Kamis, April 25, 2024

Diplomasi Sawit Presiden Jokowi

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

bibitsawitPetani menyiram bibit sawit yang telah disertifikasi di Desa Desa Alue Piet, Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, Rabu (2/3). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas.

Lobi Menteri Perdagangan Thomas Lembong membuahkan hasil. Dua kali melobi parlemen Prancis dalam kurun kurang dari sebulan membuat negeri mode itu melunak. Semula, Prancis akan memungut tarif impor progresif dan regresif ekspor minyak kelapa sawit (CPO). Besarnya 300 euro/ton CPO tahun 2017 dan 500 euro/ton tahun 2018.

Pada 2019, tarif pungutan dinaikkan menjadi 700 euro/ton dan 900 euro/ton tahun 2020. Jika CPO digunakan untuk makanan dikenakan tambahan pajak (ad valorem tax) 3,8%. Pajak diturunkan menjadi 30 euro/ton pada 2017 dan naik 20 euro per tahun hingga 2020.

Prancis tetap berdalih, pajak ini diberlakukan karena sawit tanaman yang merusak lingkungan, salah satunya keanekaragaman hayati. Anehnya, pajak  tidak berlaku untuk minyak nabati mereka yang dibuat dari kedelai, kanola, dan biji bunga matahari.

Prancis sesungguhnya tengah melakukan diskriminasi dan praktik perdagangan tidak adil dengan dalih lingkungan. Lebih dua tahun petani Prancis mengeluh minyak nabati mereka kalah bersaing dari sawit. Harga rata-rata minyak biji bunga matahari di Eropa tahun 2015 mencapai US$ 1.000/ton, sementara harga CPO CIF Rotterdam hanya US$ 565/ton.

Tahun lalu Indonesia mengekspor 26,4 juta ton CPO. Dari jumlah itu, ekspor ke Uni Eropa hanya 4,23 juta ton. Italia, Belanda, dan Jerman merupakan tiga negara impor terbesar CPO di Eropa. Dari 4,23 juta ton impor Uni Eropa, porsi Prancis hanya 10%. Yang dikuatirkan, langkah Prancis menular dan diikuti oleh negara-negara lain anggota Uni Eropa. Jika itu terjadi, langkah diplomasi yang harus ditempuh Indonesia kian terjal.

Ini kali kesekian diplomasi sawit Indonesia diuji dunia internasional. Diplomasi sawit kita memang lemah. Ini terjadi karena beberapa hal.

Pertama, bukan rahasia lagi Indonesia amat lemah dalam diplomasi, terutama diplomasi perdagangan. Selain tidak membekali diri dengan data-data yang kuat, seringkali negosiator tidak tahu persis apa kepentingan negara yang harus diperjuangkan di berbagai forum internasional itu. Kelemahan makin terasa karena negosiator Indonesia juga tidak memiliki daya gertak saat bernegosiasi.

Kedua, negosiator Indonesia sering buta peta pergaulan internasional. Akibatnya, mereka tidak mampu membedakan mana yang seharusnya dirangkul sebagai kawan untuk menggolkan kepentingan, dan mana lawan yang harus dijauhi. Ketika terjadi pergeseran kepentingan, negosiator Indonesia kehilangan pegangan.

Ketiga, lemahnya koordinasi antarlembaga/kementerian. Yang menyedihkan, seringkali justru kepentingan lembaga/kementerian satu dengan yang lain saling bertumbukan. Kepentingan nasional tidak mudah dirumuskan. Ujung dari semua ini, argumen dengan mudah dipatahkan.

Ini terbukti dari tiga kali pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Indonesia gagal memasukkan sawit dalam daftar produk ramah lingkungan. Kegagalan itu juga tercermin dari aneka regulasi di negara-negara maju yang pada intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti aturan Renewable Fuel Standards (AS), Renewable Energy Directive (Uni Eropa), dan Food Standards Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 (Australia).

Untuk menghadapi kampanye negatif bertubi-tubi itu, semua pemangku kepentingan (stakeholders) industri sawit harus bersatu mendesak agar AS, Prancis, dan Australia merevisi, bahkan mencabut, semua ketentuan diskriminatif itu. Sebab, semua aturan itu diskriminatif, tidak  adil, dan melanggar prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).  WTO mengatur undang-undang suatu negara tidak boleh mendiskriminasi produk sejenis yang masuk ke negara bersangkutan.

Karena itu, Indonesia harus mengadukan diskriminasi itu ke WTO. Pada saat yang sama, Indonesia bisa merancang retaliasi (tindakan membalas) perdagangan terhadap seluruh barang/jasa impor Indonesia dari  Prancis. Retaliasi ini dimungkinkan, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Diplomasi sawit kita semestinya bisa lebih kuat, solid, dan terukur setelah tahun lalu pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP Sawit). Dana yang dikumpulkan Badan Pengelola ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat diplomasi dan branding sawit, selain untuk subsidi biofuel, replanting, dan riset.

Indonesia adalah jawara sawit dunia dengan luas lahan 13 juta hektare. Industri ini menyerap 16 juta tenaga kerja, 2 juta di antaranya petani, dan menghasilkan devisa US$19 miliar per tahun. Terlalu besar taruhannya membiarkan industri ini tumbuh tanpa ditopang diplomasi yang kuat.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.