Sebagai sebuah mahakarya sastra, novel A Passage to India (1924) karya E.M. Forster adalah bukti nyata bagaimana sebuah karya dapat mengalami pasang surut dalam relevansinya seiring perjalanan sejarah, namun pada akhirnya menemukan kembali esensi dan kekuatan abadi ide-idenya. Bahkan pada tahun 2005, relevansinya tetap terasa, seolah-olah benih-benihnya telah ditanam jauh sebelumnya pada tahun 1955, tak lama setelah India merdeka dan mengalami partisi. Daya pikat abadi novel ini sebagian besar berasal dari fokus Forster yang tak tergoyahkan pada pengalaman pribadi — sebuah kontras tajam dengan narasi yang didominasi institusi — yang disampaikan melalui gaya prosa yang sangat anggun dan puitis.
Namun, kekuatan novel ini juga melampaui batasan internalnya. Novel ini dengan berani menggugat pertanyaan mendasar: mungkinkah Barat, Muslim, dan Hindu menjalin komunikasi yang tulus, melintasi batas-batas agama, budaya, dan politik yang seringkali tak terlihat? Di tengah upaya berkelanjutan para tentara dan pejabat Anglo-Amerika untuk membentuk budaya Timur sesuai cetakan mereka sendiri, wawasan Forster yang tajam tentang bagaimana setiap individu dalam masyarakat sering kali salah menafsirkan dan salah memahami perkataan serta tindakan orang lain terasa sangat tepat waktu dan, sayangnya, menekan.
Forster dengan piawai merajut narasi yang berpusat pada Dr. Aziz, seorang dokter berusia sekitar empat puluh tahun yang bertugas di sebuah rumah sakit di kota India yang berada di bawah pemerintahan langsung Inggris. Suatu malam, di masjid setempat, Aziz secara kebetulan bertemu dengan Ny. Moore, seorang wanita Inggris yang telah tiba di India untuk menjenguk putranya, seorang pejabat pemerintah tingkat rendah, dan juga tunangannya yang prospektif, Nona Quested. Pertemuan awal ini diawali dengan rasa tersinggung pada diri Aziz, yang terkejut melihat kehadiran seorang wanita Inggris di masjid.
Namun, saat ia menyadari sikap hormat Ny. Moore dan kemudahan pendekatan wanita tua itu, Aziz melunak. Setelah beberapa negosiasi, ia berbesar hati menawarkan untuk mengundang Ny. Moore dan Nona Quested, beserta beberapa orang lainnya, untuk mengunjungi gua-gua misterius di Marabar. Namun, di sanalah terjadi insiden yang tidak dapat dijelaskan, yang membuat Nona Quested melarikan diri dan kemudian menuduh Aziz telah melakukan pelecehan.
Peristiwa ini memicu kemarahan besar di kalangan koloni Inggris, mengubah tuduhan dan persidangan selanjutnya menjadi skandal politik yang menggelegar. Simpati Forster, bagaimanapun, secara jelas berpihak pada Aziz dan Fielding, seorang guru yang tidak hanya memiliki ketidaksukaan terhadap sesama bangsanya tetapi juga berupaya menjalani kehidupan yang lebih kosmopolitan daripada pejabat Inggris lainnya.
Nona Quested, meskipun dilanda kebingungan dan bermaksud baik, tetap melanjutkan proses hukum. Namun, seiring berjalannya persidangan, ia mulai meragukan apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, ia menarik kembali tuduhannya, yang mengakibatkan kekacauan bagi kedua belah pihak dan memicu permusuhan yang meluas di antara semua yang terlibat. Keraguan individu dan perenungan selanjutnya hanya melahirkan kebingungan dan kepahitan yang lebih dalam. Tragisnya, pada akhir novel, setiap karakter menemui kegagalan dalam upaya tulus mereka untuk terhubung secara otentik dengan orang lain, meninggalkan rasa isolasi yang mendalam.
Sejak awal, narasi Forster dalam novelnya secara strategis membatasi fokus pada potret pribadi dan pengalaman subjektif, membentuk dunia karakter utama — baik itu personifikasi bintang, kedalaman gua, atau curahan hujan — yang seolah menyatu kembali dengan alam. Setiap karakter, dalam esensinya, adalah individu yang sekaligus berfungsi sebagai representasi dari kelompoknya, dengan pemahaman dan pengalamannya yang terbatas.
Bagi semua karakter ini, kesadaran diri yang mendalam sering kali memicu tingkat pertahanan diri yang bervariasi, sikap hati-hati, dan bahkan rasa malu. Tak seorang pun di antara mereka tampaknya mampu membayangkan adanya kondisi yang berbeda; bagi mereka, keberadaan orang Inggris di India dan persepsi publik tentang benar atau salah terasa sebagai fakta yang tak tergoyahkan. Ironisnya, para “realis,” yang seringkali menjadi sasaran kritik dan cemoohan publik, pada akhirnya adalah mereka yang berduka, bersama dengan kaum idealis seperti Nona Quested dan Ny. Moore.
A Passage to India secara bersamaan menghadirkan kedalaman yang luar biasa sekaligus cakupan yang sempit, sebuah paradoks yang terbentuk karena Forster secara sengaja menghindari suara naratif yang otoritatif. Gaya penceritaannya mengakui bahwa, pada momen tertentu, suatu masalah mungkin terlalu kompleks untuk diajukan atau bahkan dipecahkan. Alih-alih mengarahkan pembaca pada solusi—misalnya, dengan secara halus atau langsung mengadvokasi kebijakan tertentu—baik alur cerita maupun narator justru menjauhkan pembaca dari segala bentuk resolusi.
Setiap kali harapan akan solusi muncul, disertai rasa lega dan kedamaian yang akan datang, kemungkinan itu seolah langsung lenyap. Contohnya, ketika Ny. Moore, yang kini dilanda keputusasaan dan sakit, berhasil membujuk putranya untuk mengirimnya kembali ke Inggris, dan seorang pramuwisata secara ajaib muncul di saat-saat terakhir, ia justru meninggal dalam perjalanan dan dimakamkan di laut.
Ketika Fielding berupaya membujuk Aziz untuk menerima kenyataan bahwa Nona Quested diduga akan menikah dengan Fielding demi uang—sebuah usulan yang berarti menikahi Nona Quested dan menjaga uang untuknya—situasi kembali memburuk. Meskipun pada sebuah festival Hindu, ada momen di mana seolah-olah prinsip-prinsip mulai dapat didamaikan, dan ada kesan bahwa beberapa karakter mulai memahami satu sama lain, namun momen ini segera diikuti oleh pengakuan pahit bahwa rekonsiliasi total adalah hal yang mustahil. Forster secara tajam menunjukkan bahwa tirani, bahkan ketika dimotivasi oleh niat terbaik sekalipun, secara inheren mendistorsi perasaan dan hubungan yang sejati, serta menimbulkan ambivalensi dan penipuan ganda yang tak terhindarkan.
Meskipun demikian, gaya penceritaan Forster tetap elegan dan halus, dengan nada yang begitu ringan sehingga novel tersebut terasa jauh dari kesan tragis. Sebaliknya, pembaca tergerak oleh kepekaan Profesor Godbole, seorang Brahmana Hindu yang penuh teka-teki, yang kehadirannya digambarkan bersama Aziz dan Fielding, namun mereka sendiri gagal memahami makna kelahiran kembali Krishna. Bagian klimaks novel ini berpusat pada festival tahunan, sebuah adegan yang paling diperluas dan diuraikan dengan cermat oleh Forster. Dalam bagian ini, ia dengan cermat menggambarkan kota, kuil, dan ritualnya. Namun, ia juga secara implisit memastikan bahwa pembaca Barat memahami bahwa semua elemen ini bertentangan dengan ekspektasi Kristen dan Muslim, dan memang, bahwa cara-cara mereka sendiri mengandung kontradiksi dari setiap gagasan “penambahan.”
Sama seperti agama rakyat Hindu yang diperkenalkan di awal novel—di mana Ny. Moore mengambil nama “Esmis Esmor” dan terbuat dari kebajikan kecil—implikasi moral yang lebih besar dari persahabatan dan penaklukan, kebaikan dan kejahatan, telah dikaburkan dan hilang dalam kerumitan kejahatan yang baik yang penuh warna. Meskipun sebagian besar novel, tentu saja, menyatakan gagasan bahwa tidak ada apa-apa, novel ini justru menawarkan pandangan bahwa “adalah” dan “tampak” adalah istilah yang dapat dipertukarkan.
Lebih lanjut, karena suara naratif Forster yang sangat spesifik, jelas, dan komunikatif, pembaca tidak pernah kebingungan mengenai tindakan atau karakter. Salah satu argumen utama novel ini sebagai sebuah bentuk adalah bahwa hal yang personal bersifat politis (seperti yang terlihat pada Pamela), namun hanya sedikit penulis yang memiliki kemampuan seperti Forster dalam membuat setiap ide yang paling malas pun merepresentasikan psikologi dan sosiologinya. Saya menduga bahwa ia berfokus pada psikologi dan membiarkan sosiologi berkembang sendiri dari kekacauan politik yang ia temukan saat pertama kali tiba di India pada awal tahun 1920-an.
Hasilnya, meskipun banyak masalah politik yang lebih besar di India “terselesaikan” setelah Perang Dunia Kedua, A Passage to India tetap terasa mendalam karena kesulitan-kesulitan besar yang melingkupinya. Kekuatan Barat dan kolonialisme, serta dampak-dampak yang tertinggal, beralih ke area konflik lain. Novel ini, pada intinya, adalah tentang koneksi. Dengan fokus pada aspek yang sangat halus, Forster dalam beberapa hal menentang perjalanan sejarah itu sendiri.
Meski demikian, setiap novel yang ditulis oleh seorang pria kulit putih yang mengisahkan bangsa jajahan berpotensi memicu kecurigaan di kalangan pembaca. Pasalnya, sang penulis hanya bisa, secara bervariasi, menyimpulkan pikiran, motif, ide, dan nilai-nilai karakter yang berbeda dengannya. Senjata utama seorang novelis dalam menciptakan karakter adalah observasi tajam, gagasan inovatif, dan kemampuan pembaca untuk sejenak mengesampingkan skeptisisme. Namun, gagasan-gagasan ini sendiri seringkali patut dicurigai, mengingat sejarah penuh dengan ide-ide yang pada masanya dianggap benar, namun kemudian terbukti keliru.
Jika ide-ide tersebut berakar pada keegoisan yang membengkak—mirip dengan banyak pandangan Inggris tentang orang India—maka seiring waktu, mereka bermetamorfosis menjadi konsep yang sangat merendahkan martabat manusia. Banyak dari ide-ide lama ini mungkin kini terdengar konyol, namun beberapa, seperti gagasan Balzac tentang fisiologi, tampak tidak berbahaya padahal mengandung risiko tersembunyi. Demikian pula, konsep Victoria tentang sifat wanita, atau gambaran Conrad tentang Afrika, sebagaimana terungkap dalam Heart of Darkness, terbukti membawa dampak yang merugikan.
Tidaklah cukup hanya mengklaim bahwa seorang penulis “tercerahkan pada masanya” (seolah-olah setara dengan kita saat ini); pencerahan relatif, meskipun berguna untuk dokumentasi sosial, tidaklah setara dengan keabadian sebuah karya seni. Forster, menurut saya, sangat mendekati kebenaran esensial ini, meskipun terkadang suara naratornya membuat generalisasi tentang India yang mungkin tidak sepenuhnya akurat. Kejeniusan Forster terletak pada kemampuannya untuk dengan lihai memanfaatkan kekhasan novel guna memperkuat gambaran suram dan moralnya yang problematis. Ia sangat piawai dalam membubuhkan setiap karakter dengan perpaduan sifat yang menarik sekaligus kurang menarik. Ciri khas ini membuat karakter-karakter tersebut terasa begitu hidup dan nyata, sehingga pembaca secara naluriah percaya bahwa karakter dengan kompleksitas moral lebih autentik daripada sekadar tokoh jahat atau suci.
Yang tak kalah penting, pendekatan kedua Forster adalah memberikan setiap karakter tingkat agensi yang signifikan, menempatkan mereka pada posisi untuk secara realistis bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Dalam kasus Aziz, meskipun ia adalah korban ketidakadilan dan prasangka kolonial Inggris yang kejam, ironisnya, kesombongan dan rasa tidak amannya sendiri turut memperkeruh serangkaian peristiwa yang akhirnya menyebabkan penangkapannya. Peristiwa-peristiwa ini, secara tidak terduga, sesekali “melayani” pembaca.
Hal ini karena keberatan Aziz terhadap Inggris bukan terletak pada status mereka sebagai penguasa yang tiran atau tidak becus, melainkan pada perilaku mereka yang kasar dan tidak ramah. Dengan demikian, pembaca secara halus didorong untuk tidak terlalu jauh merenungkan implikasi yang lebih dalam dari karakter-karakter budaya, kepribadian, atau struktur politik ini; cukup bagi mereka untuk mengakui bahwa Aziz tersinggung, dan dengan demikian, setuju dengan premis dasar Forster tentang kemanusiaan yang terfragmentasi, seperti yang diungkapkan secara pedih oleh Ny. Moore.
Mengingat bahwa novel ini pada dasarnya adalah sebuah pementasan sosial, pembaca secara konsisten merasa tersinggung oleh pelanggaran-pelanggaran sosial, meskipun mungkin tidak sampai pada tingkat ketersinggungan yang sama dengan kejahatan anti-sosial ekstrem seperti pembunuhan. Observasi keempat Forster, yang menyentuh tema keabadian, terletak pada ketepatan pengamatannya yang luar biasa. Serangkaian panjang observasi kecil, namun tepat dan meyakinkan, disajikan dengan keanggunan dan kejelasan yang membentuk kebiasaan keterlibatan pembaca dengan penulis. Keterlibatan ini begitu kuat sehingga sulit untuk dipecahkan, bahkan ketika beberapa observasi kecil terasa mengganggu—bahkan, observasi kecil dan sempurna berikutnya mungkin justru akan membangkitkan kemarahan.
Ini sama sekali tidak berarti bahwa setiap pembaca dengan rela menangguhkan ketidakpercayaan mereka dalam A Passage to India. Sebaliknya, Forster secara brilian memanfaatkan kekhasan novel untuk memperpanjang usia kebenaran yang gamblang. Berbeda dengan novel-novel lain pada periode itu, seperti The Great Gatsby atau Main Street, karya Forster berhasil menerangi kondisi zaman kita dengan kejernihan yang luar biasa.