Setiap medan perang membutuhkan ruang kendali—sebuah markas strategis tempat para jenius berkumpul, menyusun rencana, dan melancarkan serangan terhadap rival. Namun, di dunia teknologi tinggi, medan pertempuran ini bukan lagi tentang wilayah fisik, melainkan dominasi di sektor Kecerdasan Buatan (AI).
Bagi Mark Zuckerberg, CEO Meta, “ruang kendali” pribadinya ternyata sebuah grup obrolan rahasia yang ia juluki “Recruiting Party”. Di sinilah, di tengah percakapan digital dengan para eksekutif puncak Meta lainnya, keputusan-keputusan krusial dibuat: siapa talenta terbaik yang harus dibidik, berapa tawaran multi-juta dolar yang akan dilayangkan, dan kapan waktu yang tepat untuk melancarkan operasi “pembajakan” yang senyap.
Namun, Meta jauh dari sendirian di kancah persaingan sengit ini. Ibarat arena gladiator modern, perlombaan AI kini memanas hingga titik didih, dan para raksasa teknologi berebut untuk mengklaim singgasana dominasi. Tak peduli seberapa besar inovasi atau seberapa canggih algoritma yang dikembangkan, keberhasilan mutlak di medan perang AI ini bergantung pada satu faktor krusial: memiliki talenta terbaik.
Inilah mengapa kita menyaksikan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari Google yang perkasa, Meta yang agresif, hingga OpenAI yang memimpin inovasi, perusahaan-perusahaan ini tak ragu untuk terlibat dalam “perang perebutan otak”. Mereka saling membajak para profesional paling cemerlang di industri, memancing mereka dengan iming-iming paket gaji yang begitu fantastis—angka-angka yang dijamin akan membuat siapa pun tercengang dan berpikir dua kali tentang pilihan karier mereka. Ini bukan sekadar merekrut; ini adalah perburuan global untuk pikiran-pikiran tercerdas, dengan taruhan miliaran dolar.
Jika Anda adalah pengamat setia dunia teknologi, Anda pasti akrab dengan fenomena meme “hyperplanning”—situasi di mana seseorang terlihat sangat fokus dan intens dalam merencanakan sesuatu. Nah, bayangkan sejenak Mark Zuckerberg dalam mode tersebut, tetapi dengan taruhan yang jauh lebih besar: ia sedang menyusun sebuah daftar rahasia, yang di Silicon Valley dikenal sebagai “The List”. Ini bukanlah daftar belanja biasa, melainkan kompilasi para insinyur dan peneliti AI paling cemerlang di seluruh dunia.
Daftar elite ini dihuni oleh nama-nama paling dicari dalam ranah kecerdasan buatan. Di dalamnya ada lulusan-lulusan brilian dari program PhD bergengsi di universitas-universitas kelas dunia seperti University of California di Berkeley dan Carnegie Mellon. Tak hanya itu, daftar ini juga mencakup para pakar AI yang saat ini menjadi tulang punggung di perusahaan-perusahaan pesaing Meta, termasuk raksasa inovasi seperti OpenAI dan proyek ambisius DeepMind milik Google.
Zuckerberg tak main-main dalam perburuan ini. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakan daftar tersebut, bukan sekadar untuk mengagumi profil mereka, melainkan untuk menyiapkan amunisi terberat: penawaran paket gaji yang sungguh mencengangkan, mencapai angka multi-juta dolar. Kabar mengenai manuver agresif ini telah menjadi bisik-bisik panas di koridor-koridor Silicon Valley selama berbulan-bulan, seringkali diungkapkan secara terbuka. Sebagai contoh nyata, bulan lalu Sam Altman, CEO OpenAI, secara blak-blakan mengungkapkan betapa Meta mencoba membajak stafnya dengan iming-iming bonus senilai $100 juta.
Kini, strategi rahasia Zuckerberg itu mulai terwujud nyata di hadapan publik. Meta baru saja berhasil merekrut seorang insinyur kunci yang sebelumnya memimpin tim model AI di Apple. Individu berbakat ini kini akan bergabung dengan tim superintelijen Meta, yang ambisinya sangat besar: membangun sistem AI yang tidak hanya mampu menyelesaikan tugas sebaik manusia, tetapi bahkan melampaui kemampuan manusia.
Untuk menarik talenta kaliber tinggi ini, Meta tak segan merogoh kocek dalam-dalam. Rekrutan baru tersebut dilaporkan ditawari paket gaji yang fantastis, mencapai lebih dari $200 juta. Tim superintelijen Meta sendiri sudah dipenuhi bintang-bintang di bidangnya, termasuk nama-nama besar seperti mantan kepala GitHub, Nat Friedman, dan salah satu pendiri Scale AI, Alexander Wang. Bahkan, Meta telah mengakuisisi 49% saham di perusahaan Wang senilai $14,3 miliar—sebuah investasi yang menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam mengamankan otak-otak terbaik untuk masa depan AI. Ini adalah perburuan talenta yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana keahlian dalam AI dihargai dengan jumlah yang dulu hanya bisa diimpikan.
Namun, semua manuver agresif yang dilakukan Meta itu hanyalah secuil dari gambaran besar. Di balik layar, selama berbulan-bulan, raksasa-raksasa teknologi dunia — sebut saja Meta, OpenAI, Google, Microsoft, Apple, dan Amazon — telah terlibat dalam sebuah perlombaan sengit yang tak terlihat, namun berimplikasi besar: memperebutkan dominasi di ranah kecerdasan buatan.
Mereka tak hanya sekadar berkompetisi; mereka adalah para titan yang saling menggerus, menginvestasikan miliaran dolar ke dalam riset dan pengembangan. Produk-produk baru diluncurkan dengan kecepatan yang memusingkan, seolah waktu adalah kemewahan yang tak bisa disia-siakan. Untuk bisa melaju lebih cepat dan lebih baik dalam eksplorasi AI yang kompleks ini, mereka semua membutuhkan satu hal krusial: talenta terbaik, dan mereka membutuhkannya dengan sangat cepat.
Tak heran, perlombaan perekrutan ini telah berubah menjadi medan pertempuran yang membara. Contohnya, laporan menunjukkan bahwa Meta berhasil membajak 10 peneliti dan pengembang model papan atas dari OpenAI, dengan total paket gaji yang dikabarkan mencapai angka fantastis $300 juta pada tahun lalu. Google, di sisi lain, tak ketinggalan dalam agresivitasnya.
Mereka mengakuisisi seluruh saham Character.ai, sebuah layanan chatbot yang sedang naik daun, senilai $2,7 miliar — sebuah langkah yang bukan hanya membeli teknologi, tetapi juga tim di baliknya. Sementara itu, Microsoft, demi mempertahankan aset manusianya yang paling berharga, tanpa ragu menggelontorkan paket gaji multi-juta dolar kepada talenta-talenta kuncinya. Dan ironisnya, setelah sempat mengkritik taktik “pembajakan” Meta, OpenAI sendiri kini kedapatan membajak empat insinyur kelas kakap dari perusahaan lain seperti Tesla, XAI, dan bahkan Meta.
Realitas yang brutal namun jelas ini tak dapat dimungkiri: kolam talenta peneliti AI terbaik di dunia ini sangatlah kecil. Dengan setiap raksasa teknologi berebut untuk mengamankan “krim” dari yang terbaik, mereka menunjukkan satu hal dengan sangat gamblang—mereka tidak pernah ragu untuk mengeluarkan uang dalam jumlah fantastis.
Pertarungan untuk menguasai masa depan AI bukan lagi hanya tentang siapa yang memiliki algoritma tercanggih atau data terbanyak. Ini adalah tentang siapa yang mampu merekrut, memikat, dan mempertahankan otak-otak paling brilian di planet ini, karena merekalah arsitek sejati dari dunia AI yang akan datang.