Inilah kisah tentang Muhammad Ali. Meski identik dengan olahraga kekerasan (tinju) dan ucapan yang provokatif, Ali memiliki hati yang lembut dan pandangan keislaman yang damai. Tulisan ini ingin mempertontonkan sosok Ali, sang petinju legendaris, di atas “ring” kemanusiaan-perdamaian dengan isu terorisme sebagai “sparring partnernya”.
Ketika Donald Trump mengeluarkan pernyataan kontroversial ihwal rencananya melarang muslimin masuk ke Amerika Serikat, jika terpilih sebagai presiden negeri itu, Ali mengkritiknya: “Saya seorang Muslim. Saya yakin, para pemimpin politik seharusnya menggunakan posisi mereka untuk mendorong pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan para pembunuh (teroris) itu telah menyesatkan persepsi tentang Islam. Bukannya mengeluarkan pernyataan menyinggung SARA seperti yang dilontarkan Trump.” (www.abcnews.go.com, 10 Desember 2015).
Pernyataan Ali selaras dengan pernyataan Departemen Pertahanan AS yang juga merespons pernyataan rasis Trump tersebut. Menurut Juru Bicara Pentagon, banyak anggota militer AS yang Muslim dan berada di garis depan zona perang membela AS. Perlawanan Pemerintah AS menumpas Negara Islam (ISIS) juga dengan bekerja sama dengan negara-negara Muslim di seluruh dunia. Jadi, bagi Ali, tak ada alasan menjadikan Islam sebagai kambing hitam, jika parameternya objektivitas kemanusiaan-perdamaian.
Insafkah Trump setelah mendengar penjelasan Ali? Malah makin menjadi-jadi. Menurut Trump, pelarangannya itu tidak berlaku untuk muslimin warga negara AS. Mereka tetap bisa dengan leluasa keluar-masuk negaranya. “Itu tak ada kaitannya dengan agama, tapi soal keamanan,” kata Trump.
Trump tak sadar, meski keduanya (keamanan dan agama) berbeda dan terpisah, kebijakan keamanan memiliki garis hubung tak langsung dengan agama.
Butuh perspektif dan empati religi untuk memformulasi sebuah kebijakan keamanan, agar tak bias agama dan tak diskriminatif. Demikian juga sebaliknya: kebijakan keagamaan juga harus berdimensi keamanan, agar tak menimbulkan kekacauan. Jadi, dalam perspektif sekularisme, keduanya memang terpisah, namun harus saling “berempati”. Terpisah, tapi korelatif. Ali menegur Trump yang sangat bias dan fobia ketika melihat Islam.
Meski membela mati-matian Islam yang sedang “digebuk” habis oleh Trump, Ali tidak lantas menjadi fanatis. Ia tetap objektif. Ali sadar bahwa Islam kerap dimanipulasi oleh beberapa oknum. Ali menegaskan bahwa melakukan tindakan kekerasan bukanlah cerminan sikap Islami.
Menurutnya, Muslim sejati tahu bahwa teror kekerasan atas nama jihad bertentangan dengan prinsip hakiki agama kami (Islam). Itu tak lebih ekspresi kepentingan personal-komunal yang disembunyikan di balik jubah Islam. Karena itu, Ali menyarankan Muslim dunia mengambil sikap terhadap oknum-oknum Islam ini.
Saat terjadi aksi terorisme di Paris, Prancis, dan San Bernardino, AS, Desember 2015 lalu, Ali angkat bicara. Menurutnya, ia tak mewakili Islam, jika Islam yang dimaksud sebagaimana yang ditampakkan oleh aksi para teroris tersebut. Islam sangat menentang kekerasan. “I am a Muslim and there is nothing Islamic about killing innocent people in Paris, San Bernardino, or anywhere else in the world,” kata Ali (www.rawstory.com, 9 Desember 2015)
Ali tak hanya bermulut besar soal Islam yang damai, tapi juga punya tindakan besar. Pada tahun 1990, saat berkecamuk Perang Irak, 15 warga negara AS menjadi tawanan pasukan Saddam Hussein. Ali datang ke Irak untuk meminta Saddam membebaskan tawanan itu. Ia berkata pada Saddam:“Saya datang kemari untuk misi damai. Bukan sebagai politisi. Saya datang kemari mewakili penduduk Amerika dan saya seorang Muslim”. (www.history.com).
Dari peryataannya itu, tersirat bahwa Ali datang bukan sebagai perwakilan Muslim, tapi juru bicara perdamaian dunia. Ia gunakan identitas keislamannya untuk meraih perdamaian, bukan justru sebaliknya: menciptakan kekerasan.
Selama Saddam belum membebaskan 15 tawanan, selama itu pula Ali menetap di Irak. Padahal, dokter menyarankannya kembali ke AS, karena persediaan obat Parkinson-nya sudah hampir habis. Ali menolak pulang, sebelum membawa pulang serta 15 saudara se-Amerika-nya. Hingga akhirnya, Saddam mengabulkannya.
Ali menunjukkan pada dunia bahwa kemanusiaan ada dalam Islam dan ada untuk Amerika. Ali menempatkan nilai Islam paralel dengan kemanusiaan.
Ali juga pernah menjadi utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk perdamaian Afghanistan. Pada November 2002, Ali mengunjungi Afganistan untuk menebar pesan damai. Ia bertemu beberapa petinggi negeri itu, mengajak mereka keluar dari jalan perang. Di akhir kunjungannya, Ali menulis surat berisi pesan damai untuk generasi muda Afghanistan. Begini salah satu isinya:
Kalian akan berhasil jika kalian memiliki iman dan menjadi seorang Muslim yang baik. Iman kalian akan membantu Anda melalui hari-hari yang paling sulit. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian sebagai generasi muda, karena telah menunjukkan kepada saya seberapa kuat kalian ingin lepas dari kesulitan yang melilit negeri kalian. Kalian harus menjaga spirit ini. Kalian harus terus menjaga harapan kalian untuk esok yang lebih cerah. Karena kalian adalah hidup dan jiwa Afghanistan (www.unicef.org).
Ali membuktikan universalitas dan egalitarinitas keislamannya melalui konsistensinya memperjuangkan kemanusiaan. Ali sangat menentang diskriminasi. Sepanjang hidupnya, Ali berjuang melepaskan AS dari jerat rasialisme.
Suatu hari, setelah mengantongi medali emas Olimpiade, Ali masuk ke sebuah restoran. Namun si penjaga restoran mengusirnya, sembari berkata: “Kami tidak melayani orang kulit hitam”. Ali kemudian membuang medalinya ke sungai, pertanda tidak berartinya prestasi yang dikontaminasi diskriminasi. Sejak itu, Ali terus mengobarkan pesan tentang kesetaraan. Baginya, Tak ada alasan apa pun untuk membedakan manusia hanya dari warna kulitnya. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Spirit kemanusiaan dan perdamaian inilah yang membuat Ali menolak ketika diwajib-militerkan ke Vietnam pada 1967. Gelar tinjunya dicopot dan dilarang bertinju selama 3 tahun. Tak cukup itu, Ali dijatuhi vonis lima tahun penjara dan denda US$ 10 ribu. Perang Vietnam tak selaras dengan spirit perdamaian-kemanusiaan. Bagi Ali, kemanusiaan jauh lebih berharga dibanding kemenangan politik-militer, apalagi sekadar gelar tinju.
Semakin kekuatan politik ingin membungkam pesan damai-kemanusiaan Ali saat itu, semakin ia nyaring bergema ke mana-mana. Salah satunya melalui peryataannya yang sangat fenomenal: “I ain’t got no quarrel with them Vietcong. My conscience won’t let me go shoot my brother, or some darker people, or some poor hungry people in the mud for big powerful America. And shoot them for what? How can I shoot them poor people? Just take me to jail.”
Dunia memahami peryataan Ali itu dengan satu makna: kemanusiaan berada di atas kepentingan politik apa pun.
Ali juga penyokong penuh perjuangan Nelson Mandela menentang diskriminasi ras. Ketika Mandela wafat, satu ucapan Ali: Apa yang akan selalu saya kenang dari Mandela adalah dia manusia dengan hati, jiwa, dan semangat yang tak bisa teracuni atau terhambat oleh ketidakadilan ras dan ekonomi, batang besi atau terbebani kebencian dan balas dendam. (www.businessinsider.com, 5 Desember 2013)
Tak berlebihan jika Bill Clinton mengatakan bahwa kesuksesan Ali telah berkontribusi meruntuhkan batasan rasial yang sebelumnya ada di AS, dan kemudian menciptakan jalan bagi Barack Obama untuk menjadi Presiden AS pertama dari kulit hitam (www.bbc.co.uk, 17 Januari 2012).
Pada September 2012 Ali dianugerahi Medali Emas untuk perannya di luar ring sebagai pejuang kemanusiaan, hak-hak sipil, dan kebebasan beragama. Ia pantas menerimanya. Karena Ali tidak hanya berlaga di atas ring tinju, tapi juga berjuang di ring kemanusiaan-perdamaian.
Ali berhasil menjadikan dirinya representasi perdamaian dan kemanusiaan Islam. Kiprahnya telah membuat para teroris kalah “KO” (Knock Out) di atas ring Islam-kemanusiaan. Baik teroris atas nama Islam (kekerasan: ISIS) maupun teroris politik (diskriminasi: Trump).
Ali telah menjadi inspirasi Islam yang damai. Kehadirannya selalu membuktikan paralelitas Islam dengan perdamaian-kemanusiaan, di tengah kuatnya fobia tentang Islam dan kekerasan di AS dan Eropa.
Figur dan kiprah Ali telah meruntuhkan mitos kekerasan dalam Islam. Ia menunjukkan Islam yang damai dan manusiawi. Seperti kata-katanya: “Pengertian Islam adalah perdamaian. Adapun arti kata Muslim sendiri adalah mereka yang berserah diri kepada Allah. Sayangnya, media massa membuat kita tampak seperti pembenci.”