Sabtu, April 27, 2024

Diskresi di Tengah Corona dengan RUU Cipta Kerja

Beni Kurnia Illahi
Beni Kurnia Illahi
Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Salus Populi Suprema Lex (Hukum Tertinggi adalah Keselamatan Rakyat), tampaknya adagium klasik ini betul-betul tidak lagi menjadi rujukan oleh pembentuk undang-undang di tengah kondisi saat ini, semakin ke ujung pola pikir pembentuk undang-undang semakin menyesatkan alias sesat pikir dalam membangun bumi pertiwi ini.

Pasalnya, di tengah wabah korona yang membuat masyarakat berada dalam situasi tidak nyaman dan penuh ketakutan, Pemerintah dan DPR dengan santainya tetap bersikukuh memaksakan kehendak membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) dengan konsep Omnibus Law agar segera disahkan menjadi undang-undang.

Meskipun sudah sejak lama penolakan demi penolakan RUU Cipta Kerja ini disuarakan, namun Pemerintah di situasi genting dan duka Covid-19 ini masih terkesan ‘tutup telinga’ mendengarkan aspirasi masyarakat.

Itu sebabnya, menurut hemat penulis, ada beberapa hal sebetulnya kenapa pembentuk undang-undang tetap bersikeras menggelar sidang paripurna dan memaksakan pembahasan RUU Cipta kerja di tengah kondisi Pandemi Virus Covid-19 ini.

Pertama, Presiden dan DPR barangkali berfikir bahwa di tengah wabah virus corona yang melanda seluruh rakyat Indonesia, perlawanan dan gejolak masyarakat untuk menolak dan melawan RUU Cipta Kerja dapat dikatakan sangat terbatas dan bahkan tidak ada. Hal ini sederhana saja karena mayoritas masyarakat hari ini lebih memilih Work From Fouse (WFH) dan Social and Physical Distancing di lingkungannya masing-masing agar mata rantai virus corona dapat diputus sebagaimana arahan dari Pemerintah.

Namun, sangat disayangkangkan di tengah pandemi ini, pemerintah juga memaksakan kepentingannya agar RUU Omnibus Law segera diundangkan. Mengutip kredonya Lord James Bryce pernah menukilkan bahwa aturan itu dibuat sebagai bentuk hasrat dari pencipta kehidupan politik untuk menjamin dan mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang permanen yang dapat dipahami oleh warga negara sebagai jaminan untuk melidungi hak-hak rakyat (C.F. Strong, 2004).

Namun, kredo tersebut tidak diilhami secara ajek oleh Pemerintah dalam membuat kebijakan Omnibus Law ini. Prediksi kedua, alasan Pemerintah dan DPR tetap bersikukuh meng-goal-kan proyek omnibus law di tengah mewabahnya Covid-19 ini adalah agar seluruh instrument hukum yang sudah diterbitkan dalam rangka penanganan corona ini dapat berjalan sesuai dengan kehendak dan misi pembentuk undang-undang.

Pasalnya, salah satu yang diatur dalam instrument hukum itu adalah soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 melalui Perppu Nomor 21 Tahun 2020. Dengan diterbitkannya Perppu tersebut, maka Pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp. 405,1 triliun untuk penanganan virus corona ini.

Tentu saja asumsi pemerintah, dalam menjalankan kebijakan tersebut apalagi dalam keadaan darurat seperti ini perlu didukung oleh administrasi pemerintahan yang jelas. Sehelaan dengan itu, dalam RUU Cipta Kerja mengatur soal Administrasi Pemerintahan tersebut yang salah satunya membahas soal diskresi.

Jika dibaca ketentuan Pasal 165 RUU Cipta Kerja, beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) diubah, salah satunya menyangkut Pasal 24 UU AP terkait persyaratan diskresi. Di mana, melalui Pasal 165 angka 1 RUU Cipta Kerja pembentuk undang-undang mencoba menghilangkan satu syarat mutlak paling penting dalam penggunaan diskresi bagi Pejabat Pemerintahan yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila ditelisik secara hystorical context, diberlakukannya UU AP pada 17 Oktober 2014, dipandang sebagai langkah progresif dan responsif dalam mereformasi administrasi pemerintahan. UU AP juga dianggap sebagai instrumen negara dalam rangka menjamin terselenggaranya pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik yang cepat, nyaman, dan murah.

Itu sebabnya, UU AP dijustifikasi sebagai hukum materiil dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sehingga harus memberi arti yang jelas, batasan dan pemahaman terhadap tindakan hukum pejabat pemerintahan pada objek sengketa PTUN, termasuk batasan dalam penggunaan diskresi.

Dalam arti filosofis, diskresi diiktikadkan sebagai esensi dari negara hukum. Sebab, diskresi diartikan sebagai implikasi dari wewenang atribusi yang diberikan kepada pejabat pemerintahan dalam hal penyelenggaraan fungsi pemerintah yang mengalami keterbatasan dari undang-undang. Keterbatasan dimaksud dapat berupa pemaknaan norma hukum yang kurang jelas, kekosongan norma hukum, ataupun terjadinya kesenjangan antara kaidah norma hukum dan kebutuhan tindakan pemerintahan.

Namun harus diakui di sisi lain, diskresi juga dapat pula diartikan sebagai tindakan menyimpang dari rumusan norma tekstual sebuah undang-undang. Hal itu seperti terjadinya ketidaksesuaian antara tindakan pejabat pemerintahan dengan kebutuhan praktik pemerintahan, adanya potensi terjadinya tindakan penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada korupsi, dan tindakan lain pemerintahan yang secara lalai atau sengaja merugikan keuangan negara.

Oleh karena itu, terhadap motif penggunaan diskresi bagi setiap pejabat pemerintahan tentu saja diperlukan mekanisme kontrol yang baik secara atributif melalui Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan.

Jika kemudian tindakan diskresi tidak dibarengi dengan penggunaan syarat ‘tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’, maka Pasal 165 RUU Cipta Kerja akan menjadi ‘pohon pelindung’ bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan kebijakan yang berdampak pada penyalahgunaan wewenang, apalagi dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 ini.

Implikasinya, Pasal 165 secara tidak langsung justru akan merampas dan menyandera hak masyarakat untuk mengajukan keberatan dan banding terhadap keputusan dan tindakan pemerintahan baik hukum maupun faktual yang merugikan kepentingan masyarakat. Tidak hanya itu, peran dan kedudukan PTUN sebagai organ pengawal tata pemerintahan yang baik (the guardian of the good governance) dan perlindungan hak asasi manusia juga dapat dikebiri oleh Pasal 165 RUU Cipta Kerja tersebut.

Pola-pola seperti itulah yang kemudian memunculkan kembali adagium “power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely”. sekecil apapun kekuasaan yang dimiliki oleh Pejabat TUN, potensi untuk korupsi dan penyalahgunaan kewenangan juga semakin besar. Sebab, kebijakan tidak lagi disandari atas peraturan perundang-undangan, melainkan atas kekuasaan semata, dan inilah benih dari kekuasaan otoritarian meskipun kebijakan itu dikonstruksikan sebagai diskresi.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya Pemerintah dan DPR mengurungkan niatnya untuk membahas RUU Cipta Kerja di tengah kondisi imunitas bangsa yang sudah semakin anjlok ini. Fokus kita hari ini tidak lagi bicara memperbaiki regulasi melalui omnibus law, tapi memperbaiki situasi dan kondisi kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia yang semakin hari semakin memburuk. Pemerintah sebagai pelayan publik hendaknya lebih memprioritaskan dedikasinya untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang tak kalah urgennya dari sebuah elukan Omnibus Law. Semoga.

Beni Kurnia Illahi
Beni Kurnia Illahi
Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.