Tulisan ini pertama-tama akan menampilkan dua kejadian ironik yang menunjukkan sinyal counter intuitive dari keselarasan antara sains, teknologi, dan kapitalisme.
Pertama, NBC News 5 Maret 2020 memberitakan bahwa Profesor Peter Hotez, co-director dari Texas Children’s Hospital’s Center for Vaccine Development di Houston Texas, Amerika Serikat pada 2016 bersama tim risetnya melakukan penelitian untuk mengembangkan vaksin yang dapat melindungi manusia dari ancaman serangan keluarga coronavirus, yang menjadi wabah penyakit SARS di China pada tahun 2002, MERS di Timur-Tengah pada tahun 2012, dan saat ini menjadi pandemi global dalam bentuk Covid-19.
Hotez saat itu membutuhkan dana mengembangkan riset tersebut untuk melakukan uji coba kepada manusia. Sayangnya, kabar baik itu tidak disambut antusias. Pihak pemerintah Amerika Serikat yang berkiblat pada logika kebijakan austerity (pengetatan anggaran sosial) sebagai jawaban atas krisis, enggan melirik langkah-langkah riset yang kurang memiliki nilai ekonomi. Padahal, jumlah korban wabah SARS berkisar 8437 orang dengan 813 orang dinyatakan meninggal, sementara korban dari MERS berkisar 2994 dengan korban meninggal sebesar 858 kematian.
Sementara bisnis kesehatan yang menggerakkan dunia tidak tergerak untuk memberikan support kepada penelitiannya. Dalam pertimbangan bisnis karena jumlah penderitanya saat itu tidak seberapa, maka kalkulasi ekonomi pasar menolak ikhtiar medis kesehatan bagi kebermanfaatan umat manusia. Sehingga meskipun jumlah penderita tidak sedikit, namun kalkulasi biaya dan profit yang dihasilkan dipandang bertentangan dengan hukum efisiensi ekonomi.
Bayangkan apabila riset itu berjalan dan mendapatkan support, yang semenjak tahun 2016 sudah menuju titik terang, maka saat ini kita mungkin tidak akan menanti dengan penuh ketakutan terhadap ancaman virus corona ketika penangkal medis modern sudah tersedia.
Begitu besarnya resiko kemanusiaan yang harus kita tanggung bersama ketika rasionalitas kalkulasi ekonomi pasar bertabrakan dengan rasionalitas perawatan kehidupan manusia. Tentu ke depan masih ada yang perlu diwaspadai, ketika vaksin sudah ditemukan, apakah proses distribusinya dikelola melalui mekanisme pasar ataukah melalui koordinasi antar negara berbasis solidaritas. Jangan sampai kebodohan yang sama akan terulang, karena pada kali kedua, kebodohan itu tidak lagi menjadi tragedi tapi menjadi lawakan. Tepatnya komedi horor
Kejadian kedua, pada tahun 2008, James Hansen peneliti iklim yang berkutat pada penelitian untuk memperbarui dunia dibawah ancaman perubahan iklim (climate change) yang adalah direktur dari National Aeronautics and Space Administration’s (NASA) Goddard Institute for Space Studies menegaskan bahwa rumah kita Planet Bumi berada pada tepi jurang bahaya, ketika gas rumah kaca (greenhouse) efek dari akumulasi kerja manusia sudah menghasilkan perubahan iklim yang apabila trend ini diteruskan, kita terancam tidak dapat menahan kembali kerusakan dunia, akibatnya kita menghadapi ancaman kehancuran bumi.
Tidak hanya itu Hansen menyebutkan saat proses perusakan terus berlanjut dan upaya penanganannya masih tidak memadai, kita masih berhadapan pada dua kondisi yaitu pertama, adanya jurang antara pemahaman yang diketahui oleh para ilmuwan terkait dengan proses perusakan bumi dan apa yang diketahui (ketidaktahuan) baik dari publik dan pemegang kebijakan. Kedua, kerja riset dan tindakan untuk merawat bumi kita bersama menghadapi tembok perlawanan dari lapisan dominan kepentingan privat yang memiliki kuasa dan pengaruh dari pengambil kebijakan dari level nasional sampai ke tingkat global.
Problem kedalaman penguasaan sains dari para ilmuwan yang berbenturan dengan apa yang diketahui oleh publik dan pemangku kebijakan maupun pertentangan kepentingan dengan kekuatan yang menggenggam akses kepemilikan atas kapital bukan sekedar problem komunikasi publik, yang dengan perangkat tekhnologi digital maupun dengan sosialisasi virtual seperti menggunakan info grafis maupun dialog visual melalui media sosial bisa menyelesaikan segalanya sehingga terbangun konsensus bersama.
Kejadian di atas secara terang memperlihatkan persoalan antara ilmu pengetahuan dan amalnya berhadapan dengan perkembangan antara organisasi sosial yang mengelola kehidupan manusia selama lebih dari 2-3 abad terakhir, yakni kapitalisme beserta logika dan hukum yang menggerakkannya. Setidaknya ada tiga problem reflektif yang dapat kita tuangkan terkait dengan problem sains dan konteks sosialnya, yakni:
Pertama, tertanamnya ilmu pengetahuan manusia dalam tata pengorganisasian sosial kapitalisme yang selanjutnya menjadi penggerak utama melalui inovasi riset beserta dengan institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya sampai saat ini, tidak hanya pemisahan hubungan dalam kesatuan ilmu antara mengetahui dan bertindak, teori dan praktik, sains dan teknologi serta ilmu sosial dan ilmu alam, namun juga menghasilkan inkorporasi ilmu di bawah pengorganisasian sosial sistem kapitalisme.
Inkorporasi ilmu dalam imperatif tatanan kapitalisme ini menghasilkan capaian-capaian ilmu pengetahuan mengabdi pada keberlangsungan sistem kapitalisme disatu sisi dan perlahan-lahan kehilangan semangat kritik emansipatorisnya (yang hadir diawal berjayanya akal budi yang berhasil membebaskan dirinya dari otoritas tradisi dan dogma keyakinan) bagi pemajuan kehidupan ummat manusia.
Kedua, kita hidup pada zaman krisis kapitalisme. Krisis terjadi ketika capaian keilmuan umat manusia yang berkembang langkah demi langkah untuk menunjukkan jalan dan memberikan manfaat maksimal bagi keberlangsungan hidup beserta alokasi sumber daya kehidupan dengan keseimbangan ekologisnya berbenturan dengan corak sistem pengelolaan sosial yaitu kapitalisme.
Kapitalisme pada awal kelahirannya bersifat simbiostik mutualistik dengan kemerdekaan akal budi, namun dalam perkembangan terkini menolak tunduk kepada ilmu. Ketika navigasi ilmu menuntut perubahan sosial bagi keberlanjutan kehidupan kemanusiaan. Yang terjadi, kemajuan ilmu dan bagaimana ilmu memberikan penerangan kepada manusia untuk merawat kehidupannya harus terlebih dahulu menghadapi saringan inklusi dan eksklusi yang sejalan dengan kepentingan dari keberlanjutan tatanan kapitalisme (bukan tatanan kehidupan).
Ketiga, sebagai implikasi dari kedua hal di atas dalam aras tatanan ekonomi-politik, saat ini kita berhadapan pada kondisi ketika tatanan sosial-politik beserta kekuatan sosial dominan yang berfungsi untuk merawat pengorganisasian sosial sistem kapitalisme kerapkali abai dan sengaja mendiamkan jawaban-jawaban rasional untuk menjaga keberlangsungan umat manusia.
Ketika solusi yang diambil menuntut kita berpikir dan bertindak radikal (menyelami persoalan sampai ke penyebab utama dari problem kemanusiaan) dalam rangka melakukan langkah yang bertentangan dengan hukum-hukum yang menopang keberlangsungan dari tatanan kapitalisme. Sehingga, jalan satu-satunya yang terpaksa diambil-ditengah pelitnya momen perubahan sosial itu terjadi– adalah pada saat krisis tak terelakkan maka baru terbuka ruang bagi manusia untuk berpikir waras untuk merehabilitasi kemanusiaan beserta segenap ekosistem yang menunjangnya.
Inkorporasi Sains dan Isolasi Ilmuwan dalam Sistem Kapitalisme
Peringatan James Hansen akan bahaya perubahan iklim di atas terkait dengan emisi karbon dioksida dan rumah kaca ke dalam atmospher yang berakibat pemanasan global adalah satu dari berbagai problem ekologis. Selain itu kita masih akan menghadapi ancaman-ancaman problem lingkungan lainnya seperti kepunahan spesies, disrupsi perputaran nitrogen-fosfor, pengasaman laut, penipisan ozone, krisis air dan lain sebagainya.
Saat ini perhatian dunia terhadap alam dari penelitian kalangan ilmuwan terkait dengan bahaya pemanasan global dan problem-problem ekologis lainnya sudah semakin berkembang. Namun demikian di tengah perhatian yang semakin menguat atas ancaman eksistensi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan ekosistem bumi ini berbagai mainstream disiplin keilmuan agaknya tidak meresponsnya secara memadai.
Para ilmuwan yang berkutat pada disiplin natural sciences yang telah mulai menyadari bahwa berbagai problem ekologis ini terjadi karena akumulasi dari aktivitas kerja manusia yang bertentangan dengan orkestrasi alam semesta, bergerak merawat dan merehabilitasi ekosistemnya yang jarang bersentuhan dengan analisa sosial terkait dengan pemahaman atas hubungan pergerakan sumber daya kekuasaan, pertautan kepentingan maupun manuver politik mengintensifkan interupsi aktivitas manusia terhadap bekerjanya pelestarian eko-sistem bumi.
Kalangan ilmuwan yang berkecimpung dalam keilmuan ekonomi mainstream yang berkutat pada interaksi demand dan supply dalam mekanisme pasar hanya memiliki perangkat analisis yang tidak terlalu jauh dari penjelasan tentang bagaimana produksi barang ekonomi dibuat berdasarkan kebutuhan pasar, lalu mempertimbangkan proses distribusi dan konsumsinya dengan proses ekonomi yang efisien untuk menciptakan investasi bagi profit yang lebih besar lagi.
Sehingga, dari paradigma keilmuan seperti itu tidak heran apabila jawaban mainstream yang keluar dari seorang pengusaha milyarder “bisnis ekologis” Richard Branson terhadap problem ekologis adalah, “harapan kita untuk memberikan solusi terhadap problem climate change hanyalah dengan cara pengembangan industri untuk mencari uang dari situ”.
Kalangan ilmuwan ilmu-ilmu sosial dan politik yang riwayat keilmuannya berasal dari pertanyaan-pertanyaan problem kekuasaan, partisipasi politik warga, legitimasi politik dan bekerjanya otoritas politik dalam penyelenggaraan urusan-urusan sosial, saat ini telah lama absen dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial penting soal bagaimana demokrasi, otoritas politik dan kedaulatan warga seharusnya bekerja untuk melakukan kontrol terhadap kerja manusia dan sistem organisasi sosial yang mengatur pembagian kerja dan distribusi kemakmuran yang dihasilkannya.
Sementara kaum filsuf ketika publik tengah berkutat pada problem ilmu beserta konteks dan peran sosialnya, memilih untuk memperbincangkan hakekat ilmu dengan perdebatan soal penjelasan antara pencarian kebenaran dan posisi ketidakpastiannya. Kalangan filsuf lain menyanyikan hymne keagungan sains ketika berhasil mengalahkan cara pandang keagamaan yang membelenggunya 400 tahun yang lampau.
Namun, mereka bungkam atas ketundukan sains untuk meneruskan peran liberasinya ketika berhadapan dengan otoritas kekuasaan yang lebih besar saat ini, yang pada awal sejarahnya mengkondisikan perkembangan sains. Seakan-akan problem filsafat dan kajian keilmuan tidak pernah berkorespondensi dengan problem aktual terkait persoalan penguasaan sumber daya, distribusi dan bagaimana perawatan hidup bersama dikelola dengan rekognisi atas kehadiran dan partisipasi warga.
Semua persoalan yang menandai impotensi kalangan ilmuwan mainstream untuk memberikan jawaban praksis terhadap problem-problem kemanusiaan dan krisis kehidupan di bumi ini mengambil pepatah Melayu sebagai metafor, menunjukkan satu hal mereka tidak mellihat gajah dipelupuk mata, they don’t see the elephant in the room.
Apa gajah dipelupuk mata yang tidak dilihat oleh sebagian kalangan intelektual dari berbagai disiplin ilmu? The Elephant in the room yang tidak mereka lihat sebagai akar persoalan adalah kekuasaan sistem kapitalisme yang syarat keberlangsungannya adalah pencarian profit yang tidak berkesudahan, pengutamaan nilai tukar diatas nilai guna, proses penyerapan seluruh ruang sosial dan tata ekologi bumi ke dalam wilayah ekonomi pasar, yang sejauh ini telah berhasil menginkorporasi berbagai disiplin keilmuan yang ada bagi keberlangsungan dari sistem tersebut, yang kekuatanya sudah jauh melampaui daya tahan sistem ekologis kita untuk merawat keberlangsungan hidup alam seisinya.
Untuk mengurai benang kusut dan kegagapan otoritas ilmu dalam menjawab persoalan-persoalan besar keberlanjutan hidup di bumi melalui berbagai disiplin ilmu mereka, saya akan memulainya dari perspektik keilmuan dua ilmuwan besar yang “tidak boleh disebut namanya” dalam khasanah keilmuwan arus utama dewasa ini. Dia adalah Karl Marx dan Friedrich Engels.
Dua nama di atas penting untuk dikemukakan guna mengurai kegagapan para ilmuwan dan sumbangan ilmu yang mereka berikan untuk memahami persoalan dan menunjukkan peta jalan untuk mengubahnya. Hal ini terkait dengan problem kompartementalisasi, inkorporasi, dan domestikasi ilmu sebagai instrumen utama bagi ummat manusia untuk meneruskan aktualisasi potensi-potensi kemanusiaan dan kesinambungan kehidupan bumi yang lebih baik.
Kita dapat memulainya dengan mengulas manuskrip karya Marx dan Engels The German Ideology yang menyatakan bahwa sejarah alam dan sejarah manusia tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Menurut Marx dan Engels,”We know only a single science, the science of history. History can be contemplated from two sides, it can be divided into the history of nature, and the history of mankind. However, the two sides are not to be divided off; as long as men exist the history of nature and the history of men are mutually conditioned.”
(Kita hanya mengetahui satu bentuk ilmu, yaitu ilmu sejarah. Sejarah yang yang dapat direnungkan menjadi dua sisi, itu bisa dibagi menjadi sejarah alam dan sejarah dari manusia. Namun demikian dua sisi dari keilmuan sejarah ini tidak dapat dipisahkan; selama umat manusia eksis, maka sejarah manusia dan sejarah alam akan saling mengkondisikan satu dengan lainnya).
Keilmuan alam hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam hubungannya dengan kemanusiaan. Pandangan ini bukan berarti bahwa alam tidak memiliki eksistensi di luar manusia, dalam keterhubungan dengan manusia, alam memiliki eksistensinya sendiri yang terpisah dari manusia. Demikian pula, sejarah kemanusiaan yang berbeda dengan bumi-alam serta hewan dn tumbuh-tumbuhan dapat dicermati dalam hubungannya dengan dunia konkret obyektif.
Apakah yang memediasi interaksi antara manusia dan alam? Keterhubungan alam dengan manusia termediasi oleh aktivitas kerja manusia. Dalam kesatuan antara pikiran dan tindakannya, manusia memahami, mempelajari dan bertindak dalam hubungannya dengan alam untuk memenuhi hajat hidupnya agar mereka bisa tetap eksis dan mereproduksi kehidupannya. Dalam kesinambungan hubungan antara manusia dengan alam melalui proses kerja, maka kehidupan manusia tumbuh berlanjut untuk memahami kehidupan dan alam semesta, belajar untuk lebih produktif, menciptakan berbagai obyek-obyek material baru dan menciptakan kehidupan baru yang lebih baik.
Keilmuan dalam perspektif ini adalah hasil dari interaksi antara manusia dan alam, buah dari adanya proses pembelajaran maupun konflik dalam hubungan pengelolaan alam oleh manusia yang menghasilkan kedewasaan nalar sehingga terus memperbaiki aktivitas produksi manusia dalam hubungannya dengan alam dan dalam praktik sosial yang dilakukan kehidupan sosial dan kehidupan alam terus berubah. Dalam hubungan dengan hal ini bukan saja ilmu sejarah tentang perubahan alam dan manusia saling berkoneksi dan meningkat lebih maju, demikian juga dalam dimensi keilmuan manusia proses manusia untuk mengetahui, bertindak dan mengubah keadaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Namun demikian dalam perkembangannya, relasi manusia dan alam yang dimediasi oleh kerja tidak selesai sampai di situ. Dalam proses kerja manusia berinteraksi dengan alam, umat manusia membangun tatanan pengorganisasian sosial untuk mengelola hasil kerja dari yang mereka lakukan.
Dari proses pengelolaan tersebut maka dimensi kekuasaan hadir untuk mengatur baik pembagian kerja dalam proses produksi maupun distribusi dari produk-produk material yang dihasilkan bagi kesinambungan hidupnya. Yang dalam proses sejarah kemudian memunculkan relasi asimetris kekuasaan antara mereka yang memiliki akses dan menguasai perangkat produksi dan mereka yang bekerja bagi kelestarian sistem tersebut.
Dilihat dari relasi sains dan konteks sosialnya, perkembangan sains terwadahi dan mengalami pertumbuhan yang pesat dan sedemikian rupa dalam perjalanan sistem kapitalisme. Kemerdekaan manusia dari belenggu dominasi tradisi dan paham lama, sehingga mereka dapat berpikir bebas sejalan dengan logika sistem sosial kapitalisme.
Namun demikian dengan pemahaman dialektika sejarah, pesatnya perkembangan sains dalam sistem kapitalisme, yang bahkan menjadi penggerak utama bagi pematangan sistem kapitalisme berbanding terbalik dengan proses dehumanisasi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam serta kerja yang dilakukan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih manusiawi bagi keseluruhan umat manusia. Mengapa demikian?
Sebelum sampai di sana kita sedikit melirik kebelakang untuk melihat perjalanan sains dalam sejarah kehidupan manusia.
Kita tarik kebelakang pada sekitar akhir abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 di Eropa. Pada zaman ketika astronom Nicolaus Copernicus yang kemudian dilanjutkan oleh Galileo di Vincenzo Bonaulti de Galilei (Galileo Galilei), menggugat asumsi teologis yang dianggap menjadi keyakinan saat itu soal bumi sebagai pusat semesta.
Copernicus memformulasikan model berdasarkan ilmu matematika dan astronomi bahwa adalah matahari bukanlah bumi yang menjadi pusat dari alam semesta. Sementara Galileo membenarkan model heliosentris (Matahari pusat alam semesta) dari Copernicus daripada geocentris melalui penelitian dengan teleskop yang diawali dari pengamatan atas orbit dari planet Jupiter. Mengapa penemuan revolusi dibidang ilmu astronomi ini menjadi sebuah penemuan revolusioner yang mengguncangkan dunia kala itu? Mengapa sebuah invensi pengetahuan turut mendorong sebuah perubahan sosial yang luar biasa?
Mari kita sedikit menengok pada bagaimana sastrawan marxist Bertolt Brecht menggambarkan invensi Galileo dan gempa sosial yang diakibatkannya dalam karya dramanya yang ditulis pada tahun 1938 berjudul Leben des Galilei (The Life of Galileo).
Melalui sentuhan Brecht, Galileo hadir sebagai seorang rasionalis yang berkutat baik dengan penemuan dalam ilmu alam dan juga dalam hubungannya dengan problem masyarakat. Dengan menegaskan pandangan heliosentris bahwa bumi tidaklah tetap namun bergerak, dan matahari bukan bumi yang menjadi pusat semesta maka ia sedang menentang dogma agama yang berkuasa pada waktu itu.
Dogma agama yang menyatakan bahwa posisi bumi sebagai pusat semesta yang tidak bergerak ditengah matahari dan bintang-bintang yang mengelilinginya. Penalaran seperti ini bertemu dengan tafsir teologis saat itu terkait dengan posisi malaikat, bidadari dan Sang Pencipta serta surga dan neraka yang berada diluar bumi dan terus bergerak mengawasi ummat manusia.
Nicolaus Copernicus dan Galileo-Galilei tidak sendirian dalam suara pemberontakannya terhadap otoritas agama. Sejarahwan dan arkeolog Neil Faulkner (2018) dalam A Radical History of The World menjelaskan pada waktu itu dalam kurun masa Renaisans muncul jenius-jenius keilmuan dalam berbagai bidang yang menggugat otoritas keagamaan yang membelenggu pikiran merdeka.
Arsitek Donato Bramante yang melalui karya-karyanya mengekspresikan idealita dari tatanan, kemanfaatan dan ide tentang peradaban yang dibentuk oleh tindakan dari manusia ketimbang ketundukan terhadap relitas adi-insani. Seniman senirupa Michael Angelo yang dengan karya seninya mengabarkan kemuliaan dan daya manusia yang tengah memberontak dari tradisi dan dogma. Pada era tersebut muncul tokoh seperti Leonardo Da Vinci seorang seniman dan inventor yang mengabarkan keindahan dari manusia dengan detail dan keragamannya.
Bagi kalangan filsuf yang merayakan keagungan sains di atas dominasi pandangan keberagaman, penjelasan sampai diatas sudah cukup untuk mengabarkan tentang manusia yang dituntun oleh pikiran dan ilmu yang dihasilkan melalui kerja nalarnya akan memberikan jawaban terhadap masa depan umat manusia yang penuh harap.
Dengan cukup berkiblat pada ilmu pengetahuan, maka masa depan umat manusia dipandang pelan-pelan tidak hanya akan mampu memberikan kesejahteraan namun juga mampu melampaui keterbatasan-keterbatasan yang ada dirinya pada masa kini bagi keberlanjutannya di masa depan. Mengutip judul dari bintang sejarawan dunia saat ini yaitu Yuhal Noah Harari, manusia yang manunggal dengan Artificial Intelligence sebagai Homo Deus, bukan lagi Homo Sapiens!
Namun uraian sejarah di atas masih belum cukup untuk melihat riwayat ilmu dalam kehidupan ummat manusia. Kembali pada kisah Galileo dalam besutan Brecht, dia menyadari bahwa penemuannya bukan hanya mengguncang pengetahuan mapan dan dogma agama, namun juga mengguncang sebuah cara pandang yang menjadi salah satu pilar utama pengawal dari tatanan sosial pada saat itu.
Seperti diutarakan oleh Faulkner, bahwa penemuan Galileo-Galilei, Donato Bramante, Michael Angelo dan Leonardo Da Vinci adalah artikulasi dari epos pergerakan Revolusi Borjuis Pertama, yang tengah berjuang untuk menghantam tembok besar benteng tatanan feodalisme yang berbasis pada penguasaan atas tanah dan kendali atas perdagangan (serta kaum saudagar) dan penghisapan atas petani, yang dijaga dikawal tidak hanya oleh alat-alat kekerasan namun juga legitimasi adiluhung yang berpusat pada titah langit kepada kerajaan.
Meskipun kita mengakui kejeniusan para ilmuwan abad renaisans, namun itu semua bukan hanya muncul dari pikiran cemerlang mereka, penemuan-penemuan mereka terhubung dengan kondisi sosial yang tengah bergerak dan melakukan perlawanan terhadap kekuatan kelas sosial dominan yang tengah menguasai tatanan feodalisme, namun sedang kehilangan kekuasaan untuk mengelola tata sosial ditengah perlawanan-perlawanan terhadapnya.
Sejarah membuktikan dalam proses dialektika yang panjang dan keras, pada akhirnya revolusi Copernican dalam ilmu alam mempengaruhi dunia filsafat yang menggunakan logika Copernicus tentang matahari sebagai pusat semesta yang mana bumi, planet dan bintang yang mengitarinya dibalik menjadi pikiran manusia yang terlepas dari dogma serta tradisi berperan aktif sebagai pembentuk konsepsi kita atas realitas dengan mengatur, menyeleksi dan merawatnya. Sebuah konsepsi yang menemukan ikonnya pada filsuf idealisme Jerman Immanuel Kant.
Kisah tentang perjalanan sejarah manusia dengan alam melalui pegangan ilmu belum selesai. Akumulasi pengetahuan yang membawa pada era pencerahan dan terus berlanjut ini adalah artikulasi dari dinamika pertarungan diantara kekuatan sosial yang terus bergerak. Bersamaan dengan ufuk fajar kebangkitan sains yang melepaskan belenggu dari penjara keyakinan, perjalanan ilmu bertemu dan bergerak bersamaan dengan kemunculan pengorganisasian baru dalam kehidupan sosial ummat manusia yakni kebangkitan era kapitalisme.
Pada satu dimensi watak ilmu untuk memahami dunia dan menciptakan temuan-temuan baru bersinergi dengan hukum-hukum sosial-ekonomi dalam sistem kapitalisme. Invensi-invensi baru berjalan seiring dengan akumulasi kapital yang lebih besar untuk memproduksi kemakmuran yang lebih besar, membangun investasi di berbagai tempat-tempat baru dan mengubah ruang-ruang sosial menjadi ruang-ruang ekonomi berbasis pada pergerakan uang dan modal yang terus bergulir diatas perlindungan otoritas politik atas kepemilikan privat.
Baik ilmu pengetahuan maupun kapitalisme pada satu sisi koin saling memperkuat satu sama lain, bahwa sistem produksi yang terbangun oleh sistem kapitalisme membutuhkan perkembangan ilmu-ilmu alam sampai pada titik tertingginya! Seperti yang diuraikan oleh Marx dalam karyanya Grundrisse.
Namun seperti saya utarakan di atas itu baru satu sisi koin, belum pada sisi lainnya. Seiring dengan manunggalnya ilmu sebagai penggerak dari sistem produksi kapitalisme dan menciptakan capaian inovasi dan invensi yang luar biasa sampai saat ini, kehidupan manusia secara kontradiktif mengalami proses dehumanisasi sementara alam lambat laun mengalami proses perusakannya, dan sains menjadi bagian integral dalam proses tersebut.
Apa yang menjelaskan kontradiksi dari keadaan ini di era kapitalisme? Marx menjelaskan dalam karyanya The Capital Volume 1 melalui konsepsi yang disebut dengan commodity fetishism, bahwa corak ekonomi tatanan kapitalisme telah dengan sukses mengubah hubungan antar manusia dengan alam melalui pemanfaatan ilmu menjadi relasi sosial antar benda (uang dan komoditas yang dipertukarkan dalam perdagangan pasar).
Melalui proses commodity fetishism, nilai ekonomi dalam akumulasi kerja manusia ditentukan semata-mata dari nilai komoditi barang yang dipertukarkan, bukan dalam hubungan sosial di antara manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memanfaatkan barang yang diproduksi sesuai nilai gunanya, melainkan nilai tukar yang dihitung berdasarkan kalkulasi atas pengambilan nilai lebih dari proses kerja yang dilakukan oleh buruh, yang kemudian diputar kembali sebagai investasi dalam siklus ekonomi yang terus bergerak.
Seiring perkembangan siklus ekonomi kapitalisme, mayoritas manusia yang bekerja di dalamnya semakin terasing dengan kerja dan hasil yang mereka produksi. Kelas pekerja yang bekerja di pabrik mobil, tidak dapat membeli mobil yang mereka buat, kaum buruh yang bekerja di pabrik sepatu berkelas tidak mampu membeli sepatu yang mereka buat, kuasa manusia atas kerja yang mereka lakukan hilang seiring dengan tekanan kerja dalam sistem produksi kapitalisme.
Dalam perkembangan sistem kapitalisme di era Revolusi Industri 4.0, kondisi hidup kelas pekerja tidak menjadi lebih baik. Para pekerja industri harus bekerja dalam ambang batas eksistensial ditengah kompetisi antar wilayah untuk menawarkan tenaga bernilai rendah, kaum prekariat hidup dalam kondisi ketidakpastian ditengah tekanan pasar kerja fleksibel, sementara kaum kognitariat (kalangan inteligensia) yang semakin lama terkoneksi dengan digital technology juga berada dalam kondisi rentan dalam ketidakpastian dalam skema gig economy berhadapan dengan pemain-pemain besar berstatus unicorn.
Proses penghancuran ekologis yang terjadi pada alam dalam perkembangan kapitalisme berlangsung ketika logika akumulasi modal, primitive accumulation yang menyerap dan mengonversi lingkungan dan ruang sosial menjadi ruang ekonomi, mengabaikan daya tahan bumi dan keberlangsungannya atas nama perburuan uang dan investasi lebih luas atas bumi, air dan kekayaan lama yang terkandung didalamnya.
Bagaimana posisi ilmu pada kontradiksi dan krisis kapitalisme yang menjadi sebuah kenyataan hidup dari ummat manusia yang tengah berlangsung? Hilary Rose dan Steven Rose (1976) dalam karyanya yang saat ini menjadi klasik The Political Economy of Science menjelaskan bahwa sains berkontribusi terhadap perkembangan pesat sistem kapitalisme yang berbanding terbalik dengan proses dehumanisasi kehidupan manusia dalam interaksinya dengan alam, melalui proses inkorporasi, ideologi dan alienasi sains dalam sistem kapitalisme.
Ketika sains terinkorporasi dalam logika sistem kapitalisme, potensi sains sebagai pedoman manusia untuk mengetahui, bertindak dan mengelola alam bagi kemajuan kehidupan manusia dan tata ekologisnya bergeser menjadi penggerak dalam relasi antar barang dan komoditas yang diproduksi untuk dipertukarkan dalam sistem pasar. Potensi pembebasan sains berubah menjadi pelayan dari tatanan kapitalisme.
Sementara itu, sains dalam dimensi integralnya baik sebagai cara pandang historis dalam hubungan manusia dengan alam yang terbangun dalam tatanan sosial, semakin teralienasi satu sama lain. Ilmu humaniora dan ilmu sosial terpisah dari pemahaman akan kehidupan alam, sehingga menjadi idealisme (berkutat pada munculnya ide demi ide yang tidak bersentuhan dengan dimensi ekologis yang lebih luas), pengetahuan tentang alam terpisah dari pengetahuan tentang kenyataan sosial, politik dan kekuasaan, sehingga bercorak mekanikal materialisme.
Dalam keseluruhan rangkaian integrasi ilmu dalam sistem kapitalisme, maka akumulasi sains yang dimiliki oleh manusia semakin menjauh dari pembacaan atas realitas sosial yang tengah terjadi. Sementara setiap pola-pola interaksi antara berbagai macam disiplin ilmu tersebut dalam mainstream dunia akademik tidak ditujukan untuk menyoroti secara kritis bagaimana kerja dari struktur ekonomi-politik kapitalisme, yang mana ilmu menjadi penggeraknya menjadi penentu utama baik bagi problem-problem sosial yang dihadapi oleh umat manusia mulai dari ketimpangan ekonomi, kerusakan ekologis dan realitas anthropocene, bangkitnya impuls-impuls purba dalam ekspresi populisme kanan, serta trend tendensi otoritarianisme dan pelemahan terhadap demos bagi perawatan keberlangsungan sistem kapitalisme.
Ilmu dan para sains dalam keterasingannya satu sama lain tidak tahu apa yang dalam kesatuan sosial dan alam tengah terjadi, meskipun mereka dalam isolasinya masing-masing sedang melakukan proses pelemahan daya tahan manusia dan bumi dalam tugasnya sebagai pengawal tatanan kapitalisme. Rangkaian sejarah inilah yang selanjutnya menjadi penyebab bagaimana satu ilmu dengan ilmu yang lain gagap dalam memberikan jawaban terhadap kondisi krisis yang tengah kita hadapi.
Ketika sejarah awal ilmu yang dalam dimensi kesatuannya untuk mengetahui dan berbuat dalam hubungan manusia dengan alam bagi pengelolaan keseimbangan kehidupan manusia dan bumi, berubah menjadi mengetahui dan berbuat dalam rangka melayani sistem kapitalisme, maka ilmu semakin melemah elan vitalnya sebagai penggerak bagi kemajuan hidup manusia.
Mengembalikan Daya Pembebasan Sains
Pada tahap seperti ini, upaya memulihkan kekuatan ilmu sebagai instrumen pembebasan manusia dari problem-problem yang diciptakan oleh kerja manusia dalam tatanan kapitalisme, adalah dengan merangkai kembali kesatuan ilmu dalam hubungan yang terpisahkan dalam dimensi alam dan sosial, teori dan praktik, politik dan ekologis, serta mengetahui-bertindak-mengelola dalam kerangka kritiknya untuk memahami tidak saja rangkaian totalitas relasi antara manusia, alam, dan ilmu.
Namun juga bagaimana dimensi-dimensi kekuasaan secara ekonomi-politik telah menjinakkannya untuk mengembalikan keseimbangan hidup manusia dan ekologinya. Dalam upaya untuk merekonstruksi kembali ilmu berserta prosedur dan metodologinya untuk mengatasi persoalan yang mengancam eksistensi manusia, maka di dalamnya akan terbuka jalan perubahan.
Kembali pada problem utama kita tentang kerusakan ekologis dan ekspansi kapitalisme, Joel Wainwright (2010) dalam Capitalism, Climate Change and the Challenge of Transdisiplinarity menjelaskan bahwa hukum sosial tatanan kapitalisme yakni akumulasi modal keuntungan yang terus bergerak dan sakralisasi kepemilikan alat produksi secara privat tanpa kontrol demokratik dari kekuatan politik demos, hanya akan memperparah kehancuran ekosistem dunia yang terus berlanjut. Mengingat saat ini sumber daya utama penggerak kapitalisme yakni sumber daya yang diproduksi dari fossil terus bekerja menjadi bisnis utama dari akumulasi kemakmuran dari kekuatan kapitalis yang difasilitasi oleh arena politik.
Model bisnis teknologi green yang dilakukan bersamaan dengan sirkulasi kapital yang berbasis pada penghancuran bumi hanya akan membuat komplikasi penyakit ketika apabila kondisi terbaik teknologi itu bekerja untuk menyembuhkan bumi yang sedang sakit akan terus dianulir oleh upaya-upaya penghancurannya.
Tendensi kapitalisme untuk memahami ketimpangan sosial sebagai sesuatu yang lazim sebagai konsekwensi dari kompetisi dan mekanisme distribusi ekonomi berbasis trickle down effect dalam paradigma ekonomi yang mengagungkan pertumbuhan tidak akan pernah bisa menyelesaikan problem dehumanisasi dan kerusakan ekologis. Mengingat upaya untuk merehabilitasinya membutuhkan proses solidaritas sosial antar kelas, perubahan dari paradigma ekonomi pertumbuhan dan kompetisi menjadi paradigma ekonomi berbasis pemerataan dan zero growth serta kerjasama menggantikan kompetisi, maupun pengorbanan dan kehendak memberi yang lebih tinggi dari kehendak mengambil dan mengeksploitasi.
Kesemua hal tersebut dalam konteks kritik ekonomi-politik akan menghadapkan kita pada kepentingan dari kekuatan yang mendominasi sistem kapitalisme sebagai kekuatan yang menolak perubahan sosial, ketika tatanan sosial yang ada sekarang telah memberikan akumulasi keuntungan yang berlebih meskipun resiko yang dibayar adalah ancaman kehancuran ummat manusia.
Kabar bagi Filsuf yang Berkutat pada Kebenaran dan Ketidakpastian
Bagi kalangan filsuf yang alergi dengan dialektika, historisisme, dan totalitas dari perspektif Hegelian Marxist karena anggapan bahwa pengetahuan seperti itu tidak tahan uji dalam awasan falsifikasi; mereka sepertinya lupa atau tidak membaca bahwa pemahaman atas totalitas dan dialektikanya dalam perspektif hegelian marxist bukan hanya melihat dunia dengan keseluruhannya dengan rapi, selaras, dan harmoninya seperti impian kaum fasis maupun penguasa otoritarian, namun dalam totalitas juga terdapat simptom-simptom negativitas, paradoks dan kontradiksinya.
Sementara untuk kalangan filsuf penganut Popperian (Karl Popper) yang meyakini bahwa fakta bisa menjadi hakim totaliter akan sebuah perspektif keilmuan untuk menggebuk analisa teoritik seperti marxist (falsifikasi), mereka hendaknya memperluas horizon pengetahuannya kembali.
Bukankah muridnya dari Karl Popper sendiri, yakni Imre Lakatos yang telah sukses mengoreksi pandangan gurunya. Imre Lakatos (1980) dalam karyanya The Methodology of Scientific Research Programmes menjelaskan apabila sebuah teori secara sewenang-wenang ambyar relevansinya dihadapan hakim fakta, maka dalam asumsi internal kaum Popperian tentang kemustahilan kepastian, maka tidak akan pernah ada tradisi keilmuan. Mengingat tradisi keilmuan sendiri berkembang melalui kerja-kerja proyek penelitian yang berkesinambungan untuk memahami realitas.
Suatu anomali terhadap kenyataan dapat diabsorbsi untuk pengembangan keilmuan teoritik selanjutnya melalui pengembangan hipotesis pembantu untuk memutakhirkan proyek analisis yang dibangun. Setiap teori tidaklah tumbuh dengan perangkat analisis yang lengkap dalam memahami keadaan pada awal perkembangannya ibarat Hercules dengan bantuan ayahnya Dewa Zeus untuk menantang realitas untuk digenggam. Ilmu dengan tradisinya selalu berkembang tahap demi tahap untuk memahai keadaan dengan berbagai mekanisme ujicoba dan kesalahan.
Menurut Lakatos, suatu teori keilmuan tertentu hanya bisa digantikan keberadaannya dengan teori lain, ketika muncul teori baru yang lebih baik untuk menjelaskan kenyataan. Pertanyaan praktis dari sini adalah, apakah sudah tersedia kerangka teoritik keilmuan mutakhir yang lebih canggih dari Marxisme dalam menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari tatanan kapitalisme, untuk mengamini falsifikasi bahwa marxisme sebagai teori dan kerangka analisis sudah tidak lagi relevan?