Pada 5 Oktober 2000 di Canberra dalam forum Australian Political Science Association, pakar teori HI terkemuka Inggris, Prof. Steve Smith berpidato dengan judul, “The Discipline of International Relations: Still an American Social Science?” Atas dasar dalih-dalih dari Stanley Hoffman (1977), Kal Holsti (1985), Alker dan Biersteker (1984), serta Ole Waever (1998), Smith berpendapat bahwa tradisi HI masih didominasi oleh tradisi Amerika.
Ilmu HI yang dikembangkan di Barat itu semata untuk menguasai non-Barat melalui self-image-nya (memandang suatu objek realitas sesuai dengan ukuran dirinya), dari level akademis/teoritis sampai praktis. Hal itu dapat dilihat dari sejarah Teori HI Barat. Tradisi HI Barat kini sedang mengalami krisis ilmu pengetahuan karena perdebatan teoritisnya stagnan di filsafat Barat yang fondasinya seputar materialistik dan rasional.
Oleh sebab itu, self-image tradisi Barat yang secara nilai ideologis liberal pun tidak dapat menembus seperangkat pengetahuan Non-Barat, misalnya memahami mekanisme ASEAN Way yang dianggapnya tidak problem solving.
Tradisi ilmu sosial dan politik Barat, termasuk HI selalu diukur melalui self-image-nya nilai-nilai Barat yang liberal (beserta variannya) seperti HAM, demokrasi, humanisme, dan individualisme. Hal ini menyebabkan penjelasan realitas Non-Barat selalu dalam pandangan ‘mata’ tradisi Barat, sehingga selalu salah dan harus disesuaikan dengan tradisi Barat.
Karya Maliki bersama Asrudin “Oksidentalisme” (2019) mengungkapkan bahwa tradisi kita (dalam konteks artikel ini, “Keindonesiaan”) perlu ditampilkan. Kita harus tahu tentang diri kita (tradisi), tahu akan realitas Barat dan tahu akan realitas objektif.
Setelah itu, kita harus berani berkontestasi secara egaliter antara tradisi kita dengan tradisi Barat atau yang lainnya untuk menyingkap realitas objektif yang universal. Oksidentalisme dalam studi politik internasional bertujuan menjembatani dialog antara Non-Barat dengan Barat secara egaliter dan share values (nilai-nilai universal) sehingga terwujud saling memahami (mutual understanding) dan saling menghormati (mutual respect) dalam realitas yang secara relatif universal.
Diplomasi Keindonesiaan
Dengan alasan teoritis di atas, maka karya “Diplomasi Ringan dan Lucu” (2020) yang ditulis Duta Besar (Dubes) Mohamad Wahid Supriyadi menjadi penting untuk dibahas dan diteliti secara serius karena menggambarkan praktik tradisi kita terhadap dunia internasional.
Dalam karyanya yang baru saja diperbincangkan di webinar kampus UGM, UII, dan UPN Veteran Jakarta, Dubes Wahid adalah pribadi njawani (spirit dan prinsip Jawa) yang awalnya bercita-cita menjadi dalang, tetapi berakhir menjadi diplomat (Konjen Melbourne, Dubes Uni Emirat Arab, dan Dubes Rusia dan Belarus). Kuatnya akar tradisi Jawa membuat gaya diplomasi Beliau bertumpu pada filsafat tradisi Jawa (Keindonesiaan) dengan self-image (metaphor) pewayangan yang dikontestasikan ke realitas dunia internasional.
Pandangan Beliau yang kosmopolit dan fleksibel tanpa menghilangkan tradisi njawani-nya membuat Indonesia egaliter dalam pergaulan dunia internasional. Misalnya dalam menghadapi isu-isu krusial, sensitif dan berisiko tinggi seperti isu Papua, Timor Timor (Leste), Islam dan terorisme di Australia, isu Asisten Rumah Tangga di Dubai dan kepemimpinan negara-negara Asia Tenggara di Dubai, dan pengenalan tradisi (kebudayaan) kita di Rusia yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang pesat setelah “Festival Indonesia”.
Oleh sebab itu, melalui self-image tradisi kita (Jawa dalam hal ini, mungkin seorang Batak, Bugis, Minang, Bali dan yang lainnya bisa dilakukan), diplomasi Indonesia menjadi praktek oksidentalisme yang dipertimbangkan oleh bangsa-bangsa di dunia, secara regional di Asia Tenggara. Tujuannya adalah relasi egeliter antarbangsa sehingga terjalin dialog peradaban (hubungan bertata krama).
Dari pribadi yang Jawa-Islam yakni nrimo, sabar trokal, kerja keras, tekun, teliti, dan ikhlas, Beliau semakin tangguh menghadapi begitu banyak serangan dari wartawan Australia ketika kasus Timor Timor (1999) terjadi, kasus Islam dan terorisme pasca bom Bali dan Papua. Saat penempatan tugas diplomatiknya, baik di Canberra maupun di Melbourne, beliau selalu pulang malam bahkan sesekali pagi demi memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia.
Beliau blusukan ke siapa saja yang sekiranya bisa ‘dirangkul’ membawa kepentingan Indonesia seperti (alm) Arief Budiman, Dibb, Harorld Crouch, Jamie Mackie, Herbert Feith, James Fox, Hal Hill, dan lain-lain. Beliau juga ikut forum diskusi-diskusi saat di Melbourne (Melbourne Discussion Group) dan saat di Canberra (Australian National University).
Di acara-acara itu seringnya Indonesia diukur baik atau buruk dengan self-image standar nilai-nilai liberal Barat. Hal itu sah-sah saja sebab pandangan dunia (worldview) bangsa-bangsa Barat (Australia) memang terbatas. Prinsip njwani Beliau adalah berkomunikasi dekat baik dengan kawan atau dengan orang-orang yang kritis perlu, karena pada dasarnya semua orang secara pribadi baik (konsep wong/menungso). Jadi selalu ada kebaikan universal antara self-image antarbangsa.
Dalam memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, ambil saja dua kasus penting sebagai proses praktek oksidentalisme: “Papua” dan “Islam dan terorisme”. Dalam karyanya, Dubes Wahid dengan self-image Jawa berpendapat bahwa orang-orang yang ada di Indonesia Timur, termasuk Papua dan orang Aborijin di Australia, sebenarnya jika diruntut ke belakang berasal dari Jawa. Hal ini tentunya bersumber dari penelitian Beliau.
Oleh sebab itu, masalah ras dan suku tidak perlu diributkan, tetapi bagaimana sifat dasar manusianya sendiri yang menentukan baik atau tidak, egois atau berbagi, rakus atau cukup, dan seterusnya. Dalam diri manusia yang kompleks ini, manusia pun sebenarnya berkelahi saling mengalahkan sifat/karakter satu dengan yang lainnya.
Kantornya ini sering didemo oleh orang-orang Papua. Dubes Wahid yang saat itu Konsul Jenderal (Konjen) mendatangi kelompok penampungan mereka dengan membuat suatu pertemuan khusus di gereja melalui the Victorian Council of Churches. Dialog pun terjadi antara Dubes Wahid dengan para pastor, romo, dan orang-orang Papua.
Dialog egaliter itu memberikan self-image keindonesiaan, yakni adanya dialog antara Jawa, yang self-image-nya selalu berusaha merangkul dan ‘mangku’ (mendukung, mengangkat, menampilkan, mempertunjukkan, promosi) dengan pihak non-Jawa. Ada dialog intersubjektivitas yang singkat cerita, dialog yang njawani Dubes Wahid ini membuahkan hasil positif. Sejak saat itu dan semasa Beliau bertugas, KJRI Melbourne tidak didemo lagi (entah setelah Beliau selesai tugasnya).
Kasus kedua, Islam yang selalu disudutkan oleh pandangan dunia Barat liberal bahwa Islam adalah Arab dan Arab adalah Islam yang bersifat barbar. Wartawan-wartawan selalu saja kritis menulis berita buruk terhadap Islam Indonesia yang disamakan dengan dunia Arab. Dubes Wahid kembali mengundang wartawan-wartawan kritis berpengaruh di Australia satu per satu. Diantaranya, the Herald Sun, Andrew Bolt. Andrew selalu membuat ‘mual’ Dubes saat berbicara tentang Islam Indonesia di acara “Good Morning Australia”.
Lalu Dubes Wahid mengundangnya makan siang dan berdialog. Prinsip digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake selalu menjadi pegangan Dubes Wahid. Oleh sebab itu, Dubes berdebat secara egaliter tentunya dengan Andrew tentang Islam Indonesia. Beliau memberi kisah nyata dari pengalaman keluarganya yang beragam agamanya, tetapi tetap harmonis dan rukun. Dengan model dialognya, Andrew akhirnya menjadi lunak dalam tulisan-tulisannya sampai-sampai wartawan lain terheran-heran.
Selain kisah itu, Dubes Wahid juga bercerita kisah penyebaran Islam di Nusantara yang membuat jurnalis Andrew menerawang jauh dan secara reflektif berpikir panjang dan menyadarinya bahwa tidak semua yang diberitakan dirinya benar. Masih banyak kisah Dubes Wahid menaklukkan media dan para jurnalis Australia sehingga hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia secara relatif tetap baik. Begitulah kisah singkat praktek oksidentalisme Dubes Wahid dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai orang njawani, Beliau bukan seorang chauvis yang mengunggulkan tradisi Jawa dan menegasikan tradisi lain, tetapi justru secara selektif mengambil unsur-unsur baik (nilai) Barat yang mempunyai irisan (nilai-nilai universal) dengan tradisi Jawa seperti welas asih. Dubes Wahid bercerita bahwa di Australia, ketika Beliau ada masalah dengan ban mobilnya, di tengah gelap malam dengan istrinya sedang hamil. Beliau ditolong oleh orang Australia yang mempunyai kesan liberal-individualistik sedangkan di Indonesia, peristiwa yang sama terjadi tetapi tidak ada yang menolong satu pun. Kisahnya memberi ilustrasi bahwa ada nilai-nilai universal dalam prinsip welas asih Jawa dan liberal Barat, tetapi dalam prakteknya di Indonesia dari kisah di atas, nilai welas asih sudah mulai ditinggalkan orang Jawa.
Beliau juga mengayomi banyak suku bangsa di saat Beliau menjadi Dubes di Rusia dan Belarus. Festival Indonesia yang memperoleh rekor Muri selalu mempromosikan tradisi kita dari Sabang sampai Merauke yang diikat dalam wadah keindonesiaan. Identitas orang Indonesia adalah multiple-identity, yakni berlapis-lapis suku, ras, adat, agama, aliran agama, dan keindonesiaan. Jadi keberhasilan diplomasi budaya di Rusia dan Belarus yang meningkatkan nilai ekspor Indonesia serta kesuksesan promosi self-image Indonesia di Rusia bersumber dari prinsip mangku dalam worldview Jawa (dalam konteks Mangkubumi).
Jejak praktek oksidentalisme dalam diplomasi Indonesia dapat dilihat secara lengkap dalam karya Dubes Wahid. Karya ini sangat penting dalam promosi keindonesiaan di tengah krisis identitas orang Indonesia dan populernya populisme yang cukup memprihatinkan. Selain itu, karya ini menjadi bukti bahwa teoritisasi oksidentalisme dalam kajian Hubungan Internasional sangat signifikan sehingga praktisi dan sarjana politik internasional sebenarnya bisa untuk tidak terus-menerus membebek self-image bangsa Barat.