Saya betul-betul menyesal karena terlambat menyimak berita, dan lebih terlambat lagi dalam menuliskan tanggapan. Andai lebih cepat sedikit, tentu saya bisa menyelamatkan dunia, menghindarkan umat manusia dari jebakan kegelapan yang membuat peradaban terlempar jauh ke belakang.
Akibat keterlambatan saya itu, Hari Pendidikan Nasional berjalan dengan, lagi-lagi, biasa-biasa saja. Begitu membosankan, tidak menawarkan warna dan perspektif baru. Penyebabnya: Pak Menteri Muhadjir Effendi kalah oleh tekanan publik yang menolak pemutaran film Dilan 1990! Apa-apaan ini?
Padahal, segala pertimbangan publik anti-Dilan hanyalah pertimbangan dangkal, kasat mata, yang masih memaknai pendidikan dalam definisi-definisi kuno. Dari situlah mereka mengambil kesimpulan paripurna bahwa film Dilan 1990 tidak bermuatan pendidikan.
“Isinya cuma berisi anak-anak pacaran, gebuk-gebukan. Mana ada nilai pendidikannya?” Begitu ucap mereka dengan lugunya.
Aduhai, dari mana orang-orang itu meracik makna sejati pendidikan? Definisi-definisi normatif tentang pendidikan ala-ala rezim sopan santun hanya menjelaskan segala hal yang baek-baek dan endah-endah saja kepada kaum muda Indonesia. Padahal faktanya, hidup ini tidak melulu berisi gula-gula. Ada banyak aturan main yang berjalan dengan logikanya sendiri, yang tidak melulu mengikuti gambaran-gambaran ideal.
Malangnya, para siswa sekolah tidak pernah diajari dengan gamblang tentang apa yang akan mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Ini berbahaya.
Nah, sesungguhnya Dilan telah memaparkan yang begitu-begitu. Enggak percaya? Baiklah, saya akan memulainya dari sosok di film Dilan 1990 yang paling menarik perhatian saya: Kang Adi.
Kang Adi ini pemuda yang sangat cerdas secara akademis. Mahasiswa ITB, Meeen! Kurang apa, coba? Saking cerdasnya, dia laris juga jadi guru les privat anak SMA. Milea salah satu customer-nya.
Di hadapan cewek-cewek SMA, secara teoritis Kang Adi tuh kualitas super. Pinter, tampang dan postur lumayan, berbulu pula, masa depan sangat cerah, pegang mobil ke mana-mana. Kalau bisa jadi gebetan Kang Adi, tentu cewek SMA terdongkrak martabatnya di depan kawan-kawannya. “Dih, ngapain sama cowok-cowok bego enggak jelas! Naik kelas aja cuma karena belas kasihan kepala sekolah! Gue nih, levelnya sama cowok Itebeee!”
Begitulah teorinya. Tapi fakta kehidupan selalu bicara lain. Kang Adi yang pinternya sundhul langit itu gulung tikar di hadapan Dilan! Sebab nilai-nilainya yang tinggi di rapot tidak diimbangi dengan peningkatan skill nyepik hahaha! Lihat aja gesturnya yang imbas-imbis dan gaya pedekate-nya yang kekakak-kakakan sehingga terus-menerus menerbitkan rasa iba. Saya curiga, semasa SMA dia cuma jadi Pendekar Seribu Adek. “Kang Adi tuh udah aku anggep kakakku sendiri ….” Aduh. Ngenezz.
Apa artinya? Simpel saja: di atas kertas, doktrin untuk menuju sukses ala sekolahan adalah belajar keras, agar murid menguasai segenap mata pelajaran penting di sekolah, biar rapotnya bagus, dan bisa masuk perguruan tinggi favorit. Itulah nilai ideal yang dipegang erat sebagai dogma dunia pendidikan kita secara normatif. Padahal menurut ngelmu kasunyatan—ilmu level tertinggi untuk memahami realitas konkret yang terjadi dalam kehidupan homo sapiens—kejayaan dalam hidup tidak melulu dapat diraih dengan cara begitu. Bahkan kebanyakan memang tidak berjalan seperti itu.
Coba lihat kawan saya Agus Mulyadi, seorang pesohor terpenting di dunia daring Indonesia. Dia “cuma” lulusan SMA Tidar Magelang, SMA enggak jelas yang mungkin tidak akan pernah dikenal di muka bumi kalau belakangan tidak diorbitkan oleh Agus Mulyadi sendiri. Meski secara sekolahan dia enggak pinter-pinter amat, saya menyaksikan bahwa kecerdasannya dalam mengelola tantangan-tantangan kehidupan riil jauh lebih dahsyat ketimbang sebagian besar sarjana di Indonesia. Sebagai puncak prestasinya, bahkan dia mampu menaklukkan hati seorang perempuan, yang gagasan-gagasannya nggak kalah dengan sebagian besar doktor di negeri ini. Hahaha!
Lho, lho, lho, soal asmara ini jangan diremehkan, Bro. Ngawur itu kalau menganggap perkara cinta kalah penting dari nilai rapot. Faktanya, di sepanjang sejarah peradaban umat manusia, ada empat hal yang paling besar pengaruhnya sebagai penggerak perubahan dunia: agama (ideologi), harta, kuasa, dan cinta. Penjelasannya silakan dipikir sendiri dan dicari segenap referensi historisnya.
Nah, seorang Agus Mulyadi berjaya bukan karena nilai rapot dari sekolahnya, melainkan karena kecerdasan serta kelincahannya dalam menghadapi hidup, dan karena ia punya tiga jurus maut: percaya diri, percaya diri, dan percaya diri.
Dilan, dalam terawangan saya, adalah personifikasi jutaan sosok Agus di dunia nyata. Dilan terbukti memenangi hidup, dan membuat terkapar makhluk-makhluk berwajah rapot macam Kang Adi. Kunci kemenangannya ada pada kepercayaan diri, kelincahan, kreativitas, keberanian dalam menghadapi persoalan, dan kelenturan dalam pergaulan. Ya to? Ya enggak?
Pendek kata, ada pesan tersembunyi yang disampaikan film Dilan 1990 tentang skill dalam menghadapi hidup yang sesungguhnya. Dan itulah seasli-aslinya pendidikan, yakni pendidikan yang tidak membuat manusia tercerabut dari medan realitasnya.
***
Sebuah film tidaklah sama dengan video berisi ceramah pengajian. Sebuah film yang bagus, menurut saya sih ya, tidak serta-merta bisa dicerna secara linier tanpa sebuah proses reflektif. Film bermutu semestinya menolak normativisme. Sebab kalau cuma kepengin menelan hal-hal normatif saja kita cukup menonton kelakuan para motivator di Youtube, enggak perlu nonton film.
Karena itulah, tidak ada itu film pendidikan. Yang ada adalah film-film bagus yang direfleksikan, dan pengajaran atas refleksi itulah yang akan menjadi sebuah proses pendidikan.
Maka pada hemat saya, jika Kemendiknas ingin menyajikan acara nonton film bareng dalam rangka Hari Pendidikan, semestinya acara nobar dilengkapi dengan diskusi sebagai ajang interpretasi dan refleksi. Tanpa itu, anak-anak sekolah yang belum cukup tajam pisau analisisnya bisa-bisa gagal menangkap jaringan makna.
Saya ambil contoh saja film Laskar Pelangi. Kalau mau menyimak sekadar secara sangat permukaan, kita akan manggut-manggut saja dengan klaim bahwa Laskar Pelangi adalah film pendidikan. Kok bisa Laskar Pelangi disebut film pendidikan? “Ya kan tentang anak-anak sekolah. Dan tentang perjuangan mimpi-mimpi yang tinggi dan akhirnya dapat diraih menjadi kenyataan.”
Hahaha. Sebuah film kok disebut film pendidikan hanya karena isinya tentang anak-anak sekolah? Itu bukan film pendidikan namanya, oiii, tapi film sekolahan!
Adapun soundtrack-nya yang dinyanyikan Giring Nidji tentang “mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia”, ah, itu omong kosong jenis yang lain. Lagu itu justru berlawanan dengan cerita di film Laskar Pelangi sendiri.
Adalah sastrawan Mahfud Ikhwan yang dulu membongkar muslihat ini: Laskar Pelangi tidak menggambarkan bahwa seseorang bisa sukses karena mimpi tinggi dan semangat belajar yang hebat.
Jelas sekali, tokoh yang sukses sekolah tinggi sampai ke Sorbonne adalah Ikal. Padahal apa yang dilakukan Ikal? Benar, anak itu kerjaannya cuma ngintip cewek dan pacaran menye-menye. Lalu di mana kehebatan dan perjuangannya?
Pahlawan yang sesungguhnya adalah Lintang. Lintang ini anak nelayan miskin, berjuang keras untuk bersekolah, tiap hari berjalan kaki jauh sampai ketemu buaya galak dan segala marabahaya, juga menjadi superhero di lomba cerdas cermat sehingga menyelamatkan sekolah mereka. Namun bagaimana nasib akhir Lintang? Ya, pahlawan sejati itu justru menghilang, tak bisa kembali ke sekolah, karena ayahnya disantap ombak lautan yang marah.
Maknanya, dunia ini tidak seadil yang dibayangkan. Dunia ini jahat dan bangsat, wahai rakyatku. Perjuangan keras kerapkali tidak bernilai apa-apa, sebab tidak setiap manusia berangkat dari titik start nasib yang sama. Itulah makna sejati Laskar Pelangi. Jika interpretasinya sembrono, yang akan terjadi adalah anggapan bahwa Laskar Pelangi merupakan film penyemangat untuk bersekolah!
Menurut saya, Laskar Pelangi memang film bagus. Ia menggambarkan mekanisme permainan di dunia yang sesungguhnya. Sebuah dunia yang kejam, yang tidak adil, dan tak jarang lebih berpihak kepada segelintir lucky bastards. Andai didiskusikan dan diinterpretasi secara jitu, niscaya ia akan bisa diposisikan dengan pas sebagai sebuah instrumen pendidikan.
Sayangnya, karena waktu itu anak-anak sekolah diajak berbondong-bondong ke bioskop tanpa diajari untuk merefleksikan cerita di hadapannya, Laskar Pelangi serta merta diyakini sebagai film penyemangat sekolah. Padahal itu semua cuma asumsi awal yang agaknya memang dirancang sebagai jargon marketing, bukan?
Sudah, sudah. Pendek kata, dengan dibatalkannya nobar Dilan 1990, kita lagi-lagi menyaksikan bahwa manusia Indonesia tidak beranjak ke mana-mana dalam memaknai pendidikan. Itu.