Rabu, Desember 18, 2024

Dunia Tanpa Anak: Masa Depan yang Mencekam

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

“Singapura akan punah.” Itulah tweet menghebohkan dari CEO Tesla, Elon Musk, pada hari Kamis lalu. Kicauannya itu menanggapi sebuah postingan tentang krisis bayi di Singapura. Bukan hanya Singapura, Musk berpendapat bahwa banyak negara akan punah jika tidak segera mengatasi krisis tersebut. Meskipun tidak menyebutkan negara mana saja yang dimaksud, kicauan Musk muncul setelah Korea Selatan menjadi sorotan karena alasan yang sama: tingkat kelahiran yang rendah.

Di berbagai belahan dunia, tanda-tanda krisis ini semakin nyata. Kota-kota yang dulu ramai kini terasa sunyi, sekolah-sekolah tutup permanen, dan desa-desa ditinggalkan penghuninya. Selama berabad-abad, peradaban manusia bertumpu pada pertumbuhan populasi dan reproduksi. Namun, angka-angka terkini justru menunjukkan penurunan drastis tingkat kelahiran, populasi yang menua, dan negara-negara yang terancam punah.

Musk  mengeluarkan peringatan keras melalui tweetnya, “Singapura dan negara-negara lain akan punah.”  Ia menyoroti  menurunnya tingkat kesuburan sebagai penyebab utama. Tingkat kesuburan Singapura memang telah menurun sejak beberapa waktu lalu, dan pada tahun 2023, mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yaitu 0,97. Angka ini menunjukkan jumlah anak yang diperkirakan akan dimiliki seorang wanita sepanjang hidupnya.  Kondisi ini tentu saja  membuat Singapura  waspada.

Pemerintah Singapura telah  mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalah ini, termasuk dengan memberikan insentif  uang  tunai.  Namun,  upaya  tersebut  belum membuahkan  hasil.  Krisis  bayi  di  Singapura  disebabkan  oleh  beberapa  faktor,  di antaranya  adalah  tingginya  biaya  hidup,  mahalnya  biaya  perawatan  bayi,  serta kesulitan  dalam  menyeimbangkan  pekerjaan  dan  keluarga.  Menawarkan  cuti melahirkan  atau  insentif  uang  tunai  saja  tidak  cukup  untuk  mengatasi  masalah  ini. Situasi  serupa  juga  terjadi  di  banyak  negara  di  dunia.

Korea Selatan, misalnya,  baru-baru ini menjadi berita utama  karena  diprediksi  akan menjadi  negara  pertama  yang  lenyap  pada  tahun  2100  akibat  krisis  populasi.  Korea Selatan  saat  ini  memiliki  tingkat  kelahiran  terendah  di  dunia.  Pada  tahun  2023, tingkat  kelahiran  di  Korea  Selatan  turun  sebesar  8%  menjadi  0,72.  Jika  tren  ini berlanjut,  dalam  50  tahun  mendatang,  hampir  setengah  populasi  Korea  Selatan akan  berusia  di  atas  65  tahun.

Tidak hanya Singapura yang menghadapi ancaman kepunahan akibat krisis bayi,  Korea Selatan juga diprediksi akan bernasib sama. Bahkan, Korea Selatan  diperkirakan akan menjadi negara pertama yang lenyap dari muka bumi pada tahun 2100!  Krisis populasi telah menjadi ancaman nyata bagi banyak negara. Korea Selatan sendiri saat ini memegang rekor tingkat kelahiran terendah di dunia.  Pada tahun 2023, angka kelahiran di Korea Selatan kembali turun sebesar 8% menjadi 0,72. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan dalam 50 tahun mendatang hampir setengah dari populasi Korea Selatan akan berusia di atas 65 tahun.

Jepang, negara yang  pernah  menjadi  salah satu negara  terpadat  di dunia,  juga menghadapi  tantangan  serupa.  Populasi  Jepang  diprediksi  akan  berkurang setengahnya  pada  akhir  abad  ini.  Sebuah  fenomena  unik  terjadi  di  Jepang,  di mana penjualan  popok  dewasa  kini  melampaui  penjualan  popok  bayi.  China,  yang  hingga baru-baru  ini  menjadi  negara  terpadat  di  dunia,  juga  mengalami  penurunan  tingkat kelahiran.  Krisis  demografi  ini  bukan  hanya  menghantui  negara-negara  maju.  Pada tahun  2023,  Brasil  mencatat  pertumbuhan  populasi  terlambat  sepanjang  sejarah.  Ini menunjukkan  bahwa  krisis  demografi  adalah  masalah  global  yang  harus  dihadapi bersama.

Pada  tahun  1950,  rata-rata  seorang  wanita  memiliki  5  orang  anak.  Saat  ini,  angka tersebut  turun  drastis  menjadi  2  orang  anak,  bahkan  di  banyak  negara  maju  jauh lebih  rendah.  Idealnya,  tingkat  kesuburan  yang  dibutuhkan  untuk  mempertahankan populasi  adalah  2,1.  Penurunan  tingkat  kesuburan  ini  menjadi  sinyal  peringatan  bagi keberlangsungan  peradaban  manusia.

Apa sebenarnya yang memicu fenomena global ini? Jawabannya  cukup rumit dan melibatkan  berbagai  faktor  yang  saling  berkaitan.  Meningkatnya  urbanisasi,  tingginya biaya  hidup,  dan  pergeseran  norma  budaya,  semuanya  berperan  dalam  menurunnya tingkat  kelahiran.

Pertama, urbanisasi. Masyarakat modern  cenderung  memilih  tinggal  di  kota  dengan gaya  hidup  yang  lebih  praktis.  Lingkungan  perkotaan  yang  padat  dan  mahal membuat  banyak  pasangan  enggan  memiliki  banyak  anak. Kedua, biaya hidup. Tingginya biaya hidup, terutama di kota-kota besar, menjadi  kendala  bagi  banyak pasangan  muda  untuk  memiliki  anak.  Biaya  perawatan,  pendidikan,  dan  kebutuhan lainnya  membuat  banyak  pasangan  berpikir  dua  kali  untuk  memiliki  keturunan.

- Advertisement -

Ketiga, pergeseran  norma  budaya. Norma  budaya  juga  bergeser.  Jika  dulu  memiliki banyak  anak  dianggap  sebagai  kebahagiaan,  kini  banyak  pasangan  muda  yang memilih  untuk  menunda  atau  bahkan  tidak  memiliki  anak  sama  sekali.  Mereka memprioritaskan  karir,  pendidikan,  dan  kebebasan  pribadi. Keempat, pemberdayaan perempuan. Akses  terhadap  pendidikan  dan  kesempatan  kerja  yang  semakin  luas membuat  perempuan  memiliki  lebih  banyak  pilihan  dalam  hidup.  Mereka  dapat memilih  apakah  ingin  memiliki  anak  atau  tidak,  dan  kapan  waktu  yang  tepat  untuk memiliki  anak.

Kelima, dampak ekonomi dari penurunan tingkat kelahiran. Penurunan  tingkat  kelahiran dapat  menimbulkan  bencana  ekonomi.  Populasi  yang  sedikit  berarti  jumlah  tenaga kerja,  konsumen,  dan  pembayar  pajak  yang  lebih  sedikit.  Perekonomian  nasional yang  selama  ini  didukung  oleh  momentum  demografi  akan  mengalami  stagnasi. Biaya  untuk  mendukung  populasi  yang  menua  juga  akan  sangat  mahal.  Sistem perawatan  kesehatan  akan  terbebani,  dana  pensiun  akan  mengalami  defisit,  dan pertumbuhan  ekonomi  akan  terhambat.

Pemerintah  di  berbagai  negara  telah  mencoba  berbagai  cara  untuk  mengatasi  krisis demografi  ini,  mulai  dari  memberikan  keringanan  pajak,  insentif  keuangan,  hingga memperpanjang  masa  cuti  melahirkan.  Namun,  pemerintah  perlu  memahami  bahwa masalah  ini  tidak  bisa  diselesaikan  hanya  dengan  uang.  Pemerintah  perlu menciptakan  lingkungan  yang  mendukung  masyarakat  untuk  memiliki  anak,  seperti menjamin  stabilitas  ekonomi,  menyediakan  fasilitas  perawatan  anak  yang  terjangkau, dan  mempromosikan  keseimbangan  antara  pekerjaan  dan  kehidupan  keluarga.  Jika tidak,  peradaban  manusia  seperti  yang  kita  kenal  sekarang  bisa  jadi  akan  berakhir karena  kehabisan  generasi  penerus.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.