Kasus perkosaan anak yang belakangan ini menghebohkan para netizen dan masyarakat umum terjadi di sebuah daerah terpencil, tepatnya di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Yuyun (14 tahun), seorang gadis belia yang masih duduk di bangku SMP, menjadi korban perkosaan dan pembunuhan oleh 14 pemuda yang sebagian ternyata adalah teman korban.
Kejadian perkosaan yang menimpa Yuyun sebetulnya sudah hampir sebulan lalu. Tetapi, karena tempat kejadiannya di daerah, dan juga karena kita tampaknya sudah terbiasa setiap hari mendengar dan membaca berbagai kasus perkosaan yang terjadi di berbagai daerah, lantas nurani kita seolah menjadi tumpul.
Tindak kejahatan perkosaan seakan-akan telah tereduksi layaknya tindak kejahatan pencurian sepeda motor yang setiap hari terjadi dan diberitakan di berbagai media massa. Sekitar 5-10 menit barangkali kita prihatin. Tetapi setelah itu, semua sepertinya lewat begitu saja tak berbekas. Banyak masyarakat bersimpat, tetapi tidak sampai benar-benar berempati.
Kisah memilukan yang dialami Yuyun saat ini memang telah mendapatkan perhatian publik yang luar biasa. Di media sosial, tagar #NyalauntukYuyun diunggah sebagai wujud simpati kepada nasib Yuyun sebagai korban perkosaan biadab yang dilakukan 14 pemuda, yang ironisnya sebagian besar juga anak-anak di bawah umur.
Sebagai korban perkosaan massal, kita semua sudah sepatutnya prihatin dan bersimpati kepada remaja malang yang tewas mengenaskan di usianya yang masih belia itu. Tetapi, kita sesungguhnya juga prihatin ketika mengetahui bahwa pelaku perkosaan ternyata sebagian juga anak-anak di bawah umur yang salah pergaulan dan di usia dini sudah terjerumus dalam perilaku menyimpang.
Seperti diberitakan media massa, 14 pemuda yang tega memperkosa dan menggilir Yuyun sebelumnya telah menggelar pesta minum tuak. Mereka dilaporkan sempat membeli 14 liter tuak, meminumnya di kebun, dan kemudian keluar nongkrong di pinggir jalan.
Nasib naas dialami Yuyun yang siang itu tengah dalam perjalanan pulang dari sekolah. Yuyun bukan hanya disergap dan dibawa ke kebun untuk diambil barang berharga miliknya, tetapi gadis belia malang itu kemudian diperkosa beramai-ramai secara bergiliran, setelah itu dicekik hingga tewas.
Untuk menghilangkan jejak, jasad Yuyun dibuang ke dalam jurang sedalam 5 meteran. Yuyun dibuang dalam keadaan telanjang dan tangannya diikat. Bagian kepalanya terluka, dan alat kemaluan korban dalam kondisi yang mengenaskan. Sungguh siapa pun yang membayangkan Yuyun adalah anak perempuan atau orang terdekat yang mereka sayangi, niscaya bukan hanya sedih, prihatin, atau marah, tetapi ibaratnya sukmanya pun ikut melayang. Bisa dibayangkan, apa yang sekarang berkecamuk di benak orang tua Yuyun?
Kisah anak perempuan yang menjadi korban perkosaan dan kemudian mendapatkan simpati yang luar biasa, sekitar satu dekade silam, tepatnya di tahun 1995, juga pernah terjadi dan menimpa sebuah keluarga di Bekasi.
Sebuah harian ibu kota menulis dalam headline dengan judul yang benar-benar mengharu-biru: “Jakarta Menangis”. Siapa pun yang membaca berita itu pastilah ikut bersimpati dan menangis membaca kisah keluarga Acan, yang istri dan dua anak gadisnya yang masih di bawah umur diperkosa bergiliran oleh sekawanan perampok yang masuk di rumah mereka.
Ayah korban, Acan, tangannya diikat, dan diminta menyaksikan bagaimana istri dan anak-anaknya yang ia sayangi diperkosa perampok biadab yang menyantroni rumah mereka.
Nasib naas yang dialami Yuyun, anak-anak keluarga Acan, dan berbagai kasus perkosaan yang menimpa anak-anak di negeri ini, bahkan di dunia ini, adalah sebuah tindak kejahatan kemanusiaan yang menohok hati nurani siapa pun. Lebih dari sekadar kasus hukum di mana pelaku akan bisa diancam hukuman penjara hingga belasan atau puluhan tahun sekalipun, perkosaan terhadap anak adalah sebuah tragedi dan kejahatan kemanusiaan yang menyayat hati siapa pun.
Sesungguhnya perkosaan yang kerapkali menimpa anak perempuan di negeri ini juga bukan sekadar imbas dari ideologi patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang senantiasa disalah-salahkan ketika mereka menjadi korban perkosaan.
Victim blaming atau kecenderungan masyarakat yang menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di satu sisi memang sangat tidak adil. Tetapi, di luar itu, yang membuat kenapa anak-anak dan perempuan senantiasa menjadi korban percabulan, pelecehan, dan tindak kekerasan seksual sebenarnya adalah karena nurani masyarakat yang telah kehilangan kepekaan dan rasa empatinya.
Menyikapi kasus-kasus perkosaan anak hanya sekadar dengan bersimpati tidaklah cukup, karena yang dibutuhkan adalah empati. Pertama, berempati kepada korban dan membayangkan korban adalah orang yang kita sayangi agar ada kesungguhan dari siapa pun warga masyarakat untuk melindungi dan mencegah agar anak-anak perempuan tidak telanjur menjadi korban tindak perkosaan.
Dengan membayangkan anak kandung kita yang juga berpotensi menjadi korban perkosaan, niscaya akan tumbuh aksi yang benar-benar nyata untuk melindungi agar tindak kejahatan kemanusiaan ini tidak makin meluas.
Kedua, berempati kepada anak-anak yang di usia dini sudah terjerumus dalam perilaku dan mengembangkan subkultur yang keliru karena salah pergaulan atau salah sosialisasi. Betapapun para pelaku perkosaan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Tetapi, orang tua, kerabat, dan lingungan di mana anak-anak itu tumbuh, sesungguhnya juga ikut bertanggung jawab karena membiarkan anak-anak itu tumbuh dalam kondisi lingkungan dan juga contoh perilaku yang salah.
Data Komisi Nasional Perempuan selama ini menunjukkan bahwa hampir setiap jam di Indonesia dilaporkan terjadi satu kasus kekerasan seksual. Pelaku tindak perkosaan belakangan ini juga kerap dilaporkan ternyata adalah anak-anak belia yang sedikit-banyak mengakibatkan penerapan hukum menjadi gamang.
Untuk mencegah dan menyelamatkan agar korban-korban baru tindak perkosaan tidak terus bermunculan, yang dibutuhkan tak pelak adalah kepedulian, kepekaan, dan empati seluruh warga masyarakat masyarakat, organisasi sosial-kemasyarakatan, penegak hukum, dan negara.
Kita berkali-kali telah menyatakan bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi “darurat kekerasan seksual”. Tetapi, pertanyaannya kemudian: apa yang telah dilakukan negara dan warga masyarakat untuk memberikan perlindungan yang benar-benar nyata kepada anak-anak kita agar tidak menjadi korban dan pelaku sexual abuse? Adakah di antara kita yang benar-benar peduli dan berempati?
Kolom Terkait: