“Singapura akan punah.” Itulah tweet menghebohkan dari CEO Tesla, Elon Musk, pada hari Kamis lalu. Kicauannya itu menanggapi sebuah postingan tentang krisis bayi di Singapura. Bukan hanya Singapura, Musk berpendapat bahwa banyak negara akan punah jika tidak segera mengatasi krisis tersebut. Meskipun tidak menyebutkan negara mana saja yang dimaksud, kicauan Musk muncul setelah Korea Selatan menjadi sorotan karena alasan yang sama: tingkat kelahiran yang rendah.
Di berbagai belahan dunia, tanda-tanda krisis ini semakin nyata. Kota-kota yang dulu ramai kini terasa sunyi, sekolah-sekolah tutup permanen, dan desa-desa ditinggalkan penghuninya. Selama berabad-abad, peradaban manusia bertumpu pada pertumbuhan populasi dan reproduksi. Namun, angka-angka terkini justru menunjukkan penurunan drastis tingkat kelahiran, populasi yang menua, dan negara-negara yang terancam punah.
Musk mengeluarkan peringatan keras melalui tweetnya, “Singapura dan negara-negara lain akan punah.” Ia menyoroti menurunnya tingkat kesuburan sebagai penyebab utama. Tingkat kesuburan Singapura memang telah menurun sejak beberapa waktu lalu, dan pada tahun 2023, mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yaitu 0,97. Angka ini menunjukkan jumlah anak yang diperkirakan akan dimiliki seorang wanita sepanjang hidupnya. Kondisi ini tentu saja membuat Singapura waspada.
Pemerintah Singapura telah mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalah ini, termasuk dengan memberikan insentif uang tunai. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil. Krisis bayi di Singapura disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah tingginya biaya hidup, mahalnya biaya perawatan bayi, serta kesulitan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Menawarkan cuti melahirkan atau insentif uang tunai saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini. Situasi serupa juga terjadi di banyak negara di dunia.
Korea Selatan, misalnya, baru-baru ini menjadi berita utama karena diprediksi akan menjadi negara pertama yang lenyap pada tahun 2100 akibat krisis populasi. Korea Selatan saat ini memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Pada tahun 2023, tingkat kelahiran di Korea Selatan turun sebesar 8% menjadi 0,72. Jika tren ini berlanjut, dalam 50 tahun mendatang, hampir setengah populasi Korea Selatan akan berusia di atas 65 tahun.
Tidak hanya Singapura yang menghadapi ancaman kepunahan akibat krisis bayi, Korea Selatan juga diprediksi akan bernasib sama. Bahkan, Korea Selatan diperkirakan akan menjadi negara pertama yang lenyap dari muka bumi pada tahun 2100! Krisis populasi telah menjadi ancaman nyata bagi banyak negara. Korea Selatan sendiri saat ini memegang rekor tingkat kelahiran terendah di dunia. Pada tahun 2023, angka kelahiran di Korea Selatan kembali turun sebesar 8% menjadi 0,72. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan dalam 50 tahun mendatang hampir setengah dari populasi Korea Selatan akan berusia di atas 65 tahun.
Jepang, negara yang pernah menjadi salah satu negara terpadat di dunia, juga menghadapi tantangan serupa. Populasi Jepang diprediksi akan berkurang setengahnya pada akhir abad ini. Sebuah fenomena unik terjadi di Jepang, di mana penjualan popok dewasa kini melampaui penjualan popok bayi. China, yang hingga baru-baru ini menjadi negara terpadat di dunia, juga mengalami penurunan tingkat kelahiran. Krisis demografi ini bukan hanya menghantui negara-negara maju. Pada tahun 2023, Brasil mencatat pertumbuhan populasi terlambat sepanjang sejarah. Ini menunjukkan bahwa krisis demografi adalah masalah global yang harus dihadapi bersama.
Pada tahun 1950, rata-rata seorang wanita memiliki 5 orang anak. Saat ini, angka tersebut turun drastis menjadi 2 orang anak, bahkan di banyak negara maju jauh lebih rendah. Idealnya, tingkat kesuburan yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi adalah 2,1. Penurunan tingkat kesuburan ini menjadi sinyal peringatan bagi keberlangsungan peradaban manusia.
Apa sebenarnya yang memicu fenomena global ini? Jawabannya cukup rumit dan melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Meningkatnya urbanisasi, tingginya biaya hidup, dan pergeseran norma budaya, semuanya berperan dalam menurunnya tingkat kelahiran.
Pertama, urbanisasi. Masyarakat modern cenderung memilih tinggal di kota dengan gaya hidup yang lebih praktis. Lingkungan perkotaan yang padat dan mahal membuat banyak pasangan enggan memiliki banyak anak. Kedua, biaya hidup. Tingginya biaya hidup, terutama di kota-kota besar, menjadi kendala bagi banyak pasangan muda untuk memiliki anak. Biaya perawatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya membuat banyak pasangan berpikir dua kali untuk memiliki keturunan.
Ketiga, pergeseran norma budaya. Norma budaya juga bergeser. Jika dulu memiliki banyak anak dianggap sebagai kebahagiaan, kini banyak pasangan muda yang memilih untuk menunda atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali. Mereka memprioritaskan karir, pendidikan, dan kebebasan pribadi. Keempat, pemberdayaan perempuan. Akses terhadap pendidikan dan kesempatan kerja yang semakin luas membuat perempuan memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup. Mereka dapat memilih apakah ingin memiliki anak atau tidak, dan kapan waktu yang tepat untuk memiliki anak.
Kelima, dampak ekonomi dari penurunan tingkat kelahiran. Penurunan tingkat kelahiran dapat menimbulkan bencana ekonomi. Populasi yang sedikit berarti jumlah tenaga kerja, konsumen, dan pembayar pajak yang lebih sedikit. Perekonomian nasional yang selama ini didukung oleh momentum demografi akan mengalami stagnasi. Biaya untuk mendukung populasi yang menua juga akan sangat mahal. Sistem perawatan kesehatan akan terbebani, dana pensiun akan mengalami defisit, dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Pemerintah di berbagai negara telah mencoba berbagai cara untuk mengatasi krisis demografi ini, mulai dari memberikan keringanan pajak, insentif keuangan, hingga memperpanjang masa cuti melahirkan. Namun, pemerintah perlu memahami bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan uang. Pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang mendukung masyarakat untuk memiliki anak, seperti menjamin stabilitas ekonomi, menyediakan fasilitas perawatan anak yang terjangkau, dan mempromosikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Jika tidak, peradaban manusia seperti yang kita kenal sekarang bisa jadi akan berakhir karena kehabisan generasi penerus.