Kata “feminisme” agaknya sudah dapat dimasukkan dalam daftar terminologi awam. Terlepas dari banyaknya salah kaprah yang muncul atasnya, feminisme sudah berkembang menjadi populer hingga masyarakat pada umumnya menjadi familiar dengan kata ini.
Namun demikian, masih banyak di antara kita yang mungkin tidak familiar dengan perdebatan-perdebatan di dalam tubuh feminisme itu sendiri, sehingga kerapkali muncul argumen penentang feminisme yang kurang jelas ditujukan untuk feminisme yang mana. Hal ini dapat kita lihat dalam konteks gerakan-gerakan anti-feminisme yang berkembang di Indonesia.
Biasanya, penentang feminisme ini memandang feminisme mengharuskan perempuan (1) berkarier, (2) berpendidikan tinggi, (3) melawan suami, (4) tidak menutup tubuh, kalau bisa telanjang, dan (5) latihan bela diri dan balapan motor, pokoknya kalau bisa sama dengan laki-laki dan bisa melakukan segala hal yang laki-laki lakukan.
Padahal, ide dasar feminisme sebetulnya sederhana saja: Perempuan mendapatkan akses terhadap pilihan hidup yang setara dengan laki-laki dan jangan sampai perempuan tereksklusi dari pilihan hidup tertentu hanya karena konstruksi patriarkis masyarakat.
Sebagai contoh, misalnya perempuan diwajibkan menjadi ibu rumah tangga, kalau tidak mau harus dihukum mati. Padahal, kan bisa saja dipersuasi, dikampanyekan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah yang paling baik. Tidak perlu pakai ancaman hukuman mati, bukan?
Nah, eksklusi dari pilihan-pilihan tertentu yang dilakukan secara struktural—dan menggunakan wewenang negara (atau sistem sosial)—seperti ini yang dicoba didobrak oleh feminisme. Akan tetapi, pada tataran yang lebih partikular, banyak isu yang kemudian memunculkan perbedaan pendapat di antara pemikir-pemikir feminis itu sendiri. Hal ini tentu tidak terhindarkan, wong ide yang turun dari langit saja bisa pecah 73 perbedaan cara pandang, apalagi feminisme yang lahir dan tumbuh di atas tanah!
Feminis Liberal dan Feminis Non-Liberal
Menurut saya, pemikir feminis yang berbeda pandang ini dapat dibagi ke dalam dua aliran, yakni feminis liberal yang menitikberatkan perempuan sebagai individu dan feminis non-liberal yang menitikberatkan perempuan sebagai anggota komunitas (masyarakat).
Dalam konteks akses terhadap pilihan hidup tadi, misalnya, feminis liberal fokus pada bagaimana negara menjamin terlindunginya akses tersebut secara bebas bagi seluruh masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki (Alstott, 2004:52). Sementara feminis non-liberal fokus pada bagaimana pilihan tersebut muncul sebagai pilihan intrinsik perempuan dan bukan hasil konstruksi masyarakat yang patriarkis.
Feminis liberal punya kecenderungan tidak banyak menaruh pembedaan terhadap perempuan dan laki-laki, karena ia menitikberatkan perempuan sebagai individu yang setara dengan laki-laki sebagai individu. Sementara feminis non-liberal menitikberatkan posisi perempuan di dalam masyarakat, sehingga cenderung mengakomodasi pembedaan yang ada dan menaruh perhatian khusus pada perempuan sebagai korban subordinasi dalam masyarakat yang patriarkis.
Yuval-Davis (2000), dalam menjelaskan konsep pembentukan identitas, bahkan menganggap individu sebagai subjek pasif. Individu, termasuk perempuan, tidak membentuk identitasnya sendiri melainkan menyerap identitasnya dari komunitas (masyarakat). Oleh karena itu, sulit memisahkan kehendak perempuan sebagai individu dari konteks masyarakat tempat perempuan tersebut hidup dan bersosialisasi.
Kritik utama dari feminis non-liberal adalah feminis liberal cenderung mengabaikan pengaruh komunitas yang besar terhadap individu (Higgins, 2004:1629).
Feminis liberal memandang perempuan sebagai individu yang diposisikan berhak untuk hidup dengan cara yang dikehendakinya, baik itu yang sesuai dengan masyarakat maupun yang tidak (Cudd, 2006:234-5). Sedangkan feminis non-liberal punya kecenderungan mempertimbangkan bagaimana kehendak perempuan untuk hidup dengan cara tertentu dipengaruhi dan berpengaruh terhadap persepsi masyarakat atasnya.
Perbedaan cara pandang ini kemudian terus berseteru dalam berbagai diskursus yang dipotret menggunakan lensa feminisme. Isu yang akan saya bahas di dalam tulisan ini adalah legalisasi prostitusi.
Kriminalisasi Prostitusi dan Perspektif Patriarkis Feminis Non-Liberal
Feminis yang mendukung kriminalisasi prostitusi sudah pasti non-liberal. Jika ada feminis yang mengaku liberal, tetapi mendukung kriminalisasi prostitusi, berarti liberalnya belum makrifat! Feminis liberal yang memfokuskan dirinya pada deregulasi perempuan terhadap pilihan-pilihan hidup, pasti akan menentang segala bentuk kekangan dari sistem sosial, baik pemerintah maupun komunitas yang membuat perempuan tereksklusi dari pilihan tertentu, termasuk menjadi seorang pelacur atau prostitut.
Mengutip Gillian Abel, Associate Professor of University of Otago (dalam “Should Prostitution Be Legal?”, The New York Times, 5/11/2015) dengan menempatkan prostitusi sebagai kejahatan dan bukan pekerjaan adalah sebuah pencideraan atas hak perempuan untuk memilih pekerjaan dan pengabaian terhadap kebutuhannya akan perlindungan sebagai pekerja.
Pembatasan terhadap perempuan untuk memilih menjadi pelacur sama halnya dengan batasan-batasan lain yang dibangun dalam kerangka pikir patriarkis, antara lain larangan perempuan bersekolah, berkarir, keluar rumah, menyetir, menentukan pasangannya sendiri, memilih dalam pemilu, dan lain-lain. Perempuan selalu menjadi subjek yang dibatasi ruang geraknya dan dikondisikan tidak otonom.
Feminis non-liberal tidak menentang bahwa perempuan seharusnya memiliki hak untuk memilih pekerjaan sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, feminis non-liberal memandang prostitusi sebagai pekerjaan yang merendahkan perempuan dan justru dipilih oleh perempuan karena ketidakberdayaannya mendapatkan pekerjaan lain. Pandangan ini adalah cara pandang patriarkis yang dilestarikan oleh tradisi, agama, dan norma sosial masyarakat.
Bukankah cara pandang ini yang seharusnya didobrak oleh feminis? Feminis non-liberal juga memandang bahwa perempuan memiliki relasi yang tidak egaliter dengan pihak-pihak lain di dalam prostitusi, sehingga dapat dipastikan berada dalam kondisi yang sama sekali tidak bebas.
Di tengah rimba belantara prostitusi sebagai industri gelap, tentu saja prostitut tidak mungkin memiliki relasi egaliter dengan pihak lain, yakni pengusaha dan konsumennya. Ini adalah masalah yang juga dialami buruh sebelum ada campur tangan negara untuk melindungi terupah (employee) dan pengupah (employer) dalam kontrak sosial yang mereka sepakati.
Buruh yang bersepakat dengan perusahaan untuk menerima gaji X dengan jam kerja Y setiap bulan dapat menuntut perusahaan ke pengadilan apabila terjadi pelanggaran kesepakatan. Feminis liberal justru melihat masalah ini sebagai tanda dibutuhkannya legalisasi prostitusi sebagai usaha dan profesi yang resmi dan mendapat perlindungan hukum.
Prostitusi dan Peluang Ekonomi
Sementara perdebatan ini berlangsung, industri prostitusi terus berjalan. Selalu ada jalan untuk permintaan (demand) menemui penawarannya (supply). Di belahan dunia yang satu, prostitut akan dihukum mati atas pilihannya untuk menjadi prostitut dan di belahan dunia lainnya, prostitut tidak akan dihukum namun juga tidak dilindungi.
Ketika negara mengadopsi cara pandang patriarkis ke dalam hukum, salah satunya ketika negara mendiskriminasi prostitusi dari bentuk jasa lainnya, feminis sudah sepantasnya berdiri sebagai oposisi negara. Pemikir liberal melihat pembatasan negara terhadap komoditas tertentu seperti ini menutup peluang individu, termasuk perempuan, untuk mendapatkan hidup yang lebih layak. Padahal, kemapanan ekonomi merupakan jalan menuju kemerdekaan diri (Sen, 1999) yang seharusnya diperjuangkan oleh feminis agar tidak hanya dimiliki oleh laki-laki saja, tetapi juga oleh perempuan.
Negara perlu menghadirkan diri bagi warga negaranya, baik perempuan maupun laki-laki, yang bekerja sebagai prostitut agar hak-haknya sebagai pekerja dapat dipenuhi dan pekerjaannya dapat dijalankan dengan kontrak sosial di dalam perlindungan hukum. Dengan legalisasi prostitusi, prostitut mendapat perlindungan hukum untuk bisa melakukan negosiasi dagang yang menguntungkan baginya, sehingga prostitut dapat mengambil keuntungan ekonomi optimal dari pekerjaan ini.
Pemerintah New Zealand telah melegalisasi prostitusi sejak tahun 2003. Pada tahun 2010, seorang polisi dipidana karena terbukti memaksa seorang prostitut untuk memberikan jasanya secara gratis. Kasus lainnya, di tahun 2014, seorang prostitut mendapatkan ganti rugi senilai 21.000 NZD (sekitar Rp 200 juta) dari badan usaha prostitusi tempat ia bekerja yang terbukti melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
Tampak bahwa legalisasi prostitusi menempatkan prostitusi sebagai sebuah usaha jasa yang setara dengan usaha jasa lainnya, seperti asuransi jiwa, bimbingan belajar, dan konsultan.
Sementara di Indonesia, pemerintah memaksa perempuan meninggalkan pekerjaannya sebagai prostitut dan memaksanya mengambil pilihan pekerjaan yang disediakan negara, seperti yang dilakukan Ibu Risma di Surabaya. Prostitut dari Dolly dipaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai prostitut dan diajari menjahit. Tak ada yang salah dengan perempuan yang menjadi penjahit, kecuali ia dipaksa melakukannya!
Eksploitasi perempuan yang dijual suaminya untuk menjadi prostitut tak ada bedanya dengan eksploitasi perempuan yang dipaksa negara untuk menjadi penjahit, pengusaha keripik, atau presiden sekalipun.
Feminis harusnya berjuang mendobrak perspektif lama yang membuat perempuan kehilangan peluang yang lebih baik dari yang dipaksakan untuk ia ambil, bukannya malah ikut menghancurkan peluang itu sendiri. Jika ingin masyarakat belajar meninggalkan cara pandang patriarkis dan membuka diri pada ide bahwa perempuan adalah subjek yang sama otonomnya dengan laki-laki, maka menjadi anti prostitusi sama sekali bukan jawaban.
Bongkar cara Anda melihat bunga itu, bukan Anda petik bunganya!