Kalau sudah biasa kita dengar di negara-negara lain, pejabat, yang baru dikabarkan di surat kabar nasional, diduga melakukan memberi suap, dia segera mundur dan lepas jabatannya, itu banyak. Ada lagi, spesifik di Jepang, pejabat bunuh diri karena merasa harga diri jatuh akibat pelanggaran (atau bahkan kelalaian) yang dia lakukan seturut jabatan publiknya.
Di Indonesia, bertahun-tahun kita berdebat soal apakah bekas pencuri uang rakyat, masih boleh atau tidak mencalonkan lagi sebagai kepala daerah. Mereka sudah dihukum, sudah bebas, lalu apalagi? Jadi kalau sekarang, ketua KPK, naik helikopter mewah dalam sebuah perjalanan, lalu atas aturan-aturan internal dewan pengawas, dihukum teguran, kita mau ribut apalagi?
Pertanyaan itu tentu saja bukan tidak untuk dijawab. Yang perlu kita ributkan lagi bukan soal ketua KPK, tetapi soal masa depan kepemimpinan publik di negara yang beradab ini. Bahwa persoalan etis para pemangku jabatan publik bukan soal dirinya sendiri, tapi juga soal integritas bangsa yang dalam sekian nilai, apakah agama, budaya dan sosial-kemasyarakat, kita terima tanpa kompromi.
Misalnya gubernur menerima suap, lalu setelah enam tahun penjara dibebaskan dan kebetulan masih mau mencalonkan jadi anggota DPR. Putusan pengadilan berdasarkan hukum yang sah telah dijalankan, kelakuannya sudah dibayar dan semua pasal terjawab. Jadi, apa yang tertulis sudah dipenuhi. Secara pasal, selama tidak dilarang, apakah yang dapat menghalangi kemauannya? Tapi, kita bisa bertanya juga, apa layak orang ini mendapat tempat lagi untuk jabatan publik, apalagi sebagai wakil rakyat?
Pertanyaan terkait pasal itu pertanyaan legalitas, tetapi pertanyaan layak atau tidak layak itu pertanyaan etis. Jadi menghadap-hadapkan etika dan hukum (pasal-pasal) memang seringkali dilematis. Ataukah ditegakannya hukum di satu sisi dan ditegakannya nilai etika di sisi lain harus selalu bertentangan? Bukankah kedua-duanya toh kelihatan sama-sama berbobot penting dalam penyelenggaraan negara? Kalau ada dua hal bertentangan, tapi keduanya kelihatan sama-sama benar, mesti ada undang di balik batu.
Batunya jelas, semua pasal-pasal dalam regulasi yang kalau sekali terpenuhi, semua dianggap beres. Pejabat kongkalikong dengan pebisnis hitam untuk mencuri anggaran, lalu ditangkap, diadili dan dihukum. Udangnya, yang biasanya susah dicari, segala perilaku, meskipun dalam masa hukuman, misalnya masih menyuap sipir untuk kamar khusus-nyaman. Setelah lepas, tidak malu, menampilkan muka lagi untuk pencalonan pemilu berikutnya.
Apapun yang berkaitan dengan pasal, semua tertulis. Ingat, di Indonesia ini, asas legalitas (semua harus tertulis, tegas, tidak berlaku surut) tidak bisa ditawar-tawar, meski banyak celahnya. Tetapi persoalan etis selalu kembali ke masing-masing orang. Penilaian itu dilakukan dirinya sendiri, dan tanpa perlu dorongan orang lain. Jadi, semua yang berkaitan dengan etika, tidak semata-mata tertulis, dan otonomi diri sendiri. Secara terbalik, bisa dikatakan, orang yang tidak mau mempertimbangkan urusan etika dalam hidupnya, tidak punya otonomi atas dirinya sendiri.
Celaka sekali kalau pejabat publik tidak punya otonomi atas dirinya. Pejabat macam begini pasti tidak lagi bergantung pada prinsip, tapi situasi dan kondisi sesuai kepentingannya dan kelompoknya. Kita tahu, ada dinasti keluarga di sebuah provinsi, yang meskipun sebagian keluarganya sudah ditangkap KPK, sebagian keluarganya lagi malah maju pilkada! Tidak ada aturan terlanggar, tetapi apa akal sehat tidak terganggu?
Krisis pejabat yang luput menyadari etika sudah bukan fenomena baru. Pejabat-pejabat publik ini suka berlindung di balik tembok pasal-pasal, yang sekali lagi, kalau sudah terpenuhi, seolah-olah semua urusan selesai. Mereka tidak mau mempertimbangkan bahwa, bukan hanya kedudukan administratif mereka yang memiliki pengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat, tetapi contoh tata perilaku, kesadaran, integritas dan harga diri mereka juga jadi cermin.
Etika publik, meminjam Haryatmoko (2011), menjadi standar untuk menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Dari definisi ini, untuk saya, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu ditekankan dan diperhatikan betul-betul para pejabat publik.
Pertama, soal “baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan dan keputusan”. Etika menjadi patokan bagi setiap orang, apalagi pejabat!, untuk selalu mempertimbangkan betul-betul baik-buruk dan benar-salah dari setiap kelakukannya. Penekanan ini tidak selalu soal benar-salah menurut hukum melainkan juga norma lain semacam norma kepantasan dan kepatutan bagi publik. Kita ingat misalnya, kasus konflik kepentingan kartu prakerja.
Kedua, soal “tanggung jawab pelayanan publik”. Mengikuti Haryatmoko, etika publik harus mengarahkan pejabat publik pada penciptaan pelayanan publik yang responsif, berkualitas dan relevan. Yang saya sepakati lebih lanjut karena Haryatmoko menggunakan istilah tanggung jawab yang dengan begitu, penekanan kesadaran diri sendiri, bahwa dia sebagai pejabat dan karenanya harus bertindak demi kepentingan publik, tidak bisa dikompromikan sama sekali.
Dari semua masalah berulang yang ada, Anda sekalian lalu tahu kasus apa yang mendorong tulisan ini dibuat. Krisis pribadi yang tidak mau menjunjung etika, terutama oleh para pemangku jabatan publik seharusnya tidak bisa lagi dianggap sebagai hal remeh-temeh. Bukankah eksistensi pejabat-pejabat publik yang suka mengabaikan etika telah mencerminkan bagaimana tidak beretikanya kepemimpinan publik itu sendiri?
Dikotomi hukum dan etika seharusnya sudah tidak perlu lagi, dan jalan keluar paling utama adalah pada para pejabat sendiri. Mereka, atas kesadaran mereka sendiri, harus berani, dengan gagah dan penuh tanggung jawab, mengambil keputusan etis paling berani ketika kelakukan mereka telah menodai jabatan yang diemban: mundur! Hanya ada satu frasa bagi mereka yang sudah melanggar etika, tetapi tidak mau bertanggung jawab (secara etis): rai gedek!