Desember tahun ini kita lalui sambil merayakan hari kelahiran dua orang besar di dunia: Nabi Muhammad dan Yesus Kristus. Hari kelahiran kedua pendiri agama besar di dunia ini, Islam dan Kristen, kita kenal sebagai Maulid dan Natal. Maulid kita rayakan pada 12 Desember lalu, sedang Natal pada 25 Desember pekan ini.
Dalam kalender nasional kita, kedua hari di atas dianggap bagian dari hari-hari besar dan menjadi hari-hari libur nasional. Semuanya mencerminkan betapa pentingnya kedua tokoh di atas dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia, yang dikenal tinggi tingkat keberagamaannya.
Tak kurang dari Bung Karno, Bapak Proklamator kita, yang pada 1963 memerintahkan agar perayaan Maulid dilangsungkan di Istana Negara. Dan sebagai kepala negara, Bung Karno juga dikenal sebagai pemimpin nasional yang tak sungkan mendukung perayaan Natal dan menyampaikan selamat Natal kepada umat Kristen. (Jangan lupa: Bung Karno pulalah yang memilih Friedrich Silaban, seorang Kristen dan anak seorang pendeta, sebagai arsitek perancang Masjid Istiqlal yang kita banggakan itu).
Langkah-langkah itu diambil untuk mengakui adanya keragaman agama di negeri kita, di mana umat Islam dan Kristen merupakan mayoritas terbesar. Namun, lebih dari itu, hal itu juga dilakukan untuk memperkokoh kerukunan yang harus tumbuh karena adanya keragaman itu.
Lewat mimbar Maulid dan Natal, kita diingatkan (kembali) akan ajaran dan teladan Muhammad dan Yesus khususnya tentang cinta dan perdamaian, yang memiliki banyak kesamaan. Dengan begitu, rasa nasionalisme kita—yang Bung Karno artikan sebagai “terjalinnya rasa ingin bersatu”—makin tumbuh justru lewat perayaan hari-hari lahir para nabi yang kita tokohkan.
Apakah Bung Karno tidak menyadari bahwa kedua perayaan itu adalah bentukan baru atau tradisi pasca-kenabian Muhammad atau Yesus? Dengan kata lain, bahwa baik Maulid maupun Natal adalah suatu—dalam bahasa pesantren—bid’ah? Tentu saja beliau tahu. Tapi apa yang salah dengan mengambil manfaat dari suatu bid’ah—apalagi para pemimpin kedua agama itu sendiri memang memaksudkannya demikian?
Sayangnya, perayaan kedua hari besar itu menghadapi tantangan merosotnya rasa kebersamaan di antara umat manusia belakangan ini, termasuk di Tanah Air. Alih-alih membangun dunia bersama, kelompok-kelompok mayoritas agama di tempat-tempat tertentu justru menyudutkan kelompok-kelompok minoritas agama lain. Alih-alih solidaritas, yang dikembangkan justru xenophobia, rasa tak suka kepada dan terancam pihak lain.
Di panggung dunia, perayaan Maulid tahun ini ditandai meningkatnya Islamofobia di banyak tempat. Retorika anti-Muslim yang dikembangkan Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat, dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal kanan untuk mengancam kaum Muslim. Sementara itu, selain melipatgandakan Islamofobia yang sudah ada sebelumnya di negara-negara tertentu di Eropa, momentum ini juga dimanfaatkan para elite politik radikal kanan untuk memenangkan pemilu di negara-negara seperti Prancis, Belanda, bahkan Jerman.
Gambaran lebih buruk dilaporkan berlangsung di negeri-negeri bekas Komunis di Eropa Timur seperti Polandia dan Hungaria.
Di Tanah Air, perayaan Natal tahun ini juga ditandai meningkatnya kecurigaan terhadap umat Kristen. Yang paling mencolok, hal ini disimbolkan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai haramnya kaum Muslim menggunakan atribut-atribut non-Muslim di hari Natal. Mengikuti fatwa ini, sejumlah aktivis organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi-aksi sweeping dan razia, yang disayangkan bukan saja oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, tetapi juga KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI sendiri.
Meskipun ditutup-tutupi, fatwa MUI di atas jelas menyudutkan umat Kristen. Hal itu dapat kita baca dari pernyataan para pemimpin Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) atau Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), secara formal, terang-terangan ataupun tidak. Seorang kawan Kristen saya, yang kebetulan pengurus Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), melaporkan bahwa dia dan kawan-kawannya merasa tersinggung dengan keluarnya fatwa itu. Mereka merasa ada perasaan kebencian atau kecurigaan di balik fatwa itu.
“Bagaimana jika situasinya dibalik? Misalnya, kami buat fatwa bahwa umat Kristen dilarang mengenakan sarung, baju koko, atau makan ketupat pada hari Lebaran? Kalian tersinggung tidak?” tanyanya retoris.
Kebiasaan buruk seperti ini harus dihentikan. Para pemimpin MUI harus segera menyadari bahwa mereka tidak bisa main-main dengan retorika anti-minoritas, yang diskriminatif dan intoleran, karena hal yang sama bisa berakibat buruk bagi kaum Muslim yang merupakan minoritas di tempat-tempat lain.
Saya tidak tahu apakah kecurigaan terhadap Natal di Tanah Air diakibatkan oleh atau terkait dengan meningkatnya Islamofobia di tingkat dunia. Jika betul demikian, ini langkah yang salah: jawaban yang tepat terhadap Islamofobia adalah dengan menunjukkan lebih banyak lagi contoh-contoh bahwa Islam (kaum Muslim) itu benar-benar rahmat-an li al-`alamin.
Para pemimpin MUI wajib membaca dan mendiskusikan dokumen “A Common Word Between Us and You” (2007), yang kini sudah ditandatangani ratusan ulama dan cendekiawan Muslim dari segala penjuru dunia. Disusun pertama-tama sebagai surat terbuka menanggapi pernyataan kontroversial Paus Benediktus XVI tentang Islam di satu pidato pada 2006, dokumen itu pada intinya menegaskan bahwa lebih banyak kesamaan di antara ajaran Islam dan Kristen dibanding perbedaannya.
Dokumen itu kemudian ditanggapi dokumen sejenis, “Loving God and Neighbor Together: A Christian Response to A Common Word” (2008), dengan semangat yang sama dengan dokumen pertama di atas, yang kini sudah ditandatangani lebih dari 300 pemimpin dan sarjana Kristen.
Fatwa MUI di atas juga berbahaya, karena hal itu bisa menggerogoti rasa kesatuan dan kebersamaan di antara sesama warga negara Indonesia. Membaca fatwa MUI di atas, bayangkan perasaan apa yang bergejolak di hati Bung Hatta, Bapak Proklamator kita yang lain, seorang Muslim taat asal Minangkabau, seandainya beliau masih hidup. Di masa-masa genting pembentukan bangsa ini, ketika Piagam Jakarta hendak dipaksakan dan para pemimpin Kristen tertentu dari Indonesia Timur mengancam akan memisahkan diri dari bayi Indonesia, beliau mengajak para tokoh yang relevan untuk berunding dan memperoleh jalan keluar yang baik bagi semua pihak.
Bung Hatta mengajak empat pimpinan Muslim terpenting kala itu: Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim. Dalam Memoir-nya (1979), beliau menuliskan kekagumannya kepada pilihan bijak para pemimpin ini: “Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”
Para pemimpin MUI harus mengerti warisan di atas, kewajiban untuk “benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa”, yang diancam fatwanya yang paling akhir. Menyayangkan aksi-aksi anarkis yang kita tahu akan terjadi akibat ucapan kita, seperti yang dilakukan Ma’ruf Amin, sama saja artinya dengan membodohi diri sendiri.
Kalangan “moderat” di MUI harus melawan langkah-langkah radikalisasi di dalam MUI, yang kita lihat meningkat belakangan ini. Diam, tak melakukan apa-apa, sama saja artinya dengan menyetujuinya!
Baca: