Rabu, November 20, 2024

“Deal Abad 21” untuk Israel-Palestina, Mungkinkah Terlaksana?

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
- Advertisement -

Di tengah bayang-bayang berita segera dibukanya kedutaan AS di Yerusalem, bocoran pembicaraan Muhammad Bin Salman, Pangeran Arab Saudi, dengan sejumlah tokoh Yahudi di AS beberapa waktu lalu meramaikan jagad media. Media-media mayor di Timur Tengah bahkan di Indonesia juga memberitakan hal itu. Salah satunya Chanel al-Jazeera (Arab) mengabarkan bahwa  Muhammad Bin Salman menginginkan Palestina menerima perjanjian Israel-Palestina yang nanti akan ditawarkan Donald Trump, kendati perjanjian itu sangat-sangat merugikan posisi Palestina.

Dalam tawaran yang kemudian disebut sebagai “deal abad 21″ itu, Palestina dikabarkan harus merelakan kota suci Yerusalem, hak kembalinya pengungsi, dan negara merdeka dengan wilayah yang sangat terbatas. Dengan mengutip sumber Chanel 10 Israel, media Qatar ini juga mengabarkan Muhammad Bin Salman menuding Palestina sebagai biang kegagalan proses perdamaian selama beberapa dekade terakhir.

Isu proses perdamaian Israel-Palestina dikabarkan memang menjadi salah satu topik pembicaraan dalam kunjungan panjang Pangeran Muhammad di Amerika Serikat Maret hingga pertengahan April 2018 lalu. Rincian hasil pembicaraan itu belum secara resmi disampaikan ke publik, setidaknya hingga tulisan ini dibuat.

Namun, kabar bahwa ada deal besar antara Donald Trump dan Muhammad Bin Salman terkait isu Palestina sudah cukup lama jadi pembicaraan di media massa. Pernyataan Trump, Bin Salman, bahkan Mahmud Abbas dalam beberapa kesempatan, mengisyaratkan bahwa AS dan sekutunya di Timur Tengah sedang menyiapkan proposal baru terkait proses perdamaian Israel-Palestina. Proposal ini disebut sebagai “deal Abad 21”, sebab ia berambisi menyelesaikan persoalan yang belum diselesaikan dalam satu abad yakni abad ke-20.

Isi proposal itu secara detail tentu belum diketahui. Namun, berita yang keluar ke media massa, inisiatif perdamaian ini akan mengajukan formulasi perdamaian menyeluruh dan final. Menyeluruh berarti mencakup tema-tema penting yang diperselisihkan antara Palestina-Israel termasuk luas wilayah, pemukiman Yahudi di Tepi Barat, kota Yerussalem, bahkan masalah yang belum pernah disentuh dalam proses perdamaian sejak 1989 yaitu masalah pengungsi Palestina. Final berarti menargetkan tercapainya perdamaian tuntas, bukan sementara, antara kedua pihak.

Proposal itu disebut-sebut akan segera memberikan hak pendirian negara Palestina Merdeka tetapi secara sangat terbatas, yaitu di separuh wilayah Tepi Barat dan seluruh Gaza. Beberapa waktu lalu, Maa Waraaal Khabar, salah satu acara andalan stasiun televisi al-Jazeera, mengulas mengenai penolakan Muhammad Bin Salman untuk mengecam kebijakan Donald Trump tentang Yerussalem. Penolakan ini disebut-sebut karena sebetulnya sang pangeran telah menyetujui deal Abad 21, yang antara lain berisi pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Palestina akan diberi di suatu wilayah yang tak jauh dari kota tua Yerusalem yang disebut Abu Dish. Muhammad Bin Salman dalam wawancara dengan jaringan televisi CBS memilih menjawab diplomatis terhadap pernyataan itu, dengan mengatakan bahwa Saudi bersama para sekutunya siap mewujudkan perdamaian.

Proposal itu tentu sangat berat dilaksanakan di lapangan. Pesimisme terhadap proposal itu pun jelas membayang. Sebab, dibandingkan dengan formula-formula perdamaian sebelumnya, proposal itu merupakan kemunduran besar bagi Palestina. Kemunduran itu terutama terletak pada masalah kota tua Yerusalem dan nasib pengungsi, dua masalah yang sejauh ini dipandang sebagai garis merah yang tak bisa dinegosiasikan dengan Israel.

Namun, perkembangan fakta di lapangan sepertinya akan memaksa para pemimpin Palestina untuk bersikap lebih realistis. Sebab, pemerintahan Trump sepertinya sudah mengancam Mahmud Abbas untuk memilih antara dua hal, perdamaian dan kemerdekaan Palestina dengan konsesi minimal atau mereka akan dicampakkan. Dan ini pula sikap Muhammad Bin Salman yang diberitakan sejumlah media: mendesak Palestina menerima atau diam.

Bagi Israel, proposal itu tentu merupakan kemajuan signifikan. Sebab, mereka tak hanya akan memperoleh perdamaian tetapi juga normalisasi hubungan dengan negara-negara Timur Tengah dan dunia Islam. Mereka juga memperoleh wilayah yang luas berkat kesuksesan mereka melakukan ekspansi pemukiman di daerah-daerah Palestina. Dan yang lebih penting adalah masalah kota tua Yerusalem. Perdamaian tanpa penguasaan kota tua Yerusalem pasti akan dilawan oleh kelompok-kelompok Yahudi ekstrem, seperti yang terjadi dengan kematian Yitzhak Rabin atau terpental dari kekuasaan seperti yang dialami Ehud Barak.

Hanya Dagangan

- Advertisement -

Amerika barangkali cukup serius dengan proposal itu. Sebab, mewujudkan perdamaian Israel-palestina jelas merupakan prestasi bersejarah jika berhasil. Apalagi perdamaian final menyeluruh. Israel sangat membutuhkan perdamaian. Namun, di sisi lain, itu sungguh berat dilaksanakan di lapangan terutama dari pihak Palestina dan pendukungnya.

Proposal itu kemungkinan besar akan gagal atau setidaknya memperoleh perlawanan keras dari faksi-faksi di Palestina. Proposal Madrid, Oslo I, Oslo II, Camp David, dan Annapolis saja bertumbangan. Padahal tawaran untuk Palestina jauh lebih besar.

Bagi Muhammad Bin Salman sendiri, upaya perdamaian itu tak ubahnya dagangan kecil saja. Ia sepertinya tidak peduli apa pun yang terjadi terhadap Palestina. Kepentingan Bin Salman adalah memantapkan kekuasaannya di dalam negeri dan memperoleh dukungan luar negeri terutama dari AS. Isu Palestina hanya menjadi bergaining kerajaan itu untuk memperoleh dukungan pemerintah AS dan juga Israel. Kepentingan Bin Salman terhadap Israel sangat jelas, yaitu dalam upaya menghadapi Iran maupun negara-negara dengan penguasa “Ikhwani” seperti Qatar dan Turki.

Bagaimanapun buruk proposal itu, proyek perdamaian itu sangat dinantikan saat ini. Sebab sejak tumbangnya Camp David II tahun 2010, praktis tak ada negosiasi perdamaian yang serius untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.