Mosul, kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad yang juga kota paling penting di Irak utara, telah berada di bawah kendali militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sejak musim panas 2014. Dari kota ini pula, Abu Bakar Al Baghdadi, yang didaulat sebagai Khalifah, pemimpin puncak ISIS, untuk pertama kalinya menampakkan batang hidungnya dalam rekaman video berkhutbah menandai berdirinya Negara Islam (Dawlah Khilafah Islamiyah).
Sebagai kota tempat ISIS memproklamirkan Khilafah, tentu Mosul memiliki arti penting bagi ISIS. Mosul adalah ikon ISIS di Irak. Bahkan, kota Mosul disebut-sebut sebagai ibu kota kembar Negara Khilafah ISIS, selain kota Raqqah di Suriah.
Tahun 2003, Amerika Serikat menggelar pasukan besar-besaran di kota ini untuk meruntuhkan rezim Saddam Hussein. Tiga belas tahun telah berlalu, kini militer AS “kembali” lagi ke kota ini dengan memandu pasukan besar untuk menundukkan ISIS. Ini adalah operasi militer terbesar di Irak pasca-invasi AS.
Sejak kemarin operasi pembebasan Mosul dari ISIS telah dimulai. Namun, bergulirnya operasi pembebasan Mosul ini diciderai memanasnya hubungan dua negara, Turki dan Irak.
Turki yang Agustus lalu telah mengerahkan militernya di Suriah dan berhasil merebut kota-kota dari tangan ISIS, kini secara terbuka akan melakukan langkah serupa di Irak. Meskipun ditentang keras Irak, Turki bersikukuh tetap akan ikut andil dalam operasi pembebasan Mosul.
“Kami akan ikut serta dalam operasi di Mosul, sebagaimana keikutsertaan kami di Suriah sekarang,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (19 Oktober 2016).
Sejatinya Ankara telah lama menempatkan pasukannya di utara Irak, tepatnya di Bashiqa, bahkan sejak tahun 2014, dengan alasan melatih pasukan Kurdi Peshmerga dan sejumlah milisi menghadapi ISIS.
Meski Irak berulangkali meminta pasukan Turki hengkang, Erdogan meresponsnya bahwa tentara Turki tidak akan menerima instruksi dari Pemerintah di Baghdad. Baghdad tak bisa berbuat banyak karena pangkalan tersebut berada di bawah otoritas Pemerintah Regional Kurdistan (KRG).
Kedutaan Turki di Baghdad sempat menjadi sasaran demonstrasi massa yang memprotes keberadaan tentara Turki. Massa membawa poster bertuliskan: “perangi teroris di negerimu sendiri!” Dan, Ankara tetap bergeming.
Lantas, kenapa Turki tetap keras kepala memilih terlibat dalam perang melawan ISIS di Mosul, meski ditentang pemerintah Irak? Padahal langkah ini berisiko besar mengancam perdamaian regional.
Pada dasarnya, semua ini tidak lepas dari status ISIS sebagai musuh bersama, semua sepakat soal ini. ISIS telah menjadi magnet siapa pun untuk menumpasnya, atau setidaknya ingin dipandang berperan ikut memeranginya.
Meskipun tanpa Turki, di atas kertas ISIS diprediksi akan kehilangan Mosul dan kalah dalam peperangan ini. Pertempuran heroik mengalahkan ISIS di benteng terkuatnya akan terjadi di depan mata, momentum ini bagi Erdogan sayang sekali bila dilewatkan Turki.
Turki memiliki ikatan sejarah dan budaya dengan Mosul, seperti yang diungkapkan penasihat utama Erdogan Ilnur Cevik, bahwa wilayah ini, bersama dengan Suriah Utara, seharusnya tidak pernah lepas dari Turki setelah Perang Dunia Pertama.
Secara ekplisit dalam sebuah acara seremonial di Ankara, Erdogan berpidato bahwa Aleppo dan Mosul adalah “milik” orang-orang Turki (23 Oktober 2016).
Seperti diketahui, militer Turki telah mengukuhkan kehadirannya di Suriah bagian utara yang berbatasan dengan Turki sejak Agustus lalu atas nama memerangi ISIS. Turki menggandeng salah satu faksi dari kelompok FSA (Free Syrian Army) bernama Brigade Sultan Murad yang didominasi etnis Turkmen.
Turkmen adalah etnis minoritas di Suriah yang serumpun dengan orang Turki. Selama beberapa dekade mereka berupaya mempertahankan bahasa dan budaya mereka di Suriah, menolak kebijakan asimilasi Arab dari rezim Damaskus, dan dianggap sebagai pendukung Turki.
Brigade Sultan Murad telah menjadi aset militer Turki untuk mengamankan kepentingannya di wilayah Suriah, baik untuk melawan rezim Bashar al-Assad, PKK (separatis Kurdi Turki) dan aliansinya YPG (Kurdi Suriah).
Sementara itu, di Irak, Turkmen adalah etnis terbesar ketiga setelah Arab dan Kurdi. Mereka hidup di sekitar Mosul seperti Tal Afar. Turki percaya bahwa penduduk etnis Turkmen sangat rentan tergusur dari daerah tersebut jika ISIS tumbang.
Seperti di Suriah, etnis Turkmen Irak juga mendapat perhatian dan menjadi aset Turki. Pasukan khusus Turki telah lama bekerja dengan Turkmen Irak setidaknya sejak 2003 dalam rangka memperluas pengaruh Turki melawan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dicap Turki sebagai kelompok separatis selama empat dekade di Irak Utara.
Untuk memperbesar pengaruhnya di Irak, Turki membangun hubungan pragmatis dengan Partai Demokrat Kurdi yang berkuasa di Pemerintahan Regional Kurdistan (KRG). Kedua entitas ini telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan baik. Kehadiran militer Turki di kamp Bashiqa juga tak lepas dari persetujuan Presiden KRG Mas’ud Barzani.
Dengan menjalin hubungan baik dengan KRG, Turki ingin menekan lebih keras pengaruh PKK yang menyelinap di Irak Utara. Sebab, PKK telah menampakkan kehadirannya di daerah Sinjar membantu merebut kembali distrik dari ISIS pada musim gugur yang lalu dan Turki menentang keterlibatan PKK dalam operasi Mosul.
Lalu, apa untungnya bagi Kurdi Irak (KRG) bermitra dengan Turki?
KRG di bawah Presiden Barzani memiliki ambisi pasca-kehancuran ISIS. Saat ini KRG sedang mencari cara untuk mengintegrasikan Provinsi Kirkuk Irak untuk menjadi bagian wilayah otonomnya.
Kirkuk terletak di perbatasan selatan wilayah otonomi Kurdistan. Penduduknya adalah mayoritas Kurdi dan minoritas Arab, Turkmen, terletak sebelah timur laut Baghdad.
Kurdi memiliki keterikatan budaya, historis, dan emosional yang kuat dengan Provinsi Kirkuk; mereka menyebut Kirkuk sebagai Yerussalem-nya bangsa Kurdi. Kurdi melihat Kirkuk sebagai kota yang sempurna untuk dijadikan ibu kota sebuah negara Kurdistan.
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa KRG memiliki agenda jangka panjang ingin melepaskan diri dari Irak. Untuk mempersiapkan ini, KRG tentu membutuhkan dukungan negara sebesar Turki untuk menghadapi Baghdad.
Sementara itu, Amerika Serikat terperangkap dalam situasi rumit ini, mengingat pentingnya Baghdad sebagai mitra menumpas ISIS dan keinginan untuk membantu Baghdad mengurangi ketergantungannya pada Iran. Namun, di sisi lain, AS menganggap kehadiran Turki yang bisa mengurangi dominasi Iran di Irak ternyata berpotensi konflik dengan Baghdad.