Rabu, Mei 1, 2024

Dikotomi Etika dalam Polemik Pilpres

Riki Saputra
Riki Saputra
Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Salah satu topik pembahasan yang menjadi episentrum perdebatan di antara masing-masing tim kuasa hukum dan saksi ahli selama persidangan Mahkamah Konstitusi beberapa hari lalu, yang berlangsung dan turut mengundang perhatian publik adalah persoalan etika atau etik.

Moment tersebut bertepatan saat perdebatan antara saksi ahli dari tim 03 Ganjar-Mahfud, yang diwakili oleh Romo Franz Magnis Suseno dengan kuasa hukum dari tim 02 Prabowo-Gibran, yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra. Hal yang menariknya, keduanya sama-sama berlatar belakang akademisi.

Romo Magnis merupakan guru besar di bidang Filsafat, dan Yusril Ihza Mahendra merupakan guru besar di bidang Hukum Tata Negara dan pernah belajar filsafat secara formal. Hal ini tentu melahirkan perspektif dan paradigma yang berbeda dalam menilai suatu konsep, termasuk persoalan tentang etika itu sendiri.

Mengutip CNN Indonesia (2/4), menjelaskan bahwa kuasa hukum tim 02 Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra berdebat soal etika dan filsafat dengan ahli dari tim 03 Ganjar-Mahfud, Romo Magnis dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di gedung MK, Jakarta, Selasa 02 April 2024.

Dalam sidang tersebut, Yusril bertanya mengenai konsep etika yang dipakai oleh Romo Magnis terhadap etika pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres 02. Yusril mengungkapkan bahwa konsep etika dalam filsafat berbeda dengan konteks etika dalam penerapan hukum.

Dialektika dan perdebatan antara Yusril dengan Romo Magnis di atas, perlu rasanya terlebih dahulu menjelaskan konseptual dan posisi etika dalam norma filsafat, dan etika dalam norma hukum. Etika dalam filsafat, juga dikenal sebagai filsafat moral, merupakan cabang dari filsafat yang berurusan dengan pertanyaan tentang apa yang secara moral benar dan salah, baik dan buruk, berbudi dan jahat. Ini bertujuan untuk memberikan kerangka kerja rasional untuk memahami dan mengevaluasi perilaku manusia dan pilihan moral. Maka, dapat dipahami etika dalam filsafat menyediakan kerangka kerja teoritis untuk memahami moralitas dan pengambilan keputusan etis, menawarkan sudut pandang dan pendekatan yang berbeda terhadap dilema etis.

Sementara itu, etika dalam hukum mengacu pada standar etis dan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku profesional hukum dan administrasi keadilan dalam sistem hukum (American Bar Association, 2020). Etika dalam hukum bertujuan untuk menjaga integritas profesi hukum dan sistem peradilan, memastikan bahwa profesional hukum mematuhi standar etis dalam perilaku profesional dan pengambilan keputusan.

Secara sederhana, etika dalam filsafat memberikan landasan teoritis untuk memahami moralitas dan pengambilan keputusan etis, sementara etika dalam hukum fokus pada penerapan prinsip-prinsip etis dalam profesi hukum dan sistem peradilan, memastikan keadilan, integritas, dan akuntabilitas.

Polemik dalam perdebatan antara Yusril dengan Romo Magnis mengenai etika di antara norma filsafat dengan norma hukum, maka keterangan Yusril dalam menjelaskan posisi etika dalam norma hukum sudah benar. Karena persoalan etika tidak dapat dilepaskan dari teks dan konteksnya, serta sumber dalam merumuskan etika dalam norma hukum perundang-undangan tidak hanya bergantung pada satu sumber acuan saja.

Sebab, sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusril dalam satu pengakuan tesisnya mengenai filsafat moral, yakni etika lebih tinggi kedudukannya dari hukum. Seperti beberapa teori etika dari para filsuf, mulai dari Immanuel Kant hingga Thomas Aquinas.

Yusril menjelaskan bahwa dalam filsafat, etik merupakan filsafat tentang moral – Filsafat tentang praksis manusia. Apa yang disampaikan Immanuel Kant, “apa yang harus, apa yang wajib, dan apa yang tidak wajib”. Bagi Kant, bahwa norma-norma moral semacam itu tidak dibentuk oleh manusia, oleh suatu lembaga, atau negara, atau apapun, tetapi sesuatu yang lahir dari fokus manusia, dan karena itu dia tahu mana yang salah mana yang benar mana yang baik mana yang buruk.

Kalau mengikuti filsafat semacam itu akan sampai pada kesimpulan bahwa norma etik sebenarnya lebih tinggi daripada norma hukum. Aquinas mengatakan bahwa norma hukum yang bertentangan dengan norma moral, tidak pantas dianggap sebagai norma hukum). Namun, di dalam negara hukum terdapat hierarki norma di dalam hukum itu sendiri. Ada norma yang lebih tinggi yang bersifat lebih mendasar, ada norma menengah, ada norma rendah, dan ada norma yang sifatnya pengaturan- pengaturan teknis.

Norma-norma dan etika yang berlaku juga mengacu kepada hukum seperti UU. Lalu, Yusril mempertanyakan persoalan konseptual antara norma dalam filsafat dan norma etik yang dibentuk atas suatu UU yang kedudukannya tidak akan lebih tinggi dari UU itu sendiri. Yusril juga mempertanyakan apakah pelanggaran etik dalam filsafat akan mempengaruhi pada penyelenggaraan negara atau pelanggaran kode etik sebagai code conduct di dalam norma etik yang dijadikan dasar keputusan MKMK, dan DKPP. Apakah itu akan menggeser suatu keputusan yang didasarkan atas UU.

Kemudian, Romo Magnis menanggapi dengan pernyataan bahwa etika dalam filsafat berkaitan dengan etika hukum. Dia menjelaskan etika bahkan menjadi penyatu masyarakat Indonesia. Bagi Indonesia, etika kesadaran atas nilai sejak permulaan merupakan salah satu unsur yang mempersatukan suatu masyarakat yang amat majemuk. Mulai dari penolakan penjajahan, kesetiaan saling menghormati dalam pancasila.

Dari sini ada semacam confusing yang dialami oleh Romo Magnis dalam menempatkan konsep etika dalam situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Romo Magnis terkesan cenderung berbicara persoalan etika dalam ranah teoritis dan normatif, ketimbang etika dalam norma praksis hukum UU, hal itu akan mengarahkan kepada utopis, ketimbang realistis.

Selain itu, Romo Magnis terkesan sedikit memaksakan pemikirannya, sehingga tidak menjawab pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Yusril. Kemudian Romo Magnis juga melupakan satu hal terpenting, yakni sumber dalam merumuskan etika dalam norma hukum perundang-undangan tidak hanya bergantung pada satu sumber acuan atau satu disiplin ilmu saja. Kalau hanya bergantung pada filsafat sebagai satu-satunya sumber acuan atau standarisasi etika dalam UU, maka filsafat bisa jatuh ke ranah ekslusivisme dan absolutisme.

Sebab itulah, Yusril pun mengaku khawatir Romo Magnis tidak bisa membedakan etika dalam filsafat dan etika dalam hukum. Yakni etik yang terkait dengan kode etik yang menjadi kewenangan MKMK, DKPP, untuk melakukan pemeriksaan suatu etik. Etik seperti itu agak berbeda dengan etik dalam filsafat dan agak berbeda dengan hierarki norma-norma. Dia menekankan bahwa kode etik yang sekarang ini adalah kode etik yang diperintahkan oleh UU (undang-undang), dalam UU MK, dalam UU KPK, dalam UU Advokat. Dan itulah yang diadili, yang dijadikan dasar mengadili pelanggaran kode etik, bukan pelanggaran kode etik seperti yang dipahami oleh norma filsafat.

Riki Saputra
Riki Saputra
Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.