Rabu, Februari 19, 2025

Dari Diagram Venn ke Pengadilan: Merevolusi Hak Asasi Alam

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Bayangkan, lima gajah Afrika yang sudah lanjut usia, menghabiskan masa senja mereka bukan di savana luas yang menjadi rumah mereka, melainkan di balik jeruji besi kebun binatang Colorado. Mirisnya, kondisi mereka memprihatinkan, dipenuhi trauma, stres, bahkan kerusakan otak.

Namun, secercah harapan muncul. Sebuah kelompok pejuang hak-hak hewan bangkit melawan kebun binatang, mengajukan petisi berani yang menyatakan bahwa gajah-gajah ini, layaknya manusia, berhak atas kebebasan! Mereka menunjukkan bahwa gajah memiliki kesadaran diri, mampu berempati, belajar, berkomunikasi, dan bersosialisasi.

Pertanyaannya, akankah pengadilan mengakui “hak asasi gajah”? Sayangnya, pengadilan tertinggi Colorado tetap berpegang teguh pada hukum yang kaku, menolak memberikan status “pribadi” pada gajah-gajah tersebut. Akibatnya, mereka terpaksa tetap menjalani hari-hari di penjara yang mereka sebut kebun binatang.

Putusan pengadilan yang terkesan ‘masuk akal’ itu—bahwa gajah bukanlah manusia sehingga tak punya hak hukum—ternyata tak se-‘hitam-putih’ itu. Dunia kini berubah! Bayangkan, diagram Venn di buku TK kita dulu, yang memisahkan manusia dan alam, kini mulai kabur.

Sebuah gerakan global sedang berlangsung, memperjuangkan “hak-hak alam”! Sungai, gunung, bahkan hutan kini dianggap sebagai entitas yang layak mendapatkan perlindungan hukum.

Di India, Sungai Gangga yang suci kini punya hak layaknya manusia. Di Selandia Baru, Gunung Taranaki yang megah mendapatkan status yang sama. Ekuador bahkan menulis ulang konstitusinya, menyatakan bahwa alam memiliki hak yang setara dengan manusia!

Gerakan ini bukan lagi sekedar ide gila, melainkan kenyataan yang sedang berkembang di 44 negara. Mungkinkah ini awal dari era baru, di mana alam tak lagi dipandang sebagai objek mati, melainkan subjek yang hidup dan berhak atas kebebasan?

Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa kita perlu memberikan hak hukum kepada alam? Mengapa pohon, sungai, atau bahkan simpanse perlu memiliki hak yang selama ini identik dengan manusia?

Jawabannya sederhana: untuk melindungi mereka. Hak pada dasarnya adalah standar yang mengakui individu dan melindungi martabat mereka. Ketika alam diberi status pribadi, ia juga mendapatkan hak-hak dasar seperti kebebasan dari eksploitasi dan perusakan.

Manfaatnya? Sangat nyata. Hutan-hutan di Ekuador, setelah mendapatkan status pribadi, kini terlindungi dari deforestasi dan penambangan yang merusak. Sandra, orangutan yang hidup terisolasi dan depresi di kebun binatang Argentina selama dua dekade, akhirnya merasakan kebebasan setelah diakui sebagai “pribadi” dan dipindahkan ke suaka di Amerika Serikat.

- Advertisement -

Tentu saja, gagasan radikal ini menuai pro dan kontra. Banyak yang menganggap aneh memberikan “kebebasan” kepada sungai atau gunung, seolah-olah mereka manusia. Lagipula, ini adalah konsep hukum yang relatif baru, sehingga banyak pertanyaan yang muncul.

Misalnya, bisakah alam memiliki representasi politik? Dapatkah mereka menuntut manusia yang merusaknya? Bagaimana dengan hak kekayaan intelektual, seperti dalam kasus “selfie monyet” yang sempat viral beberapa tahun lalu?

Meskipun masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab, semakin banyak pihak yang mendukung pemberian hak hukum kepada alam. Ini bukan hanya tentang mengakui hak-hak alam, tetapi juga tentang mengubah cara pandang kita terhadap alam. Kita perlu berhenti melihat alam sebagai objek yang bisa dieksploitasi sesuka hati, dan mulai memandangnya sebagai bagian integral dari kehidupan kita yang perlu dihormati dan dilindungi.

Para ahli dari berbagai bidang, mulai dari hukum dan filsafat hingga biologi dan ekologi, semakin banyak yang menyuarakan dukungan mereka terhadap konsep “personhood” bagi alam. Mereka percaya bahwa memberikan hak hukum kepada alam adalah langkah penting untuk mengatasi krisis lingkungan yang sedang kita hadapi.

Dengan mengakui hak-hak alam, kita dapat melindungi hutan, sungai, dan spesies yang terancam punah dari eksploitasi dan perusakan. Kita juga dapat mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan memastikan bahwa generasi mendatang dapat menikmati planet yang sehat.

Konsep “personhood” bagi alam mengajak kita untuk melakukan perubahan paradigma yang mendasar dalam memandang alam. Selama ini, kita seringkali terjebak dalam pola pikir antroposentris, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, dan alam hanya dipandang sebagai sumber daya yang tidak terbatas yang dapat dieksploitasi sesuka hati demi kepentingan manusia.

Konsep ini ingin menggeser pola pikir tersebut. Alam bukanlah sekadar objek mati yang bisa kita gunakan dan kita buang begitu saja. Alam adalah sistem yang hidup, kompleks, dan saling terhubung, yang memiliki nilai intrinsik yang perlu dihormati dan dilindungi.

Dengan memandang diri kita sebagai bagian dari alam, kita akan menyadari bahwa kesehatan dan kelestarian alam berdampak langsung pada kehidupan kita. Kita tidak bisa terus-menerus mengeksploitasi alam tanpa memikirkan konsekuensinya, karena pada akhirnya, kerusakan alam akan berbalik merugikan kita sendiri.

Konsep “personhood” mengajak kita untuk bertanggung jawab atas kesehatan alam, bukan hanya demi kepentingan kita saat ini, tetapi juga demi generasi mendatang yang akan mewarisi planet ini dari kita. Ini adalah perubahan pola pikir yang krusial jika kita ingin menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup.

Meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan apakah gerakan ini akan berhasil mencapai tujuannya, namun semakin banyaknya dukungan dari berbagai kalangan memberikan harapan bahwa kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi planet kita.

Kita perlu “mengakui gajah di dalam ruangan” — yaitu, menyadari bahwa krisis lingkungan adalah masalah nyata yang perlu ditangani dengan serius. Memberikan hak hukum kepada alam mungkin merupakan salah satu kunci untuk melindungi planet kita dan memastikan kelangsungan hidup semua makhluk hidup.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.