Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa menjadi fenomena politik baru di tanah air. Bukan sekadar menjadi tokoh yang mampu menerobos sekat-sekat perbedaan ras dan agama sejak masih menjadi Bupati Belitung Timur, Bangka Belitung, tapi juga menjadi pelopor pencegahan korupsi yang menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus banyak diperankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tentu, kepeloporan Ahok ini baru bisa diakui jika berhasil “mengalahkan” Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam kasus dugaan upaya penyalahgunaan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2015 yang nilainya diduga bisa mencapai 12 triliun rupiah lebih atau lebih banyak dua kali lipat dari kasus penyalahgunaan bail out Bank Century yang berhasil mengguncang perpolitikan di negeri ini.
Selama ini, kepala daerah relatif tunduk di hadapan DPRD, atau setidaknya selalu bekerja sama dalam banyak hal, termasuk dalam dugaan kongkalikong penyalahgunaan APBD. Ahok tampaknya ingin keluar dari pola hubungan kepala daerah-DPRD yang cenderung koruptif ini.
Langkah Ahok ini menarik karena ia bukanlah kepala daerah yang memiliki dukungan politik besar. Sebagai kepala daerah, Ahok sudah melepaskan diri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mendukungnya pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bersama Jokowi.
Sebagai kepala daerah yang tak memiliki dukungan politik dari DPRD, sangat mungkin ia akan kalah telak jika berkonflik dengan DPRD. Tapi karena ia mampu meyakinkan publik dengan langkahnya yang berusaha menghapus penyalahgunaan uang negara, Ahok pun berhasil meraih simpati rakyat yang kemudian secara suka rela mendukung langkah-langkahnya. Tidak mendapatkan dukungan politik di DPRD, Ahok mendapat dukungan kuat dari rakyat.
Anomali
Fenomena Ahok bisa menjadi anomali karena dalam tataran politik yang normal, lembaga legislatiflah yang berperan mengontrol lembaga eksekutif agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, jabatan, dan kekuasaan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak ada kaitan dengan kepentingan rakyat. Dalam kasus Ahok, justru lembaga eksekutif berfungsi menjadi pengontrol lembaga legislatif.
Jika Ahok berhasil, ia akan menjadi preseden yang baik dalam perpolitikan di tanah air. Bahwa upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan siapa pun, termasuk oleh lembaga yang selama ini dipersepsi justru menjadi objek pemberantasan korupsi. Ini bisa menjadi pola baru yang konstruktif dalam relasi hubungan legislatif-eksekutif.
Selain itu, Ahok juga bisa menghadirkan anomali jika ia benar-benar berhasil menghadirkan tata cara pengelolaan dana (anggaran) pemerintah secara transparan dan akuntabel melalui e-budgeting yang digagasnya sejak masih sebagai Wakil Gubernur berpasangan dengan Jokowi.
Akuntabilitas penggunaan anggaran dana sudah biasa dilakukan Ahok pada saat menjadi anggota DPR RI dan beberapa anggota DPR RI yang lain pun sudah ada yang melakukannnya, tapi sebagai Gubernur yang mengelola birokrasi berskala besar, akuntabilitas pengelolaan anggaran menjadi langkah yang masih relatif langka di negeri ini. Jika berhasil, bisa menjadi pola baku bagi kepala daerah yang lain.
Rakyat vs Wakil Rakyat
Antara rakyat dan wakil rakyat seharusnya punya aspirasi politik yang sama, karena siapa pun tak bisa menduduki jabatan sebagai wakil rakyat tanpa dukungan rakyat. Sayangnya, dalam praktik, wakil rakyat seringkali mengkhianati aspirasi rakyat. Pada saat wakil rakyat mengkhianati aspirasi rakyat, kepada siapa lagi rakyat akan memberikan dukungan agar aspirasinya bisa tersalurkan?
Di DKI Jakarta, Ahok berhasil menjadi “wakil rakyat” dalam menghadapi wakil rakyat yang mengkhianati aspirasi rakyat. Maka pada saat ada upaya DPRD untuk melengserkan dirinya melalui pengajuan Hak Angket, rakyat –terutama warga Jakarta—bahu membahu untuk membelanya dengan cara melakukan perlawanan pada DPRD.
Petisi agar Ahok membangkar dan menghabisi mafia anggaran DKI Jakarta mendapat dukungan luar biasa. Jumlahnya sudah ribuan dan tak hanya dari warga Jakarta. Jika Petisi ini berhasil direalisasikan, tentu akan menjadi sejarah baru, seorang Gubernur bisa berhadapan/melawan seluruh anggota DPRD.
Implikasi positifnya, kepala daerah (baik gubernur, bupati, atau walikota) jika merasa benar, tidak perlu takut menghadapi segala kemungkinan yang berupaya menjatuhkan dirinya, baik melalui hak angket, hak interpelasi, atau cara-cara lain yang bisa ditempuh anggota DPRD atau pihak lain yang tidak menyukai langkah-langkah kepala daerah.
Secara politik, kepala daerah dan DPRD mempunyai legitimasi yang sama karena masing-masing sama-sama dipilih langsung oleh rakyat melalui proses Pemilu yang sah. Legitimasi politik kepala daerah ini penting diketengahkan karena banyak anggota DPRD yang melupakannya, seolah-olah hanya dirinyalah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Karena legitimasi politiknya sama kuat, masing-masing harus mempunyai keberanian untuk saling mengoreksi dan mengontrol agar semuanya berjalan di jalur yang benar sesuai aspirasi rakyat. Meskipun secara formal kelembagaan kewenangan mengontrol ada di tangan legislatif, namun jika ternyata legislatif yang melakukan penyimpangan, eksekutif pun bisa mengontrol legislatif.
Jadi yang bisa mewakili rakyat bukan hanya wakil rakyat, kepala daerah pun bisa berfungsi menjadi wakil rakyat untuk mengontrol lembaga legislatif yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Inilah dampak positif dari fenomena Ahok berhadapan dengan DPRD DKI Jakarta.