Kamis, April 25, 2024

Evaluasi UU Otonomi Khusus di Tanah Mama

Anis Mibtadin
Anis Mibtadin
Penulis pemerhati Papua

Melalui Undang Undang no 21 tahun 2001, pemerintah memberi otonomi khusus (otsus) pada Papua. Ini merupakan UU otsus pertama dibandingkan tiga provinsi lain, seperti Jakarta, Aceh dan Yogyakarta. Sebagai otsus pertama, bisa dikatakan hadiah spesial, namun, juga dimungkinkan kesalahan dalam perumusan.

Salah satu kesalahan UU ini, ada pada pasal 7 a, mengenai wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang berhak memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Menyadari kesalahan ini, pemerintah mengambil langkah menghapus wewenang dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU no 1 tahun 2008.

Terlepas kesalahan di atas, pemberian otsus seharusnya menjadi angin segar bagi Papua dan Papua Barat. Dengan UU ini, Papua mempunyai kesempatan dan kewenangan untuk mengatur wilayah sendiri, mengoptimalkan sumberdaya untuk mengikis kesenjangan, dalam rangka pemberdayaan dan mensejahterakan masyarakat, hal ini belum ditambah dana otsus yang tidak sedikit.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan berlakunya UU dan PP di atas, mampu mensejahterakan masyarakat Papua dan Papua Barat? Berdasarkan data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 2019 hanya 60,84, hal ini cukup jauh dibandingkan dengan Provinsi yang sama-sama mempunyai otsus, seperti Jakarta 80,76, Aceh 71,90 dan Yogyakarta 79,99.

Dari segi pertumbuhan ekonomi, pada 2019 mengalami kontraksi sebesar -15,72 persen. Padahal, dilansir dari Voa Indonesia, dalam kurun 2002-2018 pemerintah telah mengucurkan 98,395 triliun untuk Papua, ditambah dengan bagi hasil minyak dan gas, sehingga total dana untuk Papua mencapai Rp 105 triliun.

Mengenai hal ini, anggota Komisi II DPR, masih dari Voa Indonesia, Abdul Hakam Naja menyampaikan “Saya kira kita melihat Papua adalah daerah yang paling miskin dan bahkan kemiskinannya itu, jika dengan standar nasional, kemiskinannya tiga kali lipat di Papua 27% (tingkat) kemiskinannya, di nasional tujuh persen”.

Dari paparan data di atas, fenomena kemiskinan di Papua merupakan anomali, bagaimana tidak, Papua dengan sumberdaya melimpah, ditambah otsus dan dana yang digelontorkan tidak sedikit, namun tingkat IPM dan pertumbuhan ekonomi sangat jauh dari harapan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Tanah Mama

Salah satu permasalahan dalam proses pembangunan infrastruktur di Papua adalah tidak terjadi titik temu, antara keret (warga asli) dan pembangun. Hal ini disampaikan Lopulalan (2018) yang  melakukan penelitian di Papua Barat. Lopulalan dalam penelitiannya menemukan banyak papan bertuliskan larangan melakukan aktivitas apapun di kawasan tertentu. Larangan ini ditujukan kepada para kontraktor yang ingin membangun di salah satu wilayah.

Keret keberatan dengan pembangunan tersebut, Keret mengklaim tanah tersebut adalah hak Ulayat (hak adat) yang tidak bisa semena-mena digunakan. Karena problem ini, banyak proyek pembangunan harus berhenti, dan mencoba berdialog dengan Keret, namun banyak yang tidak menemukan kata sepakat dan akhirnya mangkrak.

Bagi masyarakat adat Papua, tanah Papua adalah Mama. Dari tanah itu mereka hidup, dan memperoleh berbagai sumber penghidupan, baik material maupun spiritual. Dengan demikian, tanah bagi masyarakat adat Papua merupakan bagian dari identitas, sehingga untuk bisa membangun di wilayah mereka, diperlukan pendekatan khusus, tidak bisa hanya kebijakan top down yang bersifat memaksa.

Sejauh ini, pemerintah seperti kurang memahami Papua, sehingga pendekatan pemerintah kepada Papua terkesan material, kurang memperhatikan aspek spiritual, dan melihat identitas asli. Dalam otsus Papua memang sudah dijelaskan tentang hak Ulayat dan beberapa adat lainnya, namun tidak dirinci tentang aturan yang bersifat pendekatan untuk merangkul Papua sebagai subjek, aturan dan pendekatan kepada Papua seperti dianggap objek yang bisa diatur sesuai angan pemerintah.

Pemerintah seperti tidak mengenal Papua, melakukan pendekatan cenderung matrealis. Melihat dinamika ini, akhirnya menggerakkan Asrida Elisabeth membuat film “Tanah Mama”. Selain sebagai usaha memperkenalkan tanah Papua yang elok, film ini juga mengandung nilai memperkenalkan budaya Papua yang beragam, sehingga tidak bisa parsial dalam memandang Papua.

Selain ingin mengenalkan Papua secara utuh, film ini juga ingin menunjukkan peran perempuan di Papua yang sering mengalami diskriminasi. Para perempuan sering tidak dilihat dalam proses pembangunan Papua, ditambah tidak sedikit kasus kekerasan pada perempuan yang tidak dilihat media dan pemerintah. Hal ini diakui secara langsung oleh Komnas Perempuan, pada Laporan Tahunan – Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018.

Pendekatan Integratif

Melihat UU otsus Papua yang sudah berjalan sembilan belas tahun tidak berhasil mensejahterakan, dan dana otsus akan berhenti pada 2021. Maka pemerintah harus meninjau kembali, bagaimana pendekatan paling tepat untuk merangkul Papua, agar keutuhan NKRI tetap terjaga.

Paling tidak ada dua pendekatan yang saling berkaitan untuk merangkul Papua. Pertama, pendekatan identitas akomodatif. Maksud identitas akomodatif adalah pendekatan secara soft kepada Papua, yakni menempatkan Papua sebagai subjek aktif, dimana mereka berhak dilibatkan dalam setiap keputusan. Pendekatan ini harus melihat Papua dalam komunitas multikultural, sehingga tidak bisa disamakan antar golongan. Pendekatan ini menuntut memahami Papua secara utuh, baik material maupun spiritual. Sebelum dilakukan pendekatan, sangat diperlukan penelitian mendalam tentang sosio-antropologis Papua.

Berdasarkan hasil riset itu, perlu diintegrasikan dengan proses perumusan hukum yang akan ditetapkan. Pendekatan hukum yang bisa dipertimpangakan adalah hukum progresif, yang dicetuskan Satjipto Rahardjo. Menurut Rahardjo, hukum adalah instrumen mensejahterakan, hukum itu senantiasa hidup, berkembang, dinamis, mengikuti perkembangan masyarakat. Jika hukum tidak bisa menjadi instrumen kesejahteraan, maka hukum harus ditinjau kembali.

Dua pendekatan di atas, mempunyai dasar menempatkan Papua sebagai subjek, hal ini harus ditekankan oleh pemerintah. Sebagai subjek aktif, masyarakat Papua harus dibangun aspek pendidikannya, sehingga dari landasan pendidikan ini, akan dibangun tidak hanya subjek yang aktif, namun juga kritis. Sebagai subjek aktif dan kritis, masyarakat akan disadarkan pada tiga kesadaran. Pertama, kesadaran akan dirinya sendiri sebagai masyarakat Papua, suku Melanesia.

Kedua, kesadaran akan komunitas masyarakat, yang mempunyai berbagai potensi untuk memilih sendiri apakah mau berkembang bersama, atau berkonflik. Dan kesadaran sebagai bagian dari NKRI, yang mempunyai kesamaan nasib, pernah dijajah Belanda. Membangun tiga kesadaran ini akan menjadi pintu awal guna mendekati lebih dalam masyarakat Papua, dan menjadi gerbang guna mempererat kesatuan nasional.

Anis Mibtadin
Anis Mibtadin
Penulis pemerhati Papua
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.