Pemilihan Kepala Daerah 2017 segera menjelang. Tahapannya pun sudah mulai jauh berjalan. Beberapa tahapan sudah berlalu dan terus berjalan ke tahapan pelaksanaan berikutnya.
Sepanjang Agustus 2017, penyelenggara pilkada harus menyelesaikan pendaftaran bakal calon perseorangan dalam pilkada. Dan di sisa Agustus 2017, proses verifikasi administrasi dukungan calon perseorangan akan dilalui, sebelum nanti dilanjutkan dengan verifikasi faktual terhadap seluruh dukungan yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum.
Sebagaimana yang (seharusnya) sudah jamak diketahui, Pilkada 2017 adalah pilkada transisi gelombang kedua, sebelum nanti akan dilaksanakan pilkada serentak secara nasional pada 2024 (lebih cepat dari ketentuan sebelumnya yang mengatur pada tahun 2027).
Jika dibandingkan dengan Pilkada 2015, khususnya konteks kontestasi pencalonan, Pilkada 2017 jauh lebih bising dibandingkan dengan Pilkada 2015. Tesis saya tersebut hanya ingin diperkuat dengan satu indikator saja: DKI Jakarta adalah satu di antara 101 daerah yang melaksanakan pemilihan gubernur di Pilkada 2017.
Jakarta acapkali dilabeli sebagai barometer perkembangan demokrasi Indonesia. Nomenklatur barometer yang bisa disinonimkan dengan alat ukur perkembangan demokrasi di Indonesia agaknya sudah saatnya disanggah dan dipertanyakan.
Sekali lagi, dalam konteks demokratisasi pencalonan kepala daerah, masih layakkah Jakarta disematkan titel barometer perkembangan demokrasi Indonesia? Apalagi hari ini Kita berbicara dalam pelaksanaan demokrasi lokal dalam bentuk pemilihan kepala daerah yang sangat lokal dan beragam?
Di awal, fenomena “Teman Ahok” mungkin sempat memberikan bukti bahwa Jakarta layak bersemat titel barometer demokrasi Indonesia. Kehadiran sekelompok orang, apalagi mayoritas masih sangat muda, sesaat terasa mampu menggugat macetnya kaderisasi dan rekrutmen partai politik dalam pencalonan kepala daerah dalam pilkada.
Saya tidak akan masuk kepada kontroversi dan polemik siapa dan bagaimana “Teman Ahok”. Tapi, bagi saya, fenomena masyarakat dan pemilih yang tergabung di dalam “Teman Ahok” adalah bentuk partisipasi masyarakat “tingkat lanjut” dalam suatu proses rangkaian transisi politik (baca: pilkada).
Setidaknya ada tiga tingkatan partisipasi pemilih dalam suatu proses pilkada. Pertama, bentuk partisipasi pemilih yang hanya datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan kemudian memberikan hak suaranya dengan memilih salah satu pasangan calon.
Kedua, selain datang ke TPS dan memberikan hak suaranya, pemilih tersebut juga ikut mengawal proses pelaksanaan pilkada agar berjalan sesuai dengan aturan yang sudah ada. Salah bentuknya bisa diwujudkan dengan melaporkan dugaan pelanggaran pilkada yang terjadi di sekitarnya kepada pengawas pemilu.
Ketiga, barulah partisipasi pemilih tingkat lanjut sebagaimana yang disinggung di atas tadi. Selain akan memberikan hak suaranya dan mengawal setiap proses pelaksanaan pilkada, pemilih ini juga sudah mampu menyiapkan syarat pencalonan untuk orang/tokoh yang mereka anggap layak untuk didukung dan dipilih menjadi kepala daerah. Hal inilah yang sudah dilakukan oleh “Teman Ahok”. Dalam lingkup ilmu partisipasi pemilih dalam pemilu/pilkada, apa yang mereka lakukan lebih dari biasa.
Namun sayang, voters power yang sudah dibangun justru berakhir antiklimaks ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akhirnya memilih jalur pencalonan dari partai politik. Ya, dalam konteks pragmatisme pemenangan pilkada, apa yang dilakukan Basuki bisa diterima.
Namun, jika kembali kepada pernyataan Jakarta sebagai alat ukur perkembangan demokrasi Indonesia, ternyata tidak ada yang “istimewa” juga di Jakarta.
Mengedepankan kepentingan pragmatisme menang dalam pilkada tanpa menjalani sebuah sistem rekrutmen dan kaderisasi sistematis yang jamak dilakukam di daerah lain, ternyata juga dilakukan oleh “orang Jakarta”.
Sejalan dengan hal tersebut, jika ditarik ke dalam konteks demokratisasi partai politik, apa yang dilakukan partai dalam memberikan dukungan kepada orang dalam pencalonan pilkada masih jalan di tempat. Tidak ada suatu proses rekrutmen dan kaderisasi yang partisipatif serta transparan yang dilakukan oleh partai politik di DKI Jakarta.
Beberapa partai politik seperti PDI Perjuangan dan Gerindra memang sempat melakukan penjaringan bakal calon kepala daerah DKI Jakarta secara terbuka. Namun, dalam perkembangannya tidak pernah ada keterbukaan proses partisipatif yang bisa disimak oleh publik. Partai Gerindra, misalnya, tiba-tiba telah mengeluarkan pernyataan dukungan kepada Sandiaga Uno.
Sedangkan PDIP masih menikmati tarik ulur dua sikap politik: ikut mendukung Basuki Tjahaja Purnama, atau mengajukan sendiri pasangan calon lain. Sementara terkait dengan nasib bakal calon yang sudah dilakukan penjaringan, sependek pengetahuan saya tidak terdengar lagi perkembangan prosesnya sampai di mana.
Sekali lagi, tidak ada yang istimewa di Jakarta. Elite partainya pun melakukan hal yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh elite partai di daerah lain dalam memberikan dukungan pencalonan kepala daerah.
Maka, perbaikan di institusi partai politik menjadi suatu keniscayaan. Proses pengajuan calon dalam pemilu/pilkada adalah salah satu alat ukur sederhana untuk melihat apakah partai memainkan demokratisasi yang fair di internal mereka. Karena itu, untuk melangkah menjadi institusi demokrasi yang lebih mapan, partai politik memang mesti membangun sistem kaderisasi dan rekrutmen yang lebih terbuka, partisipatif, dan akuntabel.