Sabtu, April 27, 2024

Fahri Hamzah dan Rontoknya Narasi Besar Status Quo Politik

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

fahrilgFahri Hamzah pada Milad Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Graha Bina Praja, Sumatera Selatan, Selasa (5/4). ANTARA FOTO/Feny Selly

Konstelasi politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan tanah air berubah setelah Fahri Hamzah menerima surat pemberhentian sebagai anggota PKS di semua jenjang. Dalam surat yang ditandatangani oleh Majelis Tahkim (Mahkamah Partai), Fahri Hamzah dianggap “tidak sopan” dan tidak mengikuti garis kebijakan partai.

Fahri sontak membalas dengan menuduh ada pihak yang menginginkan kursi wakil ketua DPR yang ia duduki. Tanpa tedeng aling-aling, Fahri langsung menuntut Presiden PKS ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Ketua DPR Ade Komarudin, penggantian Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR harus menunggu keputusan hukum yang inkracht dulu.

Memang, jika dilihat dari luar, sejak Presiden Joko Widodo memanggil elite PKS ke Istana Negara, PKS telah memutuskan untuk menjadi “oposisi yang tidak agresif”. Toh, Fahri Hamzah terlihat masih tetap vokal dan kritis terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam kacamata analis politik Abdul Rohim Ghazali, pemecatan Fahri justru akan memperkuat deparpolisasi, seperti yang dapat dilihat dari fenomena pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur independen.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas konflik internal PKS, yang sudah banyak dibahas, namun lebih menekankan pada diskusi mengenai kepatutan dan kesantunan politik, beserta konsekuensinya pada sistem ketatanegaraan kita.

Pemecatan Fahri Hamzah adalah contoh sangat jelas bahwa kolaborasi politik hanya dapat terjadi jika ada persamaan kepentingan. Walaupun memiliki ideologi yang sama, Fahri dan elite PKS lain memiliki kepentingan yang berbeda. Di titik itu mereka tidak bertemu. Kepatutan politik adalah ketaatan terhadap hukum dan konstitusi negara ini, bukan menekankan pada tata krama atau kesantunan yang penafsirannya sangat sumir dan bisa sangat berbeda antara beragam budaya yang ada di tanah air.

Dalam gaya komunikasi, dapat dilihat kalau Fahri dan Ahok memang memiliki banyak sekali persamaan dan kemiripan. Ahok juga pernah berkonflik dengan Gerindra, partai yang mengusungnya sebagai calon wakil gubernur DKI. Akhirnya Ahok mengundurkan diri dari Gerindra. Dan yang menarik justru sekarang Ahok sangat solid menjadi calon gubernur independen untuk Pilkada DKI Jakarta.

Ironis memang, walaupun Fahri dan Ahok mengusung ideologi yang bertolak belakang, perjalanan politik mereka banyak kemiripan.

Di pojok lain, konflik internal ini jangan dianggap akan melemahkan PKS. Banyak organisasi besar lain yang mengalami konflik internal, seperti Nahdlatul Ulama dan Golongan Karya (Golkar). Namun justru organisasi tersebut semakin matang dan cerdas dalam manajemen konfliknya. Dialektika Hegel menunjukkan bahwa sebuah sintesis baru akan tercipta dari konflik yang masif. Fahri memiliki banyak konstituen dan simpatisan, yang sudah dibina sejak dia menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi UI.

Sementara itu, pada saat yang sama, desas-desus sudah beredar di media sosial bahwa sejumlah partai besar sangat siap menampung Fahri, jika memang sudah ada keputusan hukum yang inkracht. Politik tanah air memang masih menjadikan pragmatisme sebagai panglima. Tragedi bagi satu partai bisa menjadi “berkah” bagi partai lain. Masa depan Fahri Hamzah sebagai politisi sesungguhnya masih sangat panjang.

Pemerintah memang membutuhkan oposisi yang vokal supaya tetap berjalan pada “rel” yang sudah disepakati. Dengan kemunculan Fahri di panggung politik, narasi besar yang kita warisi dari zaman Orde Baru berakhir sudah. Narasi besar yang dianggap normal di era Orde Baru adalah wakil rakyat sebagai “yes man” dari pemerintah. Berseberangan dengan pemerintah tidakl dimungkinkan.

Fahri dan generasi politisi pasca reformasi telah mendekonstrusi narasi hegemonik tersebut, dengan membebaskan wakil rakyat mengkritisi dan mengontrol pemerintah. Hanya saja dominannya real politik dari DPR di era sekarang justru memungkinkan mereka menjadi narasi baru seperti pemerintah era Orde Baru. Sistem pemerintahan yang non-hegemonik, di mana tak ada cabang kekuasaan yang mendominasi, sesungguhnya adalah kondisi yang paling ideal.

Amerika Serikat yang mempraktikkan trias politika secara tegas, walau banyak kendala di sana-sini, berusaha mencapai ideal itu. Wakil rakyat kita harus menghindar dari “godaan” untuk menjadi wacana hegemonik yang baru. Kondisi di mana representasi kekuatan politik di DPR sangat terfragmentasi karena tidak ada satu partai pun yang memperoleh mayoritas mutlak sesungguhnya sudah mencegah hal tersebut terjadi.

Meski ada kelompok koalisi, seperti Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, secara de facto koalisi seperti ini bersifat sangat lentur, dan bisa berubah kapan saja tergantung “berbicaranya” kepentingan politik yang ada.

Apakah pemberhentian Fahri Hamzah merupakan “rem” supaya dominasi DPR dapat dihindarkan, hal itu masih harus dilihat lagi karena sepak terjang Fahri sebagai politisi tentu masih sangat panjang ke depan.

Kita pernah mengalami era ketika parlemen terlalu dominan, namun tak pernah ada partai yang mendapat mayoritas mutlak (Hung Parliament), yaitu sewaktu masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Pengalaman buruk dari berbagai aksi separatisme dan gejolak politik saat itu akhirnya menyebabkan praktik demokrasi liberal dibekukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah didahului pidato Presiden Soekarno yang bertajuk “Penguburan Partai-Partai”

Pengalaman demokrasi liberal jelas membuktikan terlalu besarnya kekuasaan parlemen tanpa mayoritas mutlak justru menjadi awal pembuka menuju era yang sangat totaliter, yaitu era demokrasi terpimpin yang langsung diteruskan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pembubaran partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Presiden Soekarno dan fusi partai oleh Presiden Soeharto menunjukkan gugurnya narasi hegemonik parlemen yang melahirkan narasi hegemonik pemerintah dan begitu seterusnya.

Berdemokrasi adalah pembelajaran yang sangat panjang, dan sepertinya kita harus belajar banyak mengenai check and balances of power supaya dominasi atau hegemoni tidak terjadi.

Amerika Serikat dan Inggris adalah negara-negara yang selalu berusaha menghindari hung parliament pada sistem politik mereka, walau sesekali hal itu terjadi juga. Meski pengamat selalu berargumen sistem pemerintahan presidensial tidak dapat disamakan dengan parlementer, secara de facto kondisi riil pemerintahan kita justru mengarah ke parlementer.

Ke depan kita membutuhkan parlemen yang punya mayoritas mutlak, sehingga kegaduhan politik tak terjadi lagi. Perseteruan antara Fahri Hamzah dan PKS membuka wacana sampai sejauhmana seharusnya parlemen mengontrol pemerintah dan dibutuhkannya mayoritas mutlak pada DPR.

Mayoritas mutlak bukan berarti kediktatoran. Sebab, jika check and balances berjalan baik, maka pemerintahan akan tetap menerapkan sistem yang demokratis.

Kolom Terkait:

Ahok, Fahri Hamzah, dan PKS: Antara Moral dan Citra

Tragedi Politik Fahri Hamzah

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.