Sejak kelahirannya pada 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Muhammadiyah tidak hanya dipandang sebagai gerakan keagamaan, tetapi juga sebagai gerakan sosial yang mengedepankan layanan dan kesejahteraan umat. Akar filantropi ini dapat ditelusuri dari prinsip “Penolong Kesengsaraan Oemoem” (PKO), sebuah gagasan revolusioner pada zamannya yang menempatkan kerja sosial sebagai bagian integral dari ibadah dan pengabdian. Melalui PKO, gerakan pelayanan publik berkembang dalam bentuk sekolah, rumah sakit, klinik, panti asuhan, dan berbagai unit pelayanan sosial lainnya.
Dalam perspektif gerakan sosial, filantropi Muhammadiyah bukan sekadar aktivitas memberi sedekah secara sporadis, tetapi merupakan strategi besar dalam memajukan umat dan bangsa. Pendidikan menjadi sektor yang sangat strategis karena dipandang sebagai kunci perubahan sosial. Sekolah-sekolah modern Muhammadiyah melahirkan generasi terdidik yang mampu beradaptasi dengan dinamika zaman dan berperan aktif dalam pembangunan nasional. Di bidang kesehatan, rumah sakit dan klinik Muhammadiyah konsisten menyediakan pelayanan terjangkau bagi masyarakat luas, khususnya kelompok kurang mampu yang sebelumnya sulit mengakses fasilitas kesehatan memadai.
Gerakan filantropis Muhammadiyah semakin terorganisasi melalui lembaga-lembaga pengelola dana sosial seperti LAZISMU (Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Muhammadiyah), Majelis Pelayanan Sosial, serta berbagai unit aksi kemanusiaan lainnya. Penataan zakat, wakaf, infak, dan sedekah ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah memahami pentingnya tata kelola profesional agar dana umat tepat sasaran. Melalui lembaga-lembaga ini pula, Muhammadiyah memperluas dukungan kepada kelompok rentan dan wilayah tertinggal—bahkan hingga pada misi kemanusiaan internasional seperti Palestina, Rohingya, dan berbagai negara yang dilanda konflik.
Transformasi filantropi ke dalam amal usaha dan tata kelola modern
Seiring perjalanan sejarah, praktik filantropi Muhammadiyah bertransformasi dari aktivitas voluntarisme menuju sistem yang semakin profesional, terukur, dan berkelanjutan. Pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf kini melibatkan praktik manajemen modern—mulai dari audit, digitalisasi, hingga laporan pertanggungjawaban publik. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya bertumpu pada niat baik, tetapi juga membangun mekanisme kelembagaan yang kuat.
Kajian tentang filantropi Muhammadiyah memperlihatkan integrasi antara nilai-nilai religius, etika sosial Islam, dan manajemen kontemporer sebagai ciri khas gerakan ini. Digitalisasi—melalui aplikasi zakat, laporan daring, serta pemantauan program berbasis data—membuat filantropi Muhammadiyah mampu bersaing dengan lembaga filantropi modern lainnya. Transparansi dan akuntabilitas yang konsisten turut membangun kepercayaan publik sehingga partisipasi masyarakat semakin luas.
Namun, perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang bersifat profit oriented kerap dipandang menyimpang dari “ruh awal” gerakan. Pada kenyataannya, pertumbuhan AUM merupakan respons terhadap kebutuhan sumber daya yang semakin besar untuk menjalankan layanan sosial. Rumah sakit, universitas, dan sekolah memerlukan pendanaan yang stabil agar tetap dapat beroperasi secara berkelanjutan. Dengan demikian, usaha produktif dapat diterima sepanjang orientasinya tetap berpihak pada pelayanan sosial, bukan semata-mata mengejar keuntungan. Transformasi ini menegaskan bahwa filantropi Muhammadiyah bersifat adaptif. Filantropi tidak lagi dipahami sebagai kegiatan memberi yang bersifat sementara, tetapi sebagai instrumen pemberdayaan yang menciptakan dampak sosial jangka panjang.
Praktik nyata filantropi: layanan pendidikan, kesehatan, dan mitigasi bencana
Kontribusi filantropi Muhammadiyah sangat nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di bidang pendidikan, Muhammadiyah mengelola ribuan sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Jaringan pendidikan ini membuka akses luas bagi masyarakat menengah ke bawah untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Banyak siswa dan mahasiswa mendapatkan beasiswa dari dana filantropi Muhammadiyah sehingga pendidikan benar-benar menjadi sarana mobilitas sosial.
Di bidang kesehatan, rumah sakit dan klinik Muhammadiyah serta ‘Aisyiyah hadir hampir di seluruh provinsi dengan layanan yang terjangkau. Melalui skema subsidi silang, pasien dari kelompok ekonomi rendah dapat memperoleh layanan kesehatan terbaik tanpa terbebani biaya tinggi. Di daerah terpencil, klinik dan rumah bersalin Muhammadiyah menjadi ujung tombak layanan kesehatan masyarakat.
Dalam mitigasi bencana, Muhammadiyah melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) menjadi salah satu kekuatan kemanusiaan terbesar di Indonesia. Mulai dari bencana Aceh 2004, Padang 2009, Palu 2018, hingga pandemi COVID-19, ribuan relawan terjun langsung memberikan pertolongan, membangun sekolah darurat, menyiapkan dapur umum, membuka layanan kesehatan, hingga membangun hunian sementara. Bahkan pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, Muhammadiyah tetap hadir membangun fasilitas pendidikan, kesehatan, serta tempat tinggal bagi korban bencana.
Tokoh filantropis: kisah Yendra Fahmi
Salah satu pelaku filantropi Muhammadiyah masa kini yang mendapat perhatian adalah Yendra Fahmi. Ia dikenal sebagai pengusaha yang aktif mendukung berbagai program sosial, pendidikan, dan kemanusiaan Muhammadiyah. Kiprahnya mencerminkan model filantropis muslim modern: sukses dalam dunia usaha, tetapi tetap memiliki komitmen mendalam terhadap kerja sosial.
Pada Milad ke-113 Muhammadiyah, Yendra Fahmi menerima “Muhammadiyah Award 2025” dalam kategori Pengusaha Dermawan Kolaboratif. Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi atas kontribusinya dalam pembangunan fasilitas penting, seperti masjid di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan dukungan finansial bagi Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung Selatan (RSMBS). Kehadiran fasilitas tersebut memperluas jangkauan pelayanan persyarikatan sekaligus meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan.
Selain kontribusi fisik, Yendra Fahmi juga aktif mendukung beasiswa, pemberdayaan UMKM, serta aksi kemanusiaan. Baginya, filantropi bukanlah ajang pencitraan tetapi bentuk tanggung jawab moral sebagai seorang muslim dan anggota Muhammadiyah.
Tantangan dan perspektif ke depan
Meskipun kontribusinya sangat besar, gerakan filantropi Muhammadiyah tetap menghadapi berbagai tantangan. Implementasi tata kelola modern yang belum merata dapat menghambat efektivitas program. Tantangan etis terkait orientasi AUM yang dianggap terlalu profit oriented juga perlu terus dikawal agar tidak menjauh dari misi sosial persyarikatan. Selain itu, filantropi modern membutuhkan kolaborasi luas dengan pemerintah, dunia usaha, media, hingga komunitas internasional.
Agenda global seperti SDGs turut memengaruhi arah filantropi Muhammadiyah. Program pengentasan kemiskinan, pendidikan inklusif, kesehatan ibu-anak, pemberdayaan ekonomi, dan aksi iklim harus diselaraskan dengan visi persyarikatan. Untuk menjawab tantangan tersebut, Muhammadiyah perlu terus mengembangkan inovasi sosial, memperkuat transparansi, dan meningkatkan akuntabilitas dalam setiap programnya.
Di tengah dinamika itu, filantropi tetap menjadi fondasi kokoh gerakan sosial Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Melalui lembaga zakat, rumah sakit, sekolah, dan berbagai unit sosial, Muhammadiyah membuktikan bahwa gerakan keagamaan mampu menjadi kekuatan sosial yang relevan dan berkelanjutan. Kehadiran para filantropis seperti Yendra Fahmi menegaskan bahwa kedermawanan tidak hanya tumbuh dari lembaga besar, tetapi juga dari dedikasi pribadi para anggotanya.
Ke depan, dengan menjaga semangat dasar gerakan—mencintai sesama, menolong yang lemah, dan bekerja demi kemajuan bangsa—Muhammadiyah diyakini akan tetap menjadi aktor penting dalam dunia filantropi Islam di Indonesia dan memberikan inspirasi bagi masyarakat global.
