Minggu, November 24, 2024

Fiqh Siyasah Indonesia, Siasat Politik Kontemporer

Azyumardi Azra, CBE
Azyumardi Azra, CBE
Guru Besar Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006. Guru Besar kehormatan Universitas Melbourne (2006-2009). Dewan Penyantun, penasehat dan guru besar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010) dll.
- Advertisement -

Fiqh siyasah (pemikiran politik Islam) Indonesia sepanjang sejarah memiliki distingsi yang dalam banyak hal berbeda dengan fiqh siyasah di kawasan dunia Muslim lain.

Distingsi fiqh siyasah Indonesia menjadi bagian integral perkembangan dan dinamika Islam Indonesia sejak masa klasik kesultanan, kolonialisme, moderen, dan kontemporer sejak masa kemerdekaan.

Distingsi fiqh siyasah Indonesia terkait banyak dengan distingsi Islam Indonesia yang mengadopsi paradigma dan praksis Islam wasathiyah yang akomodatif dan bersahabat dengan budaya lokal.

Masa Klasik Kerajaan/Prakolonial

Secara umum berdasarkan kerangka ortodoksi Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah yang terbentuk pada masa Dinasti Umayyah (41-132H/661-750M).

Fiqh Siyasah Indonesia klasik berdasarkan kontekstualisasi Sunni menjadi tiga aspek ortodoksi Islam Indonesia: kalam Asy’ariyah, fiqh mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.

Rujukan utama fiqh siyasah Indonesia klasik termasuk al-Mawardi (975-1058), al-Ghazali (1058-1111), Ibn Taymiya (1263-1329).

Konsep dan Praksis Sunni

Fiqh siyasah Sunni Indonesia klasik menekan absolutisme Sultan, dan lingkungan kekuasaan. Raja/Sultan adalah ‘bayang-bayang Allah di muka bumi’ (zill Allah fi al-Ard ) yang sekaligus adalah ‘poros agama’ (Qutb al-Din) atau bahkan ‘Wali Allah di muka bumi’–konsep tasawuf yang dipadukan dengan fiqh.

Rakyat sepenuhnya tunduk kepada penguasa—haram oposisi, perlawanan apalagi pemberontakan (bughat).

Stabilitas negara—prasyarat untuk melaksanakan ‘ibadah dengan baik—lebih penting daripada keadilan dan shura.

Sumber Fiqh Siyasah Indonesia Klasik

Pemikiran fiqh siyasah Indonesia klasik terdapat  dalam berbagai kitab historiografi, sejarah dan fiqh. Banyak kerangka dan prinsip pokok fiqh siyasah klasik dapat ditemukan dalam:

- Advertisement -
  1. Periwayatan historiografi dan sejarah seperti: Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Bustanus Salatin (Syekh Nuruddin ar-Raniri) dan sebagainya.
  2. Kitab kompilasi tentang politik, tradisi dan adat seperti Undang-undang Melaka, Adat Melayu.
  3. Kitab fiqh mua’amalah seperti Mir’atut Tullab (Syekh ‘Abdurrauf Singkel).
  4. Kitab khusus tentang politik seperti Tajus Salatin (Bukhari al-Jawhari), Tuhfatun Nafis (Raja Ali Haji).

Cakupan Substantif

Meski mengikut beberapa prinsip dasar Fiqh Siyasah Sunni, fiqh siyasah klasik Indonesia juga tidak mengikuti banyak konsep dan praksis fiqh siyasah Sunni.

Tidak ada pembedaan di antara Dar al-Islam dan Dar al-Harb atau Dar al-Kufr. Juga tidak ada sistem ‘millet’ untuk non-Muslim di masa Dinasti Turki Usmani (Ottoman).

Juga tidak mengadopsi konsep dan praksis Zimmi (non-Muslims yang dilindungi) and jizyah (poll tax). Perempuan diterima sebagai penguasa seperti pengalaman Kesultanan Aceh yang diperintah empat Sultanah berturut-turut (1641-1699M).

Sultan dan penguasa lainnya meski memegang kekuasan secara absolut, harus menegakkan keadilan. Hubungan antara Sultan dan warga/rakyat seperti mahkota cincin (Sultan) dan lingkaran cincin (rakyat).

Raja/sultan dalam kekuasaannya harus mengikuti ketentuan hukum-hukum Allah (syari’ah dan fiqh). Raja/sultan juga harus mengikuti tradisi, istiadat dan adat resam yang tidak bertentangan dengan hukum Allah.

Raja/sultan perlu membangun struktur birokrasi kerajaan dengan wazir (perdana menteri), menteri, syaikhul Islam/mufti/qadi, laksamana dan bendahari.

Fiqh Siyasah Indonesia Klasik dan Kolonialisme

Konsolidasi konsep dan praksis fiqh siyasah klasik Indonesia tidak berlanjut dengan kedatangan kekuatan Eropa (Portugis, Belanda, Spanyol) ke Kepulauan Indonesia.

Belanda menundukkan dan melumpuhkan kerajaan/kesultanan satu persatu di seluruh Kepulauan Indonesia.

Kesultanan/kerajaan yang dibiarkan Belanda tetap ada, tidak memiliki kekuasaan politik, ekonomi dan keagamaan.

Penghapusan kerajaan/kesultanan membebaskan Islam Indonesia dari absolutisme dan feodalisme.

Kolonialisme Inggris di wilayah Semenanjung memperkuat  otoritas kerajaan atas Islam dan adat.

Fiqh Siyasah Moderen Indonesia

Sejak akhir abad 19 dan awal abad 20 semakin banyak ulama dan pemikir Islam Indonesia yang terekspos pada fiqh siyasah Islam ‘pasca tradisionalisme’ dan pemikiran politik Barat modern.

Fiqh siyasah Islam moderen ditandai dengan kemunculan kembali gagasan khilafah (pan-Islamisme) yang dianjurkan misalnya oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan ‘Abdurrahman al-Kawakibi (1855-1902).

Konsep khilafah terbagi dua; khilafah politik berpusat di Istanbul, dan khilafah agama di Makkah. Pergulatan antara fiqh siyasah klasik dengan tendensi fiqh siyasah moderen.

Gagasan pan-Islamisme (khilafah) tidak berkembang karena represi kolonialisme Belanda dan tidak adanya minat dari ulama/pemikir Indonesia. Pemikir dan aktivis Muslim lebih tertarik pada konsep dan praksis sistem politik Barat.

Soekarno terpesona pemikiran dan praksis politik Kaum Turki Muda, sehingga kelak mengusulkan Indonesia berdasar sekularisme. Mohammad Natsir dan banyak ulama tradisional dan pemikir Muslim mengusulkan pembentukan ‘negara Islam’ moderen melalui proses demokrasi. Agus Salim memandang ‘khilafah tidak relevan dengan Indonesia.

Fiqh Siyasah Indonesia Moderen dan NKRI

Mendukung konsep negara bangsa moderen (NKRI berdasarkan Pancasila dan juga menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Mendukung sistem politik demokrasi daripada teokrasi Islam dengan tata hukum syari’ah.

Memandang demokrasi kompatibel dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang politik dan kenegaraan. Tiga bentuk demokrasi dengan partisipasi kaum Muslim: demokrasi liberal (1955 dan era reformasi), demokrasi terpimpin (1959-65), dan demokrasi Pancasila (1966-98).

NKRI sah secara fiqh siyasah, tidak pernah ada fatwa dari ormas Islam arus utama yang menyatakan NKRI tidak sah. Ulama NU (Maret 1954) memfatwakan presiden Indonesia adalah ‘waliyul amri dharuri bisy syaukah’ sehingga segala sesuatu terkait Islam dan umat Muslim sah secara fiqhiyah.

Ulama NU belakangan juga menyebut NKRI sebagai ‘Darul Mitsaq’ (negara konsensus). NKRI dengan Pancasila menurut Muhammadiyah adalah ‘Darul Ahdi wa as-Syahadah’—wilayah atau negara perjanjian dan kesaksian.

Fiqh Siyasah Indonesia Moderen dan Pancasila

Pancasila adalah dasar negara yang bersifat ‘deconfessional’ yang netral/tidak terkait dengan agama (confession). Pancasila dasar negara yang bersahabat dengan agama (religiously friendly). Pemimpin Muslim menerima Pancasila sudah Islam sebagai kalimah al-sawa’

Pancasila yang sudah final sebagai dasar negara adalah sesuai kesepakatan 18 Agustus 1945. Pancasila diterima juga karena ia merupakan jalan tengah di antara sistem politik berdasar sekularisme atau berdasarkan Islam.

Fiqh Siyasah ‘Indonesia’ Moderen Kelompok Sempalan

Ada beberapa kelompok sempalan (dari mayoritas) yang tumbuh dari Indonesia sendiri (splinter ‘home-grown’) tidak menerima NKRI dan Pancasila—berusaha mendirikan Negara Islam Indonesia (NII/DI).

Juga ada kelompok sempalan seperti HTI atau JAD yang merupakan gerakan politik transnasional yang ingin membentuk khilafah dan menerapkan syari’ah atau membentuk dawlah Islamiyah di Indonesia.

Terdapat romantisme dan utopinisme beserta salah paham dan salah konsepsi tentang dawlah Islamiyah dan/atau khilafah.

Disampaikan dalam Webinar ‘Relasi Agama dan Negara: Fiqh Siyasah dan Siasat Politik’ di UIN SMH, Serang, Banten, 21 Agustus 2020.

Azyumardi Azra, CBE
Azyumardi Azra, CBE
Guru Besar Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006. Guru Besar kehormatan Universitas Melbourne (2006-2009). Dewan Penyantun, penasehat dan guru besar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010) dll.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.