Selasa, Oktober 15, 2024

Nyai Ahmad Dahlan dan Amnesia Pahlawan Perempuan

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola pernah menyatakan, bangsa Indonesia mengalami amnesia sejarah. Istilah itu merujuk pada orang-orang yang membenci kekuasaan Orde Baru, namun di masa reformasi justru kembali memilih dan mengikuti jalan para pelaku Orba.

Indonesia, menurut saya, memang kerap mengalami amnesia. Termasuk salah satunya tentang pahlawan perempuan. Jika siswa sekolah dan mahasiswa ditanya siapa saja pahlawan perempuan, jawabannya tak akan lebih dari lima nama, di antaranya Cut Nyak Dien, Kartini, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, dan Fatmawati.

Sementara nama-nama semisal Cut Mutia, Maria Walanda Maramis, Martha Christina Tiahahu, Rasuna Said, Opu Daeng Risadju, Malahayati, Siti Manggopoh, Siti Hartinah dan Siti Walidah tidak banyak yang tahu. Khususnya untuk nama terakhir, masyarakat Indonesia saat ini sedang menikmati film biopik tentang kehidupan dan perjuangannya melalui film berjudul Nyai Ahmad Dahlan The Movie.

Film yang diproduksi Iras Film dan disutradari Olla ata Adonara ini melengkapi film biopik tentang kiprah pahlawan perempuan sebelumnya: Cut Nyak Dien (1988) dan Kartini (2017). Saya termasuk menikmati film Cut Nyak Dien, Kartini, dan Nyai Ahmad Dahlan. Tentu dengan beberapa catatan yang tidak bisa disetarakan dalam proses penggarapan, konteks, dan hasilnya.

Ahmad Najib Burhani menyebut bahwa, meski tidak bisa dijadikan referensi sejarah yang otentik dan otoritatif, film memiliki kredibilitas untuk menanamkan keyakinan dan pembelajaran dalam waktu singkat. Selain juga melengkapi narasi lain, seperti novel dan komik.

Gala premiere film yang dibintangi oleh Tika Bravani dan David Chalik ini dilangsungkan pada pekan keempat Agustus 2017. Ada ungkapan menarik dari Tika Bravani dalam sesi itu, “Meskipun Kartini dan Nyai Ahmad Dahlan berbeda keluarga, tapi mereka punya napas perjuangan yang sama, memperjuangkan hak perempuan.”

Keduanya memang banyak kesamaan, termasuk kesamaan sebagai perempuan darah biru dan bahkan sama-sama dijodohkan sebagaimana lumrahnya ketika itu. “Menurut aku, perempuan masa kini itu mesti ingat perjuangan Nyai dulu. Kita ini sekarang bisa dandan dan main sosial media, nongkrong sama teman, kadang kita lupa dulu perempuan segitunya,” tutur Tika.

Dalam konteks masa itu, perjuangan Siti Walidah tidak biasa. Ia melampaui zamannya. Nyai Ahmad Dahlan hidup di tengah kungkungan kebudayaan patriarkhi, kolonialisme, dan feodalisme sekaligus. Zaman itu laki-laki memegang peranan absolut. Perempuan sering dipersepsikan sebagai makhluk kelas kedua di bawah laki-laki. Perempuan tidak berhak memiliki cita-cita dan masa depan di luar wilayah domestik.

Sri Suhanjati Sukri dan Ridin Sofwan (2001) mendeskripsikan konstruksi gender masyarakat Jawa yang kompleks. Dilandasi kekuasaan feodal-paternalistik yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dari “pancaran sinar kebaikan Tuhan” melalui perantara para nabi, raja, pemimpin, dan suami. Sebaliknya, perempuan, rakyat, dan umat merupakan objek penerima pantulan kebaikan melalui pengabdian dan penyerahan diri dengan tulus dan ikhlas.

Serat Centini karya Ronggo Warsito menguatkan hal itu dengan pernyataan, kehidupan istri di dunia dan akhirat bergantung pada rahmat dunia di tangan suami dan rahmat akhirat di tangan Tuhan. Dalam istilah lain yang populer, “perempuan iku swargo nunut neraka katut.”

Oleh karena itu, perempuan tak perlu mendapatkan hak pendidikan. Film Nyai Ahmad Dahlan dibuka dengan penggambaran betapa tabunya perempuan memperoleh pendidikan ketika itu. Alam pikir yang terbangun bahwa akal dan kecerdasan perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

Dalam Serat Paniti Sastra, misalnya, perempuan dinarasikan: Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin wiwekanipun. Artinya, “Katanya yang telah selesai menuntut ilmu, wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaanya.”

Di tengah situasi itu, Walidah mendedikasikan hidupnya untuk melakukan perubahan sosial. Langkahnya pelan namun pasti. Sang suami, Kiai Ahmad Dahlan, memberikan dukungan maksimal. Nyai Walidah mulai menghimpun perempuan dalam wadah pengajian Wal Ashri yang digagasnya di Kauman. Para remaja, ibu-ibu, buruh hingga juragan batik diajarkan untuk membaca, menulis, dan belajar agama.

Kiprahnya bahkan hingga ke berbagai forum yang lumrahnya diisi oleh laki-laki. Dalam Kongres Muhammadiyah 1926, misalnya, dialah perempuan pertama yang memimpin kongres dan duduk sejajar dengan laki-laki. Dia berujar di tengah forum, “Perempuan sebagai pendamping suami juga memiliki hak untuk menjadi pintar.”

Kepeloporannya bukan tanpa rintangan. Bahkan dari kalangan perempuan sendiri yang pro status quo. Nyai Dahlan dianggap melanggar kesusilaan wanita Jawa demi melawan kemapanan tradisi patriarkhi. Namun berkat usahanya itu, perempuan hari ini bisa merasakan buahnya. Organisasi Aisyiyah merupakan yang paling nyata. Pergerakan perempuan Muslim ini telah melahirkan banyak institusi pendidikan, kesehatan, dan sosial. Termasuk juga universitas yang dikelola secara mandiri dan profesional oleh perempuan.

“Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita. Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan,” tulis harian Republika, 29 September 2008. Nyai Ahmad Dahlan merupakan sosok man of action. Aksi yang dilakukan Nyai berangkat dari keluasan wawasan dan kedalaman akal pikiran.

Nyai Walidah memegang prinsip, pendidikan bisa menjadi awal penyadaran individu dan kolektif. Hasil dari pendidikan adalah membentuk manusia yang mandiri. Terutama mandiri dalam berpikir. Lalu meluas pada sikap mandiri dalam mengambil keputusan dan bertindak. Lepas dari budaya taklid, takhayul, dan khurafat. Kemandirian pada akhirnya akan membuahkan keberdayaan yang seutuhnya. Jika perempuan sudah berdaya, maka tingkat ketergantungan dan subordinasinya di bawah laki-laki akan luntur.

Sesuai dengan norma umum, perempuan yang kerap didudukkan sebagai sosok yang berada di rumah dalam pengawasan laki-laki diubah oleh Nyai Dahlan dengan tindakan sebaliknya. Seorang diri Nyai Dahlan mengunjungi cabang-cabang Aisyiyah di seluruh Jawa. Di antaranya Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya.

Dalam kenangan sesepuh Muhammadiyah Muchlas Abror, Nyai Dahlan terbiasa bertabligh dengan menunggangi kuda hingga ke Banjarnegara. Sementara Siti Ruhaini Dzuhayatin menyebut, bahkan Nyai Dahlan juga melawan tabu dengan bersepeda, yang sangat identik dengan Belanda ketika itu.

Nyai Ahmad Dahlan menyakini bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra bagi suami. “Pernikahan itu sebagai wadah untuk berpikir bersama, bukan berpikir sama,” kata Nyai dalam salah satu adegan film. Pernyataan ini menunjukkan tidak adanya nalar dominasi. Hasil penelitian Siti Ruhaini Dzuhayatin (2015) menyimpulkan bahwa antara Kiai Dahlan dan Nyai Walidah membentuk relasi senior-junior partnership, dan mendekati equal partnership.

Perbedaan jenis kelamin dimaksudkan bahwa antara laki-laki dan perempuan mengemban fungsi dan peran berbeda, seperti halnya urusan reproduksi. Perbedaan fungsi dan peran tidak berarti perbedaan level dan derajat kemuliaan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama mengemban amanat untuk saling melengkapi dalam rangka memakmurkan bumi.

Kemuliaan laki-laki dan perempuan dilihat dari ketakwaannya di hadapan Tuhan. Nyai Walidah membuktikan bahwa perbedaan nasib laki-laki dan perempuan di masa itu bukan karena faktor kodrati yang menakdirkan perempuan lebih rendah, tetapi karena akibat bentukan kultur dan lingkungan sosial.

“Perempuan juga harus bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini,” kata Nyai Walidah dalam satu bagian film. Di masa revolusi kemerdekaan, selain melakukan pencerdasan dan pemberdayaan perempuan, Nyai juga terlibat dalam melawan penjajahan Jepang. Tak hanya menjajah, Jepang menghalangi organisasi Aisyiyah yang dianggap mengancam eksistensi Jepang. Sebisa mungkin Nyai Dahlan melakukan beragam cara, termasuk mendirikan dapur umum bagi para pejuang.

Wajar saja jika kemudian negara memberinya gelar pahlawan nasional pada 10 November 1971 dengan Surat Keputusan Presiden nomor 42/TK tahun 1971. Jiwa nasionalisme menggerakkannya untuk berkonstribusi bagi bangsa Indonesia. “Bangsa ini adalah amanah dari Allah yang harus kita jaga hingga akhir hayat kita,” pekik Nyai sesaat setelah proklamasi kemerdekaan.

Kontribusi besar Nyai Walidah tentu tidak bisa dilepaskan dari pergaulannya yang luas dengan para karib suaminya. Di antaranya Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, KH Mas Mansyur, dan lainnya.

Perlu diingat bahwa salah satu poin yang mendasari penetapan Kiai Dahlan sebagai Pahlawan Nasional melalui surat Keputusan Presiden Soekarno nomor 657 tahun 1961 terkait erat dengan peran gerakan perempuan Aisyiyah. Dalam poin keempat penetapan itu disebutkan, “Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.”

Pasangan suami istri pahlawan nasional ini telah mengajarkan kita banyak hal. Semoga kita tidak amnesia.

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.