Jumat, Oktober 4, 2024

Dana Desa untuk Pelayanan Warga di Desa

Ahmad Erani Yustika
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, penikmat kopi dan film.

Pelayanan publik merupakan istilah yang baru dibicarakan dua dekade ini secara intensif di tanah air. Pada masa sebelum tahun 2000-an, pemerintah memang telah merancang penyediaan layanan publik dengan segala cara, seperti air bersih, jalan, irigasi, kartu tanda penduduk, izin usaha, perpustakaan, dan masih banyak lagi. Namun, di samping jumlahnya yang masih terbatas, pelayanan publik itu tak menempatkan warga sebagai konstituen yang wajib dilayani dengan sehormat-hormatnya. Alih-alih, mesin birokrasi dan abdi negara lainnya menempatkan diri dan institusinya sebagai ningrat yang kedudukannya lebih tinggi dari warga. Konsep abdi negara sebagai pelayan tidak muncul dalam kesadaran relasi pemerintah dengan warga negara.

Rakyat juga tidak memiliki kesadaran bahwa layanan publik prima merupakan hak yang melekat dalam hidup mereka. Formulanya: warga negara yang telah memenuhi segala kriteria regulasi wajib membayar pajak. Penerimaan negara dari pajak dipakai pemerintah untuk aneka belanja, seperti menyediakan layanan pendidikan kesehatan dan kesehatan, membangun infrastruktur, mengoperasikan usaha negara, program pemberdayaan, promosi kegiatan ekonomi, keamanan negara, membayar abdi negara, dan lain sebagainya. Jadi, pajak merupakan ikatan antara negara dan warga. Jika terdapat pelayanan publik yang bermasalah, rakyat berhak menuntut. Pengetahuan semacam inilah yang belum mengendap di relung pikiran masyarakat.

Wabah pelayanan publik ini layaknya juga berlaku di desa, tanpa kecuali. Pelayanan publik di desa tidak boleh kalah dibandingkan kota. Semua warga negara berhak memeroleh layanan maksimal (bukan semata standar pelayanan minimal). Dalam banyak hal, pelayanan publik di desa harus mendapatkan perhatian yang serius karena sampai saat ini fasilitas tersebut masih terbatas di desa.

Misalnya, banyak penyakit endemik di desa muncul karena akses air bersih dan sanitasi lain yang jauh dari memadai. Demikian pula dalam hal administrasi kependudukan, pelayanan yang cepat belum menjadi budaya.

Namun, dengan adanya Dana Desa pemerintah desa mulai terpacu untuk mendorong perubahan pelayanan publik, sekaligus memastikan mandat UU Desa terselenggara dengan penuh tanggung jawab.

Hebatnya, kesadaran tersebut sudah tumbuh sampai seluruh negeri, termasuk di Papua. Suatu ketika saya berkesempatan mampir di Kampung Nendali Distrik Sentani Timur, Jayapura, pada 19 Januari 2016. Awalnya saya terpukau dengan layanan kesehatan yang begitu hidup, ditambah dengan kader kesehatan yang punya komitmen tinggi menggerakkan kesadaran warga kampung. Warga cukup banyak bertandang ke layanan kesehatan tersebut untuk aneka kebutuhan: Ibu hamil yang hendak memeriksakan janin, Balita yang sedang berobat, konsultasi kesehatan, dan lain-lain. Demikian pula para kader kesehatan yang sudah lama dibentuk bersemangat membantu warga memeroleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.

Fasilitas bangunan yang sudah didirikan cukup lama itu sempat redup karena ketiadaan anggaran. Dengan sentuhan Dana Desa layanan kesehatan menyala lagi.

Bukan itu saja, yang membikin saya takjub, layanan administrasi kepada warga sedemikian lengkap dan sigap. Jika ada warga yang membutuhkan, misalnya surat keterangan domisili, cuma butuh menunggu kurang dari 5 menit. Sebutkan nama kepada aparat kampung, ata akan keluar dari layar komputer. Setelah itu tinggal dicetak dan tanda tangan Kepala Kampung. Saya membuktikan sendiri keandalan layanan publik tersebut, yang kala itu diperagakan oleh Pak Wemfrid Wally, Kepala Kampung Nendali. Di kantor kampung itu juga terpampang data yang lengkap, seperti jumlah penduduk, pekerjaan warga, penggunaan lahan, program desa, dan tentu saja pemanfaatan Dana Desa. Administrasi kampung diurus dengan serius, sama pentingnya dengan program pemberdayaan warga. Tentu, di balik itu juga ada peran pendamping desa/kampung.

India dalam beberapa tahun terakhir juga melakukan pembenahan layanan publik di desa-desa. Tiap desa harus berjibaku menyediakan sekurangnya 15 layanan publik yang berkaitan dengan penguatan kualitas warga, dukungan administrasi, dan pemberdayaan. Di luar yang diulas di muka, desa-desa di India didorong untuk memperluas fasilitas kerja mandiri (self-employment facilities), pengembangan keterampilan, jamban tiap rumah, perpustakaan desa, dan seterusnya (Sastry, 2013). Sampai sekarang situasi desa-desa di India secara umum belum bisa dikatakan lebih baik daripada desa di Indonesia. Namun, jika kita tak bergegas melakukan perubahan layanan publik pasti akan disalip oleh India.

Jadi, peragaan pelayanan publik di Kampung Nendali Distrik Sentani, Jayapura – Papua tersebut sungguh membahagiakan. Praktik tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik telah menjadi bahasa program pemerintahan desa/kampung, juga warga. Perlahan aparat desa menempatkan dirinya sebagai pelayan seutuhnya bagi rakyat. Sumber daya yang dimiliki desa sebagian dipakai untuk kepentingan tersebut, khususnya yang berasal dari Dana Desa.

Di tengah realitas sebagian besar anggaran itu dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur (yang juga amat mendesak), terdapat banyak desa pula yang memakai dana itu untuk mempermudah urusan administrasi dan layanan publik lainnya.

Ahmad Erani Yustika
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, penikmat kopi dan film.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.