Sabtu, November 9, 2024

Dua Jenis Hijrah

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
- Advertisement -

Hijrah dalam sejarah Islam adalah peristiwa pindahnya umat Islam dari Mekkah. Hijrah pertama dilakukan dari Mekkah ke Habasyah, wilayah Ethiopia sekarang. Waktu itu hanya sebagian orang Mekkah yang sudah pindah agama, masuk Islam, yang pindah. Hijrah kedua adalah hijrah ke Yathrib, yang kemudian dikenal dengan nama Madinah. Pada hijrah kedua ini, Nabi Muhammad sekalian pindah juga.

Alasan pindah itu adalah karena mereka mendapat tekanan dari orang-orang Quraish Mekkah. Penyebaran ajaran Islam oleh Nabi Muhammad dianggap merusak ajaran yang selama ini dianut, sekaligus merusak tatanan sosial di Mekkah. Orang-orang Islam ditekan, bahkan diteror dengan ancaman pembunuhan. Hijrah adalah usaha untuk menyelamatkan diri.

Kini istilah hijrah dipopulerkan oleh kalangan yang melakukan perubahan perilaku, dari perilaku yang mereka anggap masih jahiliyah, kepada perilaku yang lebih islami. Dalam konteks istilah, maknanya berbeda dengan cerita hijrah yang dijelaskan di atas. Orang-orang Mekkah yang tadinya menganut agama pagan tidak menyebut diri atau disebut muhajirin karena pindah agama tersebut. Mereka disebut muhajirin dalam pengertian literal, pindah tempat tinggal. Sebagaimana orang-orang Mekkah, orang-orang Yathrib juga sebenarnya pindah agama. Tapi mereka pun tidak disebut muhajirin. Mereka disebut anshar, artinya penolong bagi orang-orang Mekkah yang pindah tadi.

Hijrah yang dipakai sekarang adalah hijrah yang didefinisikan ulang. Seingat saya definisi ulang ini banyak disampaikan oleh para cendekiawan muslim di akhir dekade 80-an. Dalam peringatan peristiwa hijrah, terasa ketiadaan relevansi antara peristiwa hijrah Nabi dulu dengan sekarang. Apakah dalam rangka meneladani Nabi itu kita harus pindah juga? Maka diperkenalkanlah definisi baru, yaitu pindah dari perilaku lama ke perilaku baru, pola pikir lama ke pola pikir baru.

Kini hijrah dijadikan tren, gerakan beramai-ramai, yang populer. Tidak hanya perilaku yang berubah, tapi juga penampilan fisik. Itu ditandai dengan memanjangkan jenggot dan memakai celana menggantung di atas mata kaki bagi laki-laki. Sedangkan perempuan berubah penampilan dari tidak pakai jilbab jadi pakai, atau dari jilbab yang sedikit menjadi jilbab lebar. Bahkan ada yang berubah dari sekadar pakai jilbab, menjadi pemakai cadar.

Ada 2 kelompok yang berbeda yang menjalani gaya hidup hijrah ini. Kelompok pertama adalah kelompok mapan, sedang kelompok kedua adalah kelompok yang sedang mencari identitas. Keduanya dibedakan dari usia, sekaligus pengalaman hidup. Kelompok mapan adalah para orang tua, berusia lebih dari 50 tahun, sudah menjalani berbagai gaya hidup. Kelompok kedua adalah anak-anak muda, yang pengalaman hidupnya masih sedikit, dan sedang mencari format hidup.

Kelompok mapan tidak hanya matang secara usia, biasanya sekaligus mapan secara ekonomi. Mereka biasanya orang-orang yang bebas finansial. Di masa muda mereka berkarir atau berbisnis, kaya raya, dan sudah mencicipi berbagai jenis gaya hidup. Mereka jenuh dengan segala hal yang sekarang mereka sebut kenikmatan duniawi itu. Tidak hanya jenuh, mereka menyesalinya.

Termasuk yang mereka sesali itu adalah cara-cara mereka dulu mencari nafkah. Yang menjadi pejabat negara menerima suap, atau menggelapkan uang negara. Yang di BUMN juga begitu. Yang di swasta menjadi penyuap, berkolaborasi dengan para pejabat negara tadi. Ada juga yang menggunakan kekuasaannya untuk melindungi bisnis-bisnis yang melanggar hukum.

Tentu saja semua itu memang hal buruk. Kini mereka menyesalinya, berharap dosa-dosa yang dulu itu dapat dihapuskan dengan hijrah ini. Uniknya, tidak sedikit yang hijrah, tapi hidup dengan menikmati hasil kegiatan yang mereka sesali tadi. Bahkan ada yang bisnis kotornya masih berjalan.

Kelompok anak muda yang sedang mencari identitas biasanya berasal dari keluarga yang tidak mempraktikkan agama secara ketat. Sejak kecil mereka jauh dari nilai maupun praktik agama. Lalu mereka menemukan jalan baru, yaitu jalan agama. Jalan ini diyakini akan membuat mereka jadi manusia baik, mengantarkan mereka pada masa depan yang baik pula.

- Advertisement -

Tak jarang jalan yang mereka temukan ini bertolak belakang dengan jalan yang ditempuh keluarga induknya. Karen itu tak jarang pula hijrah ini memicu konflik antara anak dan orang tua. Anak menganggap hijrah adalah meninggalkan semua yang diajarkan oleh orang tuanya. Ironisnya, hijrah ini bahkan bisa sampai membuat anak jadi kehilangan rasa dan sikap hormat kepada orang tuanya. Ia merasa sedang mempraktikkan nilai agama, tapi justru dengan melanggar ajaran penting dalam agama, yaitu menghormati orang tua.

Kelompok mapan tadi cenderung mapan dalam berhijrah. Bagi mereka ini adalah terminal akhir. Mereka tidak perlu mencari apa-apa lagi. Persoalan dunia (baca: finansial) mereka sudah selesai. Mereka bisa menghindar dari praktik-praktik kotor, karena segala kebutuhan mereka sudah terpenuhi. Atau, setidaknya mereka tidak perlu lagi terjun langsung. Mereka kini hanya perlu fokus menikmati hasil kerja di masa muda, sambil mengharapkan surga setelah mati kelak. Dua sisi hidup mereka, dunia dan akhirat, bahagia belaka.

Adapun yang muda-muda tadi masih akan berproses. Berbagai kemungkinan terbuka bagi mereka. Ada yang terus hijrah dan menjadi semakin radikal. Ada pula yang menemukan titik balik, mengalami moderasi, atau bahkan bergerak ke arah titik ekstrim yang berseberangan.

Saya mengenal beberapa orang yang dulu hijrah di tahun 90-an, tapi berbalik arah ketika sudah dewasa. Salah satunya gadis belia, yang saat masih jadi siswa SMA sudah berjilbab. Di masa itu hal tersebut sangat ekstrim. Terlebih ia sekolah di sekolah Kristen, dan ia memaksakan diri untuk tetap berjilbab ke sekolah. Waktu itu ka sempat membuat sejumlah masalah. Tapi belasan tahun kemudian ia justru tidak lagi berjilbab.

Perjalanan hidup orang berwarna-warni. Orang bisa melompat ke sana sini secara bebas. Ada yang bergerak ke kanan, ada yang ke kiri. Ada yang bergerak ke kanan lalu ke kiri, atau pula yang sebaliknya. Mari melihatnya sebagai dinamika hidup manusia.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.