kata itu pula, muncul makna bahwa ada unsur mirip yang bisa dibandingkan antara saya dan Christian Sugiono, yakni sama-sama gantengnya. Begitu. Sudah mules?

Kata hubung yang bersifat membandingkan itu tidak ada sama sekali dalam pidato Prabowo tentang Ghost Fleet. Yang dilakukan Prabowo sama sekali bukanlah bermetafora, berasosiasi, atau bermajas apa pun. Prabowo mengutip, merujuk, dan mengambil isi novel Ghost Fleet sebagai referensi.

Antara Jokowi yang mengambil metafora atau asosiasi, dan Prabowo yang mengambil referensi, tidak dapat dipandang sebagai dua aktivitas yang sama dan sebanding. Jokowi mengambil novel fiksi sebagai perumpamaan, Prabowo mengambil novel fiksi sebagai acuan fakta yang harus dicemaskan.

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono
Esais, bertempat tinggal di Bantul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.