Sabtu, April 20, 2024

Foto Keramat dan Sang Ratu

Ariel Heryanto
Ariel Heryanto
Profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University

picpres3ANTARA FOTO

Dalam sebuah acara cukup besar dan berwibawa tentang-oleh-dan-untuk peneliti Indonesia di Jakarta, perhatian saya tertuju pada foto Presiden dan Wakil Presiden RI di dinding bagian atas di belakang pembicara.

Pemandangan seperti ini tentu saja dapat dijumpai nyaris dalam setiap gedung pertemuan dan kantor di seluruh negeri yang terbesar keempat di dunia ini. Tidak hanya gedung pemerintahan.

Pemandangan yang sama telah saya saksikan selama lebih dari separuh abad hidup saya, sejak lahir. Sebuah kelaziman yang suda di-normal-kan sehingga menjadi sebuah norma atau kaidah baku.

Entah sedang kerasukan roh apa hari itu, saya justru tergoda mempertanyakan norma baku tersebut. Mengapa sebuah gedung yang khusus dibangun untuk kegiatan ilmu pengetahuan tidak dihiasi dengan foto tokoh ilmuwan, misalnya.

Hal yang sama dapat dipertanyakan untuk gedung atau kantor yang berkait dengan olahraga, atau kesenian, atau perdagangan, atau keagamaan. Mengapa selalu dan seragam, harus foto Presiden dan Wakil Presiden?

Saya dilahirkan di zaman berkuasanya Presiden Sukarno. Dan dibesarkan di bawah pemerintahan Presiden Suharto. Keduanya terkenal punya ego maha besar. Keduanya diperlakukan semacam dewa oleh para pendukung sejati mereka dan para penjilat yang suka berpura-pura menjadi pendukung mereka. Gambar mereka dikeramatkan. Tidak memasang foto mereka bisa ditafsirkan yang bukan-bukan oleh orang lain, misalnya sebagai aksi subversif.

Setahu saya, Joko Widodo berbeda dari kedua Presiden itu. Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia memerintahkan stafnya untuk menurunkan dan mencopot berbagai gambar besar di ruang publik yang menampilkan fotonya.

Kalau fotonya saat ini dipasang di semua gedung dan kantor bukan-pemerintahan, pasti itu bukan karena instruksinya. Tapi karena begitulah prosedur baku yang sudah menjadi tradisi di Indonesia sebelum Jokowi lahir.

Tapi apakah ini “budaya sejati” Nusantara yang layak dilestarikan? Jangan-jangan praktek ini sudah bercokol sejak masa kolonial Hindia Belanda. Yang berbeda cuma orang yang fotonya dipasang di situ. Kalau dulu Ratu Belanda, sekarang Ratu RI.

Revolusi mental? Hmmm.

Kolom terkait : Revolusi Mental atau Fisik? | Revolusi Mental

Ariel Heryanto
Ariel Heryanto
Profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.