”Seluruh desa dibutuhkan untuk membesarkan seorang anak,” kata pepatah Nigeria. Kalimat ini kemudian dikutip Hillary Clinton, menjadi judul bukunya It Takes A Village pada 1996. Saat itu dia masih The First Lady Amerika Serikat.
Nyaris sama dengan pepatah Nigeria yang dikutipnya, buku itu menyoroti pentingnya peran lingkungan di luar keluarga untuk membesarkan anak. Seolah Hillary ingin mengingatkan publik Amerika Serikat yang kian individualis dan tak peduli pada pentingnya semangat gotong royong dalam mendidik anak. Sampai-sampai dia mengadopsi budaya Nigeria yang menganggap bahwa seorang anak merupakan tanggung jawab bersama, bukan semata keluarga inti yang bersangkutan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohanna Yembise sempat dicerca netizen saat berkomentar atas kasus perkosaan dan pembunuhan Yuyun di Bengkulu. “Kasus Yuyun itu yang salah orangtua. Orangtuanya sudah beberapa hari di kebun. Bagaimana mau memperhatikan anak itu?” kata Yohana seperti dikutip banyak media.
Kontan publik kita mengecam keras komentar yang menyudutkan keluarga korban ini. Dari situ jelas terlihat, masyarakat Indonesia masih punya spirit kebersamaan ketika ada anak yang jadi korban mengenaskan. Bisa jadi memang tradisi asli kita tak jauh berbeda dengan Nigeria yang menganggap bahwa keluarga inti bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas pembimbingan dan pendidikan pada anak. Ada keluarga besar, kemudian tetangga, lingkungan sekitar, dan sekolah. Semua sama-sama sangat berperan dalam membesarkan seorang anak.
Kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur, dengan pelaku anak remaja juga, menjadi bukti bahwa keluarga inti, keluarga besar, tetangga, lingkungan maupun sekolah sudah bersikap abai terhadap mereka. Semua sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, dan selalu faktor ekonomi menjadi alasan utama.
Jangankan di kota besar, di desa kecil seperti tempat tinggal Yuyun di Rejang Lebong, Bengkulu, pun warganya tersinyalir tak peduli pada pendidikan anak. Keluarga inti 14 remaja pelaku perkosaan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga tak tahu betapa nakalnya mereka selama ini.
Begitu juga keluarga besar mereka, paman, bibi, kakek, nenek. Mungkin mereka tahu kenakalan anak-anak itu, tapi cenderung meremehkan dan mengabaikan. Menganggap itu kenakalan biasa. Tetangga dan lingkungan sekitar pun setali tiga uang. Sekolah bisa jadi sudah putus asa, tak punya waktu untuk mencermati moral anak didiknya.
Kembali ke pepatah Nigeria, yang sesungguhnya juga berlaku di keluarga Indonesia zaman dulu. Ya, zaman dulu, sebelum bangsa kita terdegradasi oleh pesatnya kemajuan teknologi, hingga menganggap mengurus anak adalah memberikan mereka gadget terkini. Atau memberi mereka uang jajan agar merasa senang di mal bersama teman-teman. Kerisauan Hillary Clinton di tahun 1996 atas makin memprihatinkannya pola asuh warga Amerika sudah menjadi kerisauan saya atas publik Indonesia hari ini.
Nilai-nilai budaya kita kian terkelupas zaman. Idealnya, setiap orang dalam keluarga berpartisipasi dalam membesarkan seorang anak. Ayah, ibu, anak-anak yang lebih besar, mengasuh anak yang lebih kecil. Kemudian keluarga besar, yaitu kakek, nenek, paman, bibi, ikut mengawasi si anak. Inilah budaya yang banyak berlaku di sistem kekeluargaan suku-suku di Nusantara sejak lama.
Maka, ada yang namanya rapat keluarga besar, untuk memutuskan solusi jika seorang anak terbentur masalah. Kemudian tetangga dan lingkungan sekitar pun turut serta membimbing si anak, sehingga kita mengenal istilah “Ketua Adat”, orang yang disegani di suatu lingkungan.
Sama seperti di suku-suku Nusantara, kelahiran seorang anak dirayakan secara spesial juga di suku-suku Afrika. Anak dianggap sebagai anugerah dari Tuhan bagi seluruh lingkungan. Maka, lingkungan itu bertanggung jawab atas pengasuhan si anak. “Tak cukup satu tangan saja untuk merawat anak,” demikian pepatah Swahili.
Sayang berjuta sayang, budaya luhur itu makin terlupakan di masa kini. Alih-alih kota besar, kota-kota kecil pun sudah membuat para ayah, ibu, paman, bibi, terperangkap dalam kesibukan mereka sendiri. Mencari nafkah sebanyaknya, memperluas koneksi bisnis, bersosialisasi sana-sini, hingga mereka kian jarang di rumah.
Dipikir, seorang anak bisa tumbuh baik dengan sendirinya di bawah pengawasan baby sitter, nanny, pembantu dari yayasan populer. Keluarga besar terpencar di kota-kota yang saling berjauhan. Tetangga? Bisa jadi tidak kenal. Sekolah pun hanya akan peduli jika SPP tertunggak atau nilai anak merosot, atau memberi teguran ala kadarnya pada kenakalan anak.
Lunturnya budaya “membesarkan anak bersama-sama” ini tak heran melahirkan generasi yang juga abai pada sekitarnya. Tak peduli ketika ada anak tetangga beramai-ramai menonton film porno. Merasa biasa saja saat segerombolan remaja pria menggodai perempuan belia. Ayah dan ibu mereka? Sedang sibuk pastinya. Paman dan bibi atau kakek dan nenek? Entahlah.
Jangan heran jika angka perkosaan dengan pelaku dan korban anak di bawah umur terus bertambah. Sebab, keluarga inti, keluarga besar, lingkungan, dan sekolah, kian bersikap abai terhadap perkembangan seorang anak. Kalau hal ini terus dibiarkan, seberat apa pun hukuman bagi pemerkosa anak, tidak akan memunculkan efek jera.
Ke mana gerangan spirit membesarkan anak secara bersama-sama seperti yang pernah berlaku di masyarakat kita? Apakah anak kian menjadi “produk tak disengaja” atau “produk tak diharapkan”, dan bukan anugerah dari Tuhan?
Ya, apa saja yang dilakukan sebuah keluarga saat ada anak-anak di bawah umur memperkosa sesamanya? Sungguh, sebuah fenomena yang sangat miris.