Sabtu, April 27, 2024

Marlina dan Kebisingan yang Tak Pernah Reda

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.

Tak perlu menunggu hari perempuan untuk menulis tentang perempuan. Kehidupannya unik, tuturannya syarat nasihat, hingga inspirasi perempuan dikandung setiap zaman. Soal perempuan, bukan melulu kasih sayang, lembut, nian penuh kasih. Sosok yang disebut perempuan ini bisa jadi sekeras batu, pembunuh paling kejam, dan suaranya bisa mengalahkan racun mematikan sekalipun.

Soal perempuan yang layak diperbincangkan lagi dan lagi adalah tentang kemunculan Marlina Si Pembunuh dalam 4 Babak. Dalam film yang durasinya bisa membuat kita berpikir lama, bisa membuat kita merenung tentang langkah-langkah perempuan, atau bisa mengembalikan ingatan apakah kita secara sadar telah mengalami pelecehan, mengalami diskriminasi atas nama kewajiban, lalu kita (perempuan) lupa hak-hak paling dasar juga paling manusiawi.

Marlina membuat saya berpikir bahwa memang benar perempuan harus menyelesaikan urusannya sendiri. Siapa yang bisa menolong perempuan? Hanya diri mereka sendiri. Terdengar egois memang, namun itulah nyata yang tidak bisa ditolak. Siapa yang akan menolong perempuan ketika ia merasakan kesakitan luar biasa saat melahirkan anak-anak zaman? Meski ada dokter, perawat, juga doa-doa terkasih, perempuan sesungguhnya menolong dirinya sendiri. Lalu, dengan jumawa, yang dilahirkannya itu diakui keluarga, lingkungan juga zamannya.

Lalu, perempuan yang bekerja, menjadi ibu, dan berupaya kuat karena adat. Ia harus berlarian dengan waktu yang tak mungkin dikejarnya. Hanya menyerempet-serempet sedikit. Nyerempetnya pun bisa jadi beruntung atau salah sedikit ia akan dihina zaman. Perempuan yang paling tahu ujung malam juga awal pagi. Ia bangun dengan teriakan alami manusia “kelaparan”.

Perempuan memastikan semua yang disayanginya mendapat gizi cukup, lalu bekerja dengan target-target yang membuatnya tak sempat mengeluh. Belum lagi ia harus berbaur dengan adat dan masyarakat. Ia memastikan semua yang dikasihinya tidur nyenyak, hingga ia bisa tidur layak.

Semua berdalih bahwa ini memang tugas seorang yang kelak menjadi istri, ibu, sekaligus wanita karier. Katanya, ini semua pilihan. Kapan perempuan diajak bernegosiasi atas pilihan yang disodorkan padanya? Bukannya itu keharusan yang seolah melekat kuat di masyarakat. Perempuan harus menyelesaikan urusannya sendiri. Sekali lagi, ia dipaksa lebih kuat dari nasibnya, lebih kuat dari kemalangannya.

Marlina (Marsha Timothy), dalam tatapan kosongnya, mengadu tanpa bermaksud pasrah. Perjalanan membawa kepala pemerkosanya yang dipenggalnya dengan sadar tentu bukan perjalanan biasa dan bisa dilakukan perempuan biasa. Dia (Marlina) janda yang tinggal seorang diri di puncak perbukitan sabana di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sebab kemiskinan yang enggan berlalu, membuat Marlina harus membiarkan suaminya menjadi mumi di pojok rumahnya.

Tubuh suaminya yang telah kaku itu dipeluknya sebagai kehangatan juga pengingat bahwa ia pernah bersuami. Biaya pemakaman yang mahal tak membuat suaminya mendapat tempat layak. Marlina mungkin berpikir adakah tempat yang lebih layak selain di sisinya? Lalu, malam laknat itu segerombolan perampok menyita seluruh ternak, satu-satunya yang berharga yang dimiliki keluarga miskin itu.

Dengan berdalih bayar hutang, ternaknya diangkut tanpa ampun. Jika tadi saya bilang ternak adalah satu-satunya barang berharga dari keluarga itu, yang lain yang juga berharga yang dimiliki Marlina adalah harga diri. Ini juga dipaksa dirampas. Marlina diperkosa, dipaksa menikmati, hingga ia memainkan parang sebagai emosi. Parangnya menyembelih sang pemerkosa itu.

Kepala inilah yang dibawanya dalam perjalanan menemukan keadilan. Ia membunuh perampok dalam malam laknat itu. Ia sadar dengan berteriak atau lari seperti kijang tak akan membuatnya lolos dari maut. Ia harus menghabisi sebagai perlawanan diri. Ia mengandalkan keperempuanannya sendiri.

Malam laknat, di hadapan mumi suaminya, juga makam anaknya yang mungkin belum kering, tak mungkin ia minta tolong, tak mungkin ia mengandalkan nasib pada orang lain. Hanya dengan pembunuhan itu, Marlina bisa menentukan nasibnya lebih dari perempuan hidup yang diperkosa ramai-ramai dan berakhir layaknya bangkai.

Membawa kepala yang berlumuran darah, Marlina harus menghirup bau-bau tak sedap, bau bangkai. Berhari-hari kepala itu dibawanya sebagai bukti ketika sampai di kantor polisi. Banyak yang memandang Marlina dengan tatapan aneh dan menakutkan. Namun, di antara yang memandang ada perempuan-perempuan lain yang tak mempersoalkan. Inilah perempuan, ia harus berhadapan dengan bau-bau busuk yang melekat, tak jarang berlumuran darah, berhadapan dengan bangkai, demi menuntaskan sesuatu yang diyakininya benar. Namun, tetap saja hukum yang tidak pasti di negeri ini membuat pengaduan macam apa pun akan berakhir bias.

Dari Marlina, kita berharap ada cerita-cerita tentang perempuan yang muncul lalu diselesaikan. Ada satu kisah tentang perempuan perkampungan yang harus menelan luka berkali-kali. Ini mungkin dialami perempuan di perkampungan lain yang tidak tersentuh sosialisasi hak, hukum, bahkan jauh dari suara kepedulian. Perempuan dalam kisah ini dinikahi secara sah oleh seorang laki-laki berseragam dan dikaruniai anak-anak yang tumbuh besar dan sehat.

50 tahunan usia perkawinan mereka, semua baik-baik saja, hingga tiba sang lelaki terpincut wanita lain lewat pesan pendek (SMS) operator dan teror salah pencet nomor. Lelaki yang baru “melek” media sosial ini merasakan menemukan “dunia” baru. Lelaki ini sama sekali tak menunjukkan gelagat tidak baik hingga tiba-tiba ia menyiarkan berita ingin bunuh diri jika tidak segera dikawinkan dengan wanita lain yang ditunjukknya. Seketika itu, hati seorang istri yang telah 50 tahun mendampinginya lebih dari rapuh. Ia melawan. Ia bertanya apakah seorang PNS bisa memiliki 2 istri sekaligus?

Ia memutuskan untuk menggugat. Dua malam telah berlalu, sang istri datang dan menandatangani surat-surat yang sama sekali tak memberatkan sang lelaki. Ia melakukan ini mengingat anak-anaknya, mengingat bahwa karier laki-lakinya akan hancur jika ia menggugat, juga ia masih sempat mengingat bagaimana ia telah dirawat baik oleh keluarga lelaki.

Tuntutannya tak lebih dari jangan membawa perempuan itu ke halaman rumahnya, bahkan ketika istri itu mati sekalipun. Lantas, setelah pernikahan keduanya digelar, apakah janji-janji lelaki dipenuhi? Istri hanya makan janji. Ia tetap ke sawah, memberi makan ternak, untuk memenuhi perutnya, setidaknya bebannya sedikit berkurang, sebab ia hanya mengisi perutnya sendiri. Ia bahagia begini. Kadang, lelaki datang dan tidur satu ranjang. Ia menemani dan menjalankan kewajibannya (masih) istri.

Lalu, sang istri mandi lebih lama dari biasanya. Ia mengusap seluruh tubuhnya, merasa jijik dengan tubuhnya sendiri yang rela berbagi suami. Ia bersetubuh dengan lelaki yang menyebut dan membayangkan perempuan lain. Sang istri kembali harus bekerja, mengurus dirinya dan berdaya atas dirinya sendiri. Katanya pada saya, tak banyak yang diinginkannya, ia hanya mempersiapkan kematian dan melihat anak-anaknya bahagia.

Perempuan masih harus berpikir masa depan ketika ia terluka berkali-kali. Serupa dengan Marlina yang berjuang sendiri menemukan keadilan, banyak perempuan yang juga mencari keadilan dan akhirnya yang bernama keadilan memiliki definisinya masing-masing.

Mouly Surya, sang sutradara film Marlina Si Pembunuh dalam 4 Babak yang sukses membuat Indonesia “dibicarakan” dunia membingkai perempuan sebagai sumbu utama film ini, sementara laki-laki adalah kebisingan yang menghantui mereka. Sang sutradara yang juga perempuan, tentu tak melebihkan. Perempuan tentang keistimewaan juga kemalangannya memang belum sepenuhnya terang. Bagaimana penyebutan “janda” begitu memalukan ketimbang “duda” yang tampak normal saja. Laki-laki sama sekali bukan musuh perempuan, bukan pula untuk diperangi. Lelaki seharusnya tak menambah kebisingan seperti fungsinya sesungguhnya.

Ketika menonton film ini, penggemar Marlina atau yang penasaran dengan arwah kepala pemerkosa, dituntut harus sabar. Karena filmnya detail, pergerakannya juga harus dirasakan, diilhami, tapi jangan sampai mengantuk saking lamanya. Sama seperti realita. Perjalanan perempuan tidak ada yang instan. Sabar yang berbuah keikhlasan untuk mengubah sesuatu agar menjadi keyakinan banyak orang juga mengubah sesuatu yang sudah ketinggalan zaman dengan nilai-nilai yang lebih humanis, lebih menghargai perempuan, karena di rahim perempuan sebuah zaman juga turut dipelihara hingga tiba saatnya dilahirkan.

Marlina yang kehilangan lantaran keguguran. Marlina yang pernah bersuami namun dipisahkan kematian. Marlina yang (sudah) diperkosa harus membuktikan alat kelaminnya menunjukkan dipaksa, bukan suka sama suka. Marlina pembunuh, pemenggal kepala sang pemerkosa, harus membuktikan dirinya tak berdosa. Serta Marlina yang harus hidup untuk dirinya sendiri.

Perempuan harus bangkit setelah jatuh berkali-kali. Perempuan harus membaca kehilangan, bukan menghitungnya. Perempuan harus menemukan sesuatu yang lebih cepat menyembuhkan.

Kolom terkait:

Surga (Patriarkis) yang Tak Dirindukan 2

Identitas, Konflik, dan Bid’ah Cinta

Menjadi Subjek di Tengah Budaya Patriarki

Nyai Ahmad Dahlan dan Amnesia Pahlawan Perempuan

Perempuan Dalam Cengkraman Kapitalisme-Patriarki

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.